Langit cerah. Matahari siang jam 12.30 menyala-nyala di atas kepala membakar kulit. Emas yang berada dipuncak Tugu Monas terlihat berkilau. Sementara ratusan orang baru saja bubar dengan senyum yang menepis gairahnya udara panas, tangan mereka nenggamit dan memeluk beragam hadiah di hari istimewa ini. Lalu memasuki bus-bus tua ‘tuk mengantarkan mereka pulang. Satu acara usai hari ini di Monas.
Kemudian kami melangkah dengan kaki-kaki ringan bersama teman-teman dari berbagai asal usul, menyatu dalam barisan hendak merayakan kelahiran Pancasila. Kami tidak membawa kue ulang tahun atau membahas kitab-kitab pemikir para pendahulu bangsa yang telah membidani lahirnya simbol burung garuda.
Kami ingin menyelipkan bunga mawar di atas kuping setiap penduduk kota Jakarta, ingin menaburkan melati kedamaian di jalanan ibu kota, kami ingin melayangkan bunga kamboja rasa persatuan lewat jendela-jendela rumah baik yang bertingkat atau kumuh, pokoknya hari ini kami ingin anak-anak bangsa mengucapkan terimakasih karena telah diayomi Ibu Pertiwi.
Terik matahari tak akan membebani ujung-ujung kaki kami atau menyerah meski bibir kami mengering, tidak. Hari ini kami semua harus mengucap syukur atas berkah yang diterima bangsa Indonesia meski masih pekatnya mara, bergulung-gulung dan berlipat-lipatnya ombak penderitaan rakyat, semakin seraknya kerongkongan rakyat menyeru para wakilnya yang sibuk mengutak-atik lembaran-lembaran kertas kerja.
Rakyat bingung, ibu-ibu menjerit, anak-anak sekolah ketar-ketir meminta uang sekolah, gang-gang perumahan semakin sesak oleh pengangguran. Lalu kenapa mesti bersyukur hari ini?
Ya, kita harus senantiasa bersyukur karena negeri ini tidak miskin, alam kita kaya, cukup kaya. Tetapi nurani kitalah yang tertutup berbagai macam kotoran dan keangkuhan pribadi dan kelompok. Kita tercerai berai. Maka kami hari ini ingin mengingatkan kita semua bahwa kita: mampu. Bahwa kita harus mandiri. Bahwa negeri ini harus bebas dari issu-issu pro neo kapitalis, pro radikalisme. Tidak, bangsa kita yang berbudaya tinggi berada di tengahnya, kita harus mendamaikan pemikiran-pemikiran usang itu.
Sebab, kita hingga sekarang masih menderita.
Kita harus membangunkan Cinta, menyebarkan Kasih ke seluruh penjuru mata angin.
Kami melangkah sadar memasuki pusat gravitasi pusaran massa pecinta Ibu Pertiwi. Bibir toa berkomat-kamit, kami pun merapat, berjongkok, sebagian tetap berdiri. Ibu-ibu dan anak-anak menikmati sensasi cahaya mentari, sebagian dari mereka meninggikan payungnya. Tidak ada yang spesial dari kalimat yang mengalir dari mulut toa. Namun tiba-tiba ada yang ganjil, pelik, teman…
“Teman-teman silahkan lebih mendekat dan tolong tidak terprovokasi.”
“Hah, terprovokasi?”
“Kenapa?”
Kami bukanlah makhluk jejadian dari kulit kemunafikan, urat-urat kebuasan, tangan-tangan yang penuh ambisi ingin melukai, tidak. Amarah kami sudah dibersihkan hari ini, putih bersih seperti warna sebagian pakaian ibu-ibu.
Puluhan kepala kami melongok dan memutar ke sana-ke sini. Duduk di atas bebatuan silang Monas yang hangat, kami menyaksikan tepat di puncak kepala teman-teman yang berkerumun, bendera-bendera dan panji-panji sedang diarak oleh sekelompok orang. Panji itu asing.
Tepat sejajar di belakang kami, tiba-tiba mereka balik kanan dengan disiplin dan terlatih, lalu bubar menyerbu. Mulut toa tetap berusaha menenangkan kami. Sebaliknya, mereka bernafsu memecah kerumunan kami, mengaduk ketentraman kami, menceraiberaikan rasa cinta yang kami jalin. Mereka menyerang kami. Satu, dua, tiga orang terlihat seperti gembala domba, ia kesana-kemari menggiring, menarik, mendorong sesamanya agar bertindak sesuai yang diinginkannya.
“O Tuhan.”
“Mereka ternyata orang-orang FPI.”
“Dari mana hak mereka sehingga berani membubarkan peringatan hari lahirnya Pancasila ini?”
“Kami bukanlah pekerja atau buruh yang menolak hukum romusha. Bukan pula bumiputra yang menolak membayar upeti kepada Belanda, bukan.”
Mereka berbicara dengan kerasnya kepalan tangan, menyalami kami dengan hentakan kaki mereka yang liar, mereka memalingkan wajah mereka yang alot, ada yang menutup wajah. Rasanya, ingin kami cium wajah penyerang yang menutup wajahnya itu.
Kami bubrah, ketakutan, panik, berdoa dalam hati, masih warga negara republik inikah kami? Kami memikirkan kehadiran satria pembela negeri.
Ibu-ibu berteriak. Anak-anak menangis ketakutan.
Mereka, FPI itu malah berteriak balik, “Bubar, bubar. Pulang,pulang.” Mereka memacu dan mendesak kami ke sudut ring arena penaklukan semangat kami, bagai pendekar jagoan toya, mereka mendesak kami meneriakkan rasa sakit. Punggung-punggung kami dihantam, isi kepala digoyang. Mereka menghadiahi kami hari ini hujan batu, agar kulit yang luka, agar hati yang kecut, rasa takut yang mengerut semakin koyak, semakin teriris, semakin hangus oleh batu-batu muntahan isi kepala mereka yang sumpek.
Sepertinya mereka hingga sekarang belum paham bagaimana hidup di republik ini dengan santun, dengan bermartabat, dengan harga diri sebagai manusia yang utuh. Mungkin tidak ada yang mengajarkannya. Atau mereka jangan-jangan golongan manusia yang kesepian di antara kearifan dan kebijaksanaan.
Lihatlah keramahan mereka. Ekspresi mereka digerakkkan oleh pikiran-pikiran yang meraung-ruang di ruang-ruang kepala yang gelap, hanya para saintis yang bisa menakar tingkat hunian sang amarah yang menguasai mereka.
Ada yang berteriak, “Kami juga Islam.”
“Plak,” mereka malah dibungkam. Yang lain mencoba menjemput saudaranya yang terkapar. Ia telah digebuki, dikeroyok, kepalanya bermiyakkan darah merah, semerah warna bendera kita. Puluhan hati putih bersih para wanita dan pria yang berani menentang maut berusaha menghalau orang-orang yang kerasukan karena mereka terus menghajar beberapa pria yang sudah terkulai memeluk lututnya. Ia tidak berdaya. Hati yang putih bersih itu menangis menyaksikan darah yang merah.
Hari ini setiap anak-anak bangsa yang berencana merayakan HUT Pancasila masing-masing mendapat hadiah. Tetapi hadiah itu bukan dari Ibu. Kami menerima bingkisan itu dengan lapang dada, dengan senyum bahwa tangan kami, mulut kami, hati kami, bahkan pikiran kami semuanya telah diikat oleh Ibu Pertiwi. Kami iklas menerima dekapannya yang membuat kami membatin, menerima semuanya.
Tetapi kenapa Ibu merangkul hati kami sehingga api pembalasan tidak membakar nyali kami? Pertanyaan itu memenuhi angkasa Jakarta, jantung Ibu Kota. Ibu terdiam. Kami menyaksikan air bening membungkus bola matanya dengan dengan latar warna merah. Ia menangis.
Katanya kemudian, “Serahkan semua rasa sakitmu wahai jenderalku, panglimaku, anakku, pahlawanku, kepadaku. Persembahkan semua pertanyaanmu, dendammu kepadaku agar kuguyuri kalian dengan berkah Cinta, Kasih penyembuhan batin.”
Kami menangis. Wajah kami yang legam, kepala kami yang berat, punggung kami yang kaku masih cukup kuat untuk meminta maaf kepada Ibu. Kemudian kami membawa ramuan hati yang sudah sembuh untuk mengunjungi teman-teman yang rebah memudar, pesakitan di ranjang-ranjang rumah sakit.
“Saudara kami, kamu tidak sakit, tubuhmu yang luka akan segera sembuh.”
“Ibu telah merawat kita.”
Kami menyeru nama-Nya di rumah masing-masing. Sementara kotak elektronik buatan manusia beradab zaman ini, menyajikan sapaan para bapak-bapak negeri.
“Kami menyayangkan kejadian ini,” tapi wajahnya tanpa ekspresi.
“Kami menolak, mengutuk kekerasan ini,” ucapnya dengan kaki tertahan.
“Kejadian ini akibat Ahmadiyah tidak dibubarkan. Inilah akar masalahnya,” ucapnya dengan kerutan kening sambil menghitung logika politik.
Kami tak butuh semua itu.
Lalu kami pergi menemui Ibu di rumahnya…
Saudaraku, sesungguhnya Ibu kitalah yang membutuhkan tangan-tangan dan suara gemuruh yang lantang untuk menghentikan setiap kelakuan rendah yang hendak menodai, memperkosa Ibu. Hentikan semua kemunafikan ini, Teman. Dan kenapa Bapak-Ibu masih duduk di depan meja membolak-balik kalender tahun depan?
Kami memandangi wajah Ibu…
Ibu berkata, ia akan bekerja sampai titik darah penghabisan hingga luka anak-anaknya terobati. Ibu telah bersumpah, Teman. Siang malam ia tidak akan mengatupkan kelopak matanya yang meradang, ia berjalan tanpa alas kaki mengunjungi setiap rumah untuk meminta pertolongan seribu anaknya. Di depan setiap pintu ia berkata, “Anakku, saudaramu, terluka di saat merayakan ulang tahunku.”
Ia bertanya di setiap pintu yang terbuka dan tertutup. Kadang dari balik daun jendela, “Punyakah kau anakku, salep keberanian untuk mengobati saudaramu yang sendiri?”
Ibu Pertiwi masih berjalan mengetuk hati anak-anaknya…
———————————-
Penulis: de’ purba,
Mengenang Tragedi Berdarah peringatan HUT Pancasila di silang Monas, Jakarta, pada tanggal 1 Juni 2008.
Penulis salah satu korban pemukulan oleh segerombolan orang-orang yang menamakan dirinya FPI. Mereka selalu memukul korbannya dari belakang. Rupanya mereka tak ingin dikenali korbannya. Memalukan!