June 25, 2008

Indonesia, Ahmadiyah dan Islam Radikal

Transkrip ini disalin dari rekaman program ABC. Kami tak bisa menjamin kelengkapan dan akurasinya karena kemungkinan ada salah dengar dan kadang-kadang kesulitan juga mengidentifikasi kata-kata para pembicara.

Maya Muchtar tentang Kekerasan di Jakarta pada 1 Juni 2008
Merle Ricklefs tentang Ahmadiyah dan Indonesia
Anand Krishna tentang Pluralisme di Indonesia

Stephen Crittenden: Selamat datang di program ini.

Dibanding dengan berita seputar Senator Belinda Neal dan apa yang terjadi di klub malam Iguana – Joe, informasi dalam program “Laporan Agama” hari ini jauh lebih penting.

Beberapa hari lalu saya membuka Google, ada sekitar 1400 berita tentang Belinda Neal, tapi Anda tidak akan menemukan informasi tersebut di halaman depan The Australian atau The Sydney Morning. Kecuali Anda mengunjungi kolom editorial di Manila Times pada minggu sebelumnya.

Sebuah fakta mengagumkan tentang Indonesia… memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia tapi tetap menjunjung tinggi kebebasan beragama dan berkeyakinan di negaranya. Tapi kejadian baru-baru ini mengindikasikan bahwa Indonesia bisa saja menjadi negara yang tak lagi menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan tersebut setelah sekian berjalan secara harmonis.

Anda barangkali masih ingat beberapa minggu lalu dalam program ini pula kami melaporkan terjadinya peningkatan eskalasi politik di Indonesia terkait kelompok minoritas Islam yang bernama Ahmadiyah. Terjadi pula kampanye menuntut pembubaran Ahmadiyah yang dilakukan oleh kelompok Muslim radikal. Bahkan sebuah masjid Ahmadiyah di Jawa Barat dibakar pula.

Politisasi Islam sedang meningkat di Indonesia sejak beberapa tahun belakangan. Hal itu dimulai dari Juli 2005 tatkala Majelis Ulama Indonesia (MUI), dewan yang terdiri dari kumpulan intelektual Islam mengeluarkan serangkaian fatwa yang tidak adil terhadap Ahmadiyah, dan secara umum menodai pula nilai-nilai pluralitas dan kebebasan.

Pada 1 Juni 2008, hari di mana masyarakat Indonesia merayakan ideologi nasional mereka, Pancasila yang menghargai kebhinekaan, sebuah pawai damai yang difasilitasi oleh kelompok-kelompok lintas agama moderat guna mendengungkan kembali nilai toleransi dan pluralitas diserang oleh pasukan yang mengatasnamakan lslam tapi bersenjata pentungan besi, akibatnya banyak korban terluka.

Kemudian minggu lalu, pemerintah Indonesia mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB), memang bukan untuk membubarkan Ahmadiyah, tapi menginstruksikan kepada mereka untuk “menghentikan segala aktivitas dan penyebaran interpretasi yang menyimpang dari ajaran Islam ortodok”. Keputusan tersebut berdampak pula terhadap kelompok Muslim liberal dan elemen masyarakat Non Muslim lain. Itu semacam peringatan bagi para pendukung nilai pluralitas. Kelompok Muslim moderat, Wahid Institute, yang namanya diambil dari nama presiden RI terdahulu, Abdurrahman Wahid, telah mengeluarkan pernyataan sikap bahwasanya Indonesia sedang berada di tepi jurang menjadi negara Islam.

Mari kita mulai dengan pawai damai pada 1 Juni 2008.

Maya Muchtar tinggal di Jakarta, ia seorang Muslim. Wanita ini menjabat sebagai ketua presidium National Integration Movement, sebuah kelompok yang memperjuangkan nilai-nilai apresiasi terhadap kebhinnekaan agama. Ia tiba di tempat berlangsungnya pawai damai Pancasila di Jakarta pada 1 Juni 2008 lalu sesaat setelah aksi penyerangan terjadi.

Maya Muchtar: Saya sedang dalam perjalanan ke sana ketika saya menerima telepon dari seorang kawan yang tengah berada di tempat kejadian. Mereka mengatakan bahwa pawai damai tak jadi dilakukan karena kita sudah diserang. Saya menjawab, “Apa maksudnya diserang? Mereka mengatakan kaum radikal telah menyerang kami dan memukuli kita sehingga kami tercerai-berai. Dengan perasaan panik saya mulai menelpon teman-teman dan mengatakan pada mereka agar datang ke kantor, karena pawai – kami lebih suka menyebut karnaval damai – yang rencananya dimulai pada pukul 14.00 WIB. Tapi saat jam baru menunjuk 13.10 WIB, semua menjadi kacau-balau. Serangan tersebut terjadi begitu cepat, teman-teman saya sedang mempersiapkan peralatan, alat musik, dan sound system, mereka baru berkumpul dan duduk-duduk saja. Seharusnya ada 12.000 orang bergabung dalam karnaval ini, tapi kemudian saat baru berkumpul 1.500 orang kita sudah diserang.

Kami yang berada di sana berasal dari pelbagai organisasi, Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) terdiri atas 50-an lebih organisasi, dan organisasi saya, National Integration Movement (NIM) ialah satu di antaranya. Dan kami hendak mengajak seluruh anak bangsa untuk hadir dan bergabung dengan kami, negara kami, terdiri dari begitu banyak suku dengan beragam latar belakang agama dan pendidikan, tapi kami tetap bisa hidup bersama, kami tetap bersatu. Bhinneka Tunggal Ika, itulah motto negara kami, dan semuanya itu sudah termaktub dalam Pancasila.

Stephen Crittenden: Saya tahu bahwa banyak orang yang terluka parah. Seorang pria dari Jaringan Islam Liberal (JIL) sampai patah hidungnya, bahkan ada juga wanita yang mengalami gegar otak.

Maya Muchtar: Ya, itu benar. Sebenarnya wanita yang gegar otak itu teman saya dari National Integration Movement (NIM), dan sekali lagi saya tegaskan dia itu wanita, karena para kaum radikal itu mengatakan bahwa mereka tak menyerang anak-anak dan wanita, dan itu bohong sama sekali.

Stephen Crittenden: Siapa yang memimpin penyerangan? Kelompok apa saja yang terlibat?

Maya Muchtar: Pria yang memimpin penyerangan ialah Munarman. Ia dulu aktivis hebat, seorang juara yang berubah menjadi Muslim garis keras, dan komandan pasukan Islam ini membawahi beberapa organisasi islam seperti Front Pembela Islam (FPI), dan ada juga HTI (Hizb’ut Tahrir Indonesia). Tapi sebagian besar dari mereka berasal FPI. Itulah kenapa begitu santer tuntutan masyarakat untuk membubarkan FPI.

Stephen Crittenden: Dan Munarman, pimpinan yang Anda katakan sudah ditangkap dan menjadi tersangka?

Ya, sebenarnya ia musti dijebloskan ke penjara karena telah melanggar beberapa aturan hukum, tapi sekarang ini tak jelas bagaimana keputusannya. Besok saya dengar akan ada aksi besar-besaran dari kelompok radikal untuk mendukungnya segera dilepas dari tahanan.

Stephen Crittenden: Apakah Ahmadiyah ikut dalam karnaval?

Maya Muchtar: Ya, memang ada Ahmadiyah yang ikut dalam karnaval, tapi kaum radikal mencoba mengalihkan perhatian masyarakat bahwa isu ini melulu soal Ahmadiyah, tapi itu tak benar.

Stephen Crittenden: Lantas apa sebenarnya isu yang diangkat?

Maya Muchtar: Kekerasan, pelanggaran HAM dan penghinaan terhadap ideologi negara kita Pancasila, karena mereka mencoba mengganti dasar negara tersebut dengan akidah agama tertentu, yakni Islam. Sejak sepuluh tahun silam, mereka bertingkah seperti berada di atas hukum. Mereka merusak bar-bar, karena mereka menganggap itu tak sesuai dengan hukum Islam. Tapi di Indonesia kan memang tak berdasarkan hukum islam.

Stephen Crittenden: Dan bagaimana sekarang Anda melihat masa depan Indonesia? Masa depan kebebasan beragama dan kebhinnekaan di Indonesia?

Maya Muchtar: Kalau pemerintah, khususnya Presiden, tak jelas visi kebangsaanya, dalam arti beliau tak tegas, maka ini akan semakin buruk, karena sudah ada geraka-gerakan yang mau merubah dasar negara Pancasila dengan Syariah Islam, akidah Islam, dan ini berarti semua orang di negara ini yang non-Muslim akan disepelekan. Dan saya sebagai seorang Muslim, saya tak setuju dengan semua itu. Saya merasa malu dan terhina, atas perbuatan FPI, menganiaya orang lain atas nama Islam, atas nama agama, saya pikir ini justru menodai spirit Islam.

Stephen Crittenden: Maya, terimakasih banyak sudah hadir dalam program ini.

Maya Muchtar: Sama-sama, terimakasih banyak juga Stephen.

Stephen Crittenden: Maya Muchtar, dari National Integration Movement.

Baiklah sekarang agar jelas perbedaan pola kekuasaan barat dengan sejarah Islam di Indonesia. Telah hadir bersama kitaProfessor Merle Ricklefs, yang sampai 2005 lalu menjabat sebagai Direktur Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Asia di Universitas Melbourne Australia. Sekarang menjadi Profesor di Departemen Seni Sejarah di Universitas Nasional Singapura

Selamat datang Profesor Ricklefs. Bagaimana pandangan Anda terhadap apa yang terjadi di Indonesia berkait kebebasan dan kebhinekaan selama beberapa minggu terakhir?

Merle Ricklefs: Memang benar. Pertama-tama, SKB itu memang luar biasa ya, pemerintah memang memiliki kekuasaan untuk melarang sebuah organisasi di bawah konstitusi dan hukum Indonesia, jika organisasi tersebut mengancam stabilitas dan kedamaian dan harmoni dll. Tapi kelompok Ahmadiyah tidak pernah melakukannya. Nah sekarang kan, kita pasti berpikir kalau sebuah keputusan dikeluarkan atas dasar tersebut, hal itu tentunya berlaku bagi organisasi yang melakukan kegiatan kekerasan tersebut, bukannya korbannya. Dan sekarang ada orang-orang yang mengatakan “Ya sebenarnya pemerintah harusnya melarang FPI”. Tapi bukan itu yang dilakukan pemerintah. Pemerintah malah mengatakan, pertama kali yang diperlukan adalah seluruh orang di negara ini tidak diperbolehkan menyebarkan interpretasi suatu agama yang dapat mencemari kehormatan agama tersebut.

Stephen Crittenden: Dengan kata lain, pemerintah mengambil peran sebagai pembela ideologi ortodoks secara keseluruhan dan tidak hanya membela kaum ortodoks Islam.

Merle Ricklefs: Betul sekali.

Stephen Crittenden: Apa hal ini belum pernah ada presedennya?

Merle Ricklefs: Secara umum sih belum ada presedennya. Ada preseden sebelumnya, dan saya ingin kembali ke sebuah organisasi yang disebut LDII, yang sangatlah penting. Tidak seorang pun yang menyebutkan tentang organisasi ini, tapi dia sebenarnya bisa menjadi target utama kaum garis keras. Kembali ke poin anda tentang SKB ini, benar sekali bahwa pemerintah sekarang mengatakan akan menentukan apa itu yang disebut Islam ortodoks, tapi dibuat sedemikian rupa sehingga pemerintah dapat menentukan jika sebuah organisasi Kristen datang dan bilang ‘Orang-orang itu bukan Kristen sungguhan’, atau ada organisasi Hindu datang dan mengatakan hal yang serupa, maka pemerintah berdasarkan SKB ini memiliki hak untuk menentukan apa Hindu atau Kristen yang sungguhan. Ini kan aneh. Siapa yang dapat menentukan apa itu Islam yang sungguhan? Siapa yang dapat menyuruh kamu mempercayai sesuatu? Dan sekarang kita diberitahu bahwa pemerintah dapat menentukan siapa mempercayai apa. Satu isu lagi adalah masalah politik. Bagaimana mungkin pemerintah dapat memiliki posisi seperti itu? Kalau dari bukti yang saya peroleh, pemerintah mendapat posisi seperti itu dengan kekerasan, dengan intimidasi, sehingga pemerintah akan terlalu takut untuk mengambil aksi. Jadi ada berbagai implikasi di sini yang sangatlah mengkhawatirkan bagi kebebasan beragama.

Stephen Crittenden: Ada sebuah pernyataan yang dikeluarkan organisasi moderat Wahid Institute yang mengambil nama dari nama mantan presiden Wahid. Wahid Institute mengatakan bahwa Indonesia berada di ambang pendirian Negara Islam. Bagaimana seriusnya masalah ini?

Merle Ricklefs: Ya, saya rasa semua pernyataan tersebut harus ditanggapi secara serius. Tapi masalahnya adalah, secara konstitusi, keseluruhan hal ini dapat dipertanyakan. Jadi saya perkirakan, pastinya dari Wahid Institute, dan mungkin juga dari organisasi lain seperti Maarif Institute, dan bisa juga dari Komnas HAM; saya berharap adanya sanggahan hukum terhadap SKB tersebut dalam Mahkamah Konstitusi. Dan saya rasa MK akan memutuskan bahwa SKB tersebut tidak berlandaskan konstitusi. Jadi pemerintah harus memperbaiki diri, dan para garis keras akan turun ke jalan lagi. Jadi kepatuhan seluruh hal ini terhadap konstitusi sangat dipertanyakan.

Stephen Crittenden: Mari kita coba asumsikan bahwa itulah yang terjadi. Ahmed Suedy, Direktur Eksekutif Wahid Institut, kemarin berkata kepada saya bahwa semua hal ini tetap dapat membuat kondisi win-win (sama-sama menang) bagi kelompok Islam radikal, karena akan mengangkat seluruh isu ini, dan juga isu Ahmadiyya, sebagai isu dalam pemilu depan, dan bisa jadi kita akan melihat bangkitnya partai-partai Islam dengan cara yang belum pernah kita lihat selama ini.

Merle Ricklefs: Bisa saja, walaupun secara historis keberadaan partai-partai Islam dalam pemilu-pemilu di Indonesia sejak tahun 50an telah mengalami penurunan yang tetap. Kemungkinan lain, dan saya rasa ini sangat mungkin, adalah bahwa penggunaan kekerasan oleh kelompok-kelompok tersebut, kemampuan mereka untuk mengintimidasi pemerintah, akan menjadi penyebab kekalahan SBY pada pemilu depan. Tapi bisa saja juga membuat orang-orang merasa hal-hal ini tidak dapat lagi ditoleransi dan mereka tidak akan memilih partai-partai Islam. Saya rasa kita akan melihat banyak polarisasi sosial dan politik; dan tentunya polarisasi itu berbahaya bagi masyarakat karena sangat mudah mengarah pada kekerasan.

Tapi coba saya cerita sedikit tentang organisasi yang satunya, LDII.

Stephen Crittenden: Ini organisasi yang lebih besaran.

Merle Ricklefs: Besar sekali, dan sangat penting karena Ahmadiyah itu sasaran kecil. LDII adalah sasaran yang sangat sangat besar. Pendiri organisasi ini kembali dari Mekah sekitar akhir tahun 40an, mengklaim bahwa dia telah mendapatkan pencerahan langsung tentang pemahaman Islam yang benar, cara yang benar untuk mengajarkan Islam. Dan Islam-Islam yang lain adalah musyrik. Nah kemudian organisasi ini yang mengatakan bahwa orang-orang Islam lain adalah musyrik karena memiliki pencerahan model lain, dibuat menjadi ilegal. Bagi saya ini adalah preseden dari tahun 50an, organisasi LDII ini dinyatakan ilegal di Indonesia dan non-Muslim. Organisasi ini punya cara yang menarik; hanya mengubah namanya dan bilang ‘Ya kalau organisasi X sekarang ilegal, berarti sekarang kita organisasi Y’.

Stephen Crittenden: Dan apa kepanjangan LDII?

Merle Ricklefs: Lembaga Dakwah Islam Indonesia (Indonesian Islamic Propagation Institute). Di bawah rejim Soeharto, mereka bersembunyi di bawah Golkar dan mengatakan bahwa mereka adalah badan yang setia terhadap Golkar, partai pemerintah, dan karenanya terlindungi. Dan di dalam kondisi inilah mereka tumbuh dengan pesat. Jadi jika ada 200,000 Ahmadi di Indonesia, jika kita pergi ke desa-desa terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, hampir di setiap desa pasti ada tulisan ‘Di sini Mesjid LDII’. Dan ada juga kekerasan dari LDII di masa lalu, tapi agak terbatas. Pada saat Ahmadiyah dilarang oleh MUI, LDII juga dilarang dalam fatwa yang sama. Jika para garis keras ingin menghabisi LDII, mereka berhadapan dengan organisasi berbasis massa jutaan.

Stephen Crittenden: Tamu saya adalah Professor Merle Ricklefs dari National University of Singapore, salah satu peneliti Islam di Indonesia dari dunia barat yang paling ternama. Dan beliau juga adalah penulis buku ‘Polarisasi Masyarakat Jawa: Islam dan visi-visi lain 1830-1930’. Prof. Ricklefts, di dalam buku tersebut anda mengingatkan kita semua bahwa Islamisasi di Indonesia, atau Arabisasi menurut kata orang lain, telah terjadi selama sekitar 200 tahun.

Merle Ricklefs: Oh ya memang benar. Tapi yang paling penting diingat adalah ada dua hal yang terjadi. Sekelompok orang ingin mengadopsi apa yang mereka pikir sebagai bentuk Islam yang lebih murni, lebih ortodoks, yang secara keseluruhan sebenarnya adalah Islam yang bergaya Arab. Orang-orang ini sering menolak tradisi lokal dan menganggap tradisi lokal adalah pertanda kemerosotan dsb. Nah, segala sesuatu di Indonesia itu terjadi dalam skala besar. Orang-orang ini juga, walau mereka tidak dapat mengambil hati seluruh masyarakat Indonesia, mereka tetap memenangkan hati banyak orang dan akhirnya menyebabkan resistensi dan oposisi. Jadi kisah-kisah tentang meningkatnya radikalisasi mungkin merupakan kata yang salah, pastinya ada karakter-karakter radikal dalam sejarah Indonesia, tapi kebanyakan sih berupa orang-orang alim yang berusaha untuk menjadi lebih alim (sebagaimana pemahaman mereka). Tapi mereka-mereka ini juga menghasilkan orang yang berkata ‘Ya begitulah Islam, dan saya tidak terlalu tertarik’). Dan sebagai contoh: salah satu tempat yang paling sering terjadi kekerasan atas nama agama di Indonesia adalah di Surakarta, Jawa Tengah, di mana saya telah melakukan banyak riset. Jika saya ingat angka-angka statistik saya dengan benar, Surakarta di awal tahun 70an memiliki sekitar 15% populasi Kristen. Sekarang banyak terjadi kekerasan atas nama Islam di jalan-jalan, tentunya di mana ada Abu Bakar Baashir, di situ juga ada pesantren militer. Sekarang populasi pemeluk Kristen di Surakarta sekitar 26%. Dengan kata lain, oposisi yang terjadi begitu besar, orang tidak lagi berkata ‘Saya bukan orang Muslim semacam itu’, malah banyak orang berkata ‘Saya bukan Muslim sama sekali, mendingan saya menjadi Kristen’. Itu adalah bentuk polarisasi yang paling ekstrim yang telah telah terjadi karena pergerakan garis keras agama. Tapi di mana-mana juga dapat dilihat tanda-tanda ini. Kasus Ahmadiyah adalah contoh tepat karena pada saat kaum garis keras bergerak, kaum liberal dan tradisional juga bergerak. Kaum tradisional Nahdatul Ulama sangat menentang gerakan garis keras ini, dan bersiap untuk melawan mereka minggu ini.

Stephen Crittenden: Mantan Presiden Wahid baru-baru ini mengatakan bahwa MUI terlalu banyak memiliki kekuasaan, dan Presiden Yudhoyono mematuhi setiap fatwa MUI seakan-akan fatwa itu datang dari Mahkamah Agung. Balik ke masa-masa Soeharto, MUI adalah bagian dari pemerintah, tapi tetap berada dalam kendali Soeharto. Bagaimana ceritanya MUI bisa memperoleh begitu besar kekuasaan dan pengaruh?

Merle Ricklefs: Ya, ini sangat luar biasa. MUI sebenarnya didirikan tahun 1975 oleh Soeharto dengan maksud untuk memobilisasi kaum Islam konservatif untuk mendukung pemerintahan yang opresif. Bertahun-tahun MUI memainkan peranan tersebut. Jadi MUI memang selalu konservatif; orang bisa berkata MUI itu reaksioner dalam pandangan-pandangan keagamaannya. Tapi adalah sangat luar biasa bahwa di tahun-tahun terakhir MUI tidak hanya mengontrol apa yang dilakukan Presiden. Jika ada fatwa MUI tentang suatu hal, anda akan melihat bahwa polisi dan lembaga-lembaga kepolisian lokal mematuhi fatwa tersebut. Ini sungguh luar biasa dan sangat tidak memiliki landasan hukum maupun konstitusional. Namun masyarakat mulai memandang MUI hampir seperti badan pemerintahan.

Stephen Crittenden: Pertanyaan terakhir. Jika Indonesia menjadi Negara Islam, apa artinya bagi tempat-tempat seperti Bali atau Papua Barat, atau Sulawesi di mana terdapat begitu banyak orang Kristen?

Merle Ricklefs: Benar. Dan jangan lupa bahwa ada sebagian besar populasi masyarakat di daerah tengah-tengah seperti Jawa yang adalah kaum Kristen. Jika ada upaya serius untuk menciptakan sebuah Negara Islam, persatuan negara ini akan jadi dipertanyakan.

Stephen Crittenden: Dan ini adalah isu keamanan yang penting bagi Australia.

Merle Ricklefs: Benar demikian. Australia memerlukan Indonesia yang stabil, koheren, bahagia dan terkonsolidasi. Kita tidak memerlukan sekumpulan negara yang terus berkelahi di batas utara wilayah kita.

Indeed it would be, yes. Australia needs a stable, coherent, reasonably happy and consolidated Indonesia, we don’t need a bunch of sort of contesting States on our northern borders.

Stephen Crittenden: Professor Merle Ricklefs dari National University of Singapore.

Tinggal di Bali, Anand Krishna adalah pendiri dan pemimpin Anand Ashram, pusat meditasi dan studi spiritualitas. Seorang pembela utama konstitusi Indonesia yang melindungi keberagaman agama, beliau juga sering menulis untuk Jakarta Post.

Anand, mari kita mulai dengan SKB pemerintah Indonesia yang diterbitkan minggu lalu. Apa artinya SKB ini untuk kebebasan beragama di Indonesia?

Anand Krishna: Ya, hal itu hanya memberikan impresi bahwa pemerintahan yang sekarang ini sangatlah lemah. Dan bagi kaum radikal, SKB ini adalah test-case; jika kaum radikal bisa lolos begitu begitu saja dengan masalah ini, mereka juga bisa melakukan hal lainnya. Jadi jika kita menyerah dan menerima hal ini, maka kita sama saja memberikan check kosong kepada kaum radikal untuk diisi apa saja.

Stephen Crittenden: Saya sudah mendengar pendapat-pendapat bahwa SKB ini tidak hanya akan berdampak bagi Ahmadiyah, tapi juga bagi keberagaman agama, terutama bagi agama-agama minoritas di Indonesia.

Anand Krishna: Saya setuju sekali, karena poin utamanya adalah bahwa tidak seorang pun diperbolehkan untuk membuat interpretasi apapun tentang ajaran agama manapun. Dan jika kita tetap menginterpretasi, maka interpretasi itu harus sesuai dengan apa yang disebut kepercayaan yang populer di tengah masyarakat. Jadi interpretasi mana yang harus kita ikuti? Jadi sekarang anda tidak dapat bicara tentang masalah agama apapun di depan publik, karena takutnya itu tidak sesuai dengan kepercayaan yang populer (umum).

Stephen Crittenden: Saya bicara kemarin dengan Ahmed Suedy dari Wahid Institute, dan dia berkata bahwa saat-saat ini adalah saat berbahaya bagi Indonesia. Baginya, Indonesia bahkan berada di ambang pembentukan Negara Islam.

Anand Krishna: Tidak hanyak Negara Islam, tapi juga di ambang Negara Taliban.

Stephen Crittenden: Apa dampaknya terhadap tempat seperti Bali? Anda kan di Bali. Apa dampaknya bagi Bali jika Indonesia menjadi Negara Islam?

Anand Krishna: Saat ini ada banyak masyarakat di Bali yang telah bersuara bagi Bali Merdeka. Mereka berkata jika hal seperti ini sampai terjadi – kemarin saja saya sempat bicara dengan seseorang – maka Bali harus berjuang bagi kemerdekaannya.

Stephen Crittenden: Anand, saya dengar anda telah menulis surat kepada PBB.

Anand Krishna: Ya. Saya telah menulis kepada Sekretaris Jendral PBB dan kopinya saya sampaikan kepada kepala-kepala negara anggota PBB dan perwakilan mereka di Jakarta, juga kepada media internasional, dan saya meminta bantuan mereka –saya sebutnya permohonan bantuan karena putus asa – saya minta bantuan mereka untuk menekan pemerintah saya, sehingga Presiden saya memahami bahwa “Lihat dong, apa yang terjadi di negaramu itu tidak sejalan dengan kebijakan hak asasi manusia di dunia internasional.” Dan Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut, dan kita harus tunduk pada keputusannya.

Stephen Crittenden: Anand, di beberapa dekade terakhir, partai-partai politik Islam di Indonesia sebenarnya tidak terlalu berhasil dalam pemilu. Menurut anda isu seperti Ahmadiyah dapat dimainkan dalam pemilu berikut dan membuat partai-partai politik agama tersebut lebih sukses pada pemilu mendatang?

Anand Krishna: Ah. Saya tidak tahu, karena saat ini jika saya melihat konstelasi partai-partai berbasis Islam di negara ini, mereka terpecah belah. Tidak ada satupun isu yang mereka semua setuju, kecuali Sharia, dan partai-partai ini pun memiliki interpretasi mereka masing-masing tentang Sharia. Jadi saya rasa ini bisa jadi kekacauan luar biasa. Jika mereka ingin mendapatkan 40%, 50% suara, mereka mungkin akan bergandengan tangan, tapi dalam satu dua tahun, saya melihat kekacauan luar biasa di negara ini. Kita akan terpecah belah di setiap setiap daerah, tiap kota akan terpecah belah.

Stephen Crittenden: Sebenarnya kita sudah melihatnya pada tingkat lokal, kita melihat Sharia diterapkan di beberapa tempat kan?

Anand Krishna: Benar. Ada sebuah sekolah di Padang yang seluruh anak gadisnya harus memakai jilbab.

Stephen Crittenden: Ini di Sumatra Barat.

Anand Krishna: Ya, di Sumatra Barat. Lalu bagaimana dengan murid-murid Kristen dan Hindu? Murid Buddha dan kaum minoritas lainnya? Mereka kan tidak harus memakai jilbab, mereka tidak diwajibkan kok. Tapi begitu mereka datang ke sekolah, seluruh gurunya akan melihat mereka seperti mahluk dari mana begitu. Para guru ini akan membuat murid-murid ini begitu malu sehingga hari besok mereka datang ke sekolah dengan jilbab.

Stephen Crittenden: Anand, di beberapa tahun terakhir ada pergerakan LSM moderat yang berpihak pada pluralisme, dari berbagai latar belakang; malah sebenarnya banyak dari kelompok-kelompok tersebut merupakan kelompok yang berpawai bagi Pancasila pada tanggal 1 Juni yang lalu. Gerakan ini terjadi untuk meng-counter balik timbulnya Islam radikal. Sekarang ada di mana pergerakan ini?

Anand Krishna: Ya sebenarnya ada satu hal yang pasti. Saya sebenarnya berharap… karena saat pemimpin FPI ditangkap, salah satu menteri kabinet kami pergi menjenguk dia. Beberapa pimpinan partai politik juga menjenguk dia, bersimpati pada orang tersebut. Paling tidak satu hal pasti. Mereka sudah menunjukkan identitas diri mereka, sudah keluar. Kita sekarang tahu siapa yang radikal, siapa yang tidak. Sebelum tanggal 1 Juni kita tidak tahu menteri mana yang bersimpati dengan pergerakan radikal. Sekarang kita tahu. Jadi sekarang saya hanya ada satu masalah, yaitu pergerakan Islam moderat di negara saya, mereka tidak mencapai akar rumput. Kaum radikal sudah menjarah ke akar rumput, mereka dapat bicara dengan akar rumput, mereka bicara bahasa mereka, idiom mereka, tidak seperti kaum moderat kita yang orang intelektual.

Stephen Crittenden: Kaum moderat ini adalah kelas menengah?

Anand Krishna: Betul, kelas menengah. Mereka adalah kaum akademisi, kaum intelektual, sangatlah sulit untuk berkomunikasi atau berdialog dengan masyarakat akar rumput, dengan petani, kaum buruh, dan masyarakat yang terkena pengaruh kaum radikal.

Stephen Crittenden: Pertanyaan terakhir. Apakah kita akan melihat dari kelompok moderat ini, yang anda juga ikut di dalamnya, membuat tuntutan hukum terhadap SKB ini ke pengadilan?

Anand Krishna: Kami akan melakukannya. Kami – AKKBB – sudah merencanakan, mendapatkan dukungan dari 200 pengacara. Mereka akan menuntut SKB tersebut. Pengadilan juga harus mendengarkan kita.

Stephen Crittenden: Salah satu aktivis utama bagi keberagaman agama di Indonesia, Anand Krishna, mengakhiri program kita untuk minggu ini.

Terima kasih kepada produser Noel Debien dan Charlie McCune. Sampai jumpa lagi dari Stephen Crittenden.

Para Tamu

Maya Muchtar
Ketua panitia National Integration Movement di Jakarta

Merle Ricklefs
Professor di Jurusan Sejarah National University of Singapore

Anand Krishna
Pendiri Anand Ashram, Pendiri National Integration Movement

Sumber: http://www.abc.net.au/rn/religionreport/stories/2008/2278057.htm#anchor1

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone