Di sana kulihat api pertikaian
Membara dalam dengusan nafas kesombongan
Arogansi berbaju spiritualis
Ya, mereka itu…para Tuhan yang nyinyir
Jamaklah kiranya kau hanguskan binatangmu
Karena dia tidak lebih dari seonggok daging
Namun sayang kau terlalu bebal atau mungkin kanibal
Dengan refrain berulang yang kau kemas sebagai sakramen dogma
Kini kau sudah menjadi pintar karena hapal satu ayat
Kalau begitu celoteh obelix tentang kepurbaanmu adalah lagu pemujaan
Yang selalu kau nyanyikan dalam segala bualanmu
Di masjid, di gereja, di pura, di wihara
Lalu lahirlah manusia-manusia bengis itu
Dia yang berimajinasi tentang musuh Tuhan
Dia yang meradang dalam jilatan kebencian
Dia yang – konon – pembela Tuhan
Namun yang lebih menakutkan adalah mereka yang berbaju wol
Dia yang mengaku telah mendapat rahasia dari langit
Dia yang merasa sudah mengerti hakikat
Dia yang senang mengasihani rumah orang lain
Jika kesamaan adalah untuk kesamaan
Demikian juga ketidaksamaan untuk ketidaksamaan
Maka mengapa kau ingin menaruh kesamaan pada ketidaksamaan
Dongeng apalagi ini ?
Ah mungkin kuharus menjadi manusia tidur sekarang juga
Manusia yang tidak mengatakan aku tapi melakukan aku