June 10, 2008

Etnis Tionghoa Harus Mengambil Peran Dalam Mengurangi Dampak Pemanasan Global

Berbagai pengakuan dari masyarakat yang menjadi korban perubahan iklim mewarnai diskusi-diskusi yang digelar Civil Society Forum (CSF), sebuah parallel event dalam Konvensi PBB tentang perubahan iklim yang dilaksanakan di Bali pada 3-14 Desember 2007 ini.

Masyarakat yang bersaksi itu berasal dari Minahasa, Sumatera, Makassar, Sidoarjo, dan Yogjakarta. Tiga kelompok masyarakat dari negara lain seperti Meksiko, Nigeria dan Samoa juga mewarnai diskusi hangat itu. Saat ini perubahan iklim telah membuat mereka kekurangan air, tidak bisa memprediksi cuaca untuk bertani dan rentan penyakit. Kondisi ini diperparah dengan masuknya perusahaan-perusahaan tambang di daerah mereka yang belakangan ini beroperasi dengan hanya memikirkan keuntungan ekonomis tanpa memperhatikan nasib masyarakat yang hidup di sekitarnya.

“Sejak dahulu itu pantai kami, mengapa kami tidak diperbolehkan mencari makan disana?” tutur Seltje Kongsi, penduduk Minahasa yang mempermasalahkan perusahaan penambang emas yang memblokir pantai-pantai. Hal yang sama dialami Maria dari Meksiko. Hutan tempat desanya hidup turun menurun dibabat oleh perusahaan yang hendak mengantinya dengan lahan pertanian. Akibatnya penduduk direlokasi ke tempat lain.

Kepentingan pengusaha yang bekerjasama dengan pemerintah memang sering bertabrakan dengan kepentingan masyarakat yang hidup di sekitarnya. “Kita harus sadar dan mengakui, meski tidak selalu, pertumbuhan ekonomi yang tidak terkontrol dengan baik, akan menyebabkan kerusakan lingkungan,” ungkap Budi Santoso Tanuwibowo, sekretaris jenderal Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI). Karenanya semua pengusaha, termasuk pengusaha etnis Tionghoa harus senantiasa arif dan bijak dalam bertindak.

Masyarakat Indonesia Tionghoa yang mempunyai peran penting dalam sektor perekonomian membuat posisinya menjadi semakin sentral, karena selalu akan bersentuhan dengan kepentingan masyarakat banyak. Hal ini membuat kepedulian dan kesadaran etnis Tionghoa perlu terus ditingkatkan.

“Masalah pemanasan global adalah masalah kemanusiaan dan masalah bersama yang amat serius,” paparnya. Budi mengambil contoh banjir Rob yang melanda Jakarta baru-baru ini sebagai contoh nyata dan actual. “Bagi Indonesia, dampaknya akan sangat terasa. Bila hal ini tidak ditangani segera dan secara serius, maka dampak yang lebih fatal akan segera menyusul. Bukan hanya berdampak kerusakan dan kerugian material belaka, namun sangat pasti bisa memusnahkan kehidupan itu sendiri,” sambungnya.

Hal senada diungkapkan Anand Krishna, mantan pengusaha yang kini menjadi aktivis spritual. Ditemui di Kampong CSF, Nusa Dua, Anand menyoroti peran etnis Tionghoa di Indonesia yang sangat krusial. “Semua etnis Tionghoa harus masuk ke mainstream bangsa Indonesia dalam segala bidang, mulai dari pendidikan, lingkungan, politik dan lain-lain. Jangan hanya memikirkan usaha dagang, bila lingkungan dan politik hancur dagang toh juga tidak laku,” paparnya.

Ia juga menekankan keprihatinannya pada pengusaha etnis Tionghoa tertentu yang kini dinilainya terlalu berkiblat ke pemerintah komunis China. Kekaguman pada budaya China adalah hal yang wajar karena China mempunyai budaya yang sangat maju dan mulia, tapi hal ini tidak sama dengan politik pemerintah China saat ini. “Harus dibedakan antara pemerintah China dan peradaban China. Bagaimanapun pemerintah China punya agenda politik sendiri.”

Menyangkut masalah perubahan iklim, Anand menyatakan bahwa perubahan iklim membawa masyarakat Indonesia ke jurang kemiskinan yang lebih dalam. Karenanya seluruh komponen masyarakat Indonesia-Tionghoa harus turut mencegah bersama masyarakat Indonesia lainnya. Anand menghimbau agar para pengusaha jangan hanya memikirkan keuntungan semata, tetapi juga peka dan bijaksana dalam bertindak. “Bila kondisi seperti sekarang terus terjadi, kita sedang membangun kecemburuan baru yang tidak mustahil mengulang berbagai kerusuhan,” tuturnya.

Keikutsertaan INTI dalam parallel event PBB tentang perubahan Iklim (UNCCC) adalah salah satu langkah kecil untuk memberikan perhatian dalam masalah yang serius ini. Meski INTI membawa atribut ketionghoaan, bukan berarti INTI hanya peduli kepada masalah etnisitas belaka. “Sejak awal para pendiri INTI menyadari bahwa orang Indonesia Tionghoa adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan bangsa Indonesia keseluruhan. Nah persoalan pemanasan global lebih luas dari itu. Bukan sekedar masalah bangsa, namun sudah menjadi masalah dunia,” jelas Budi.

Sebagai manusia yang hidup dalam bumi yang sama, maka sudah sewajarnya semua komponen bangsa, termasuk orang Indonesia Tionghoa dan organisasinya, juga perlu dan wajib ikut peduli. INTI mengirim lima orang dokter yang mengelola posko kesehatan selama acara CSF berlangsung. Sementara dua orang jurnalis Majalah Suara Baru turut membantu tim media CSF yang meliput dan menyuarakan hasil-hasil sidang PBB dan acara serupa lainnya di Nusa Dua kepada masyarakat banyak.

(Lisa Suroso)

Rabu, 05 Desember 2007 09:54
Anand Krishna: Pengusaha Jangan Hanya Pikirkan Keuntungan Semata
Etnis Tionghoa Harus Mengambil Peran Dalam Mengurangi Dampak Pemanasan Global

Sumber: http://id.inti.or.id/news/22/tahun/2007/bulan/12/tanggal/05/id/380/

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone