June 22, 2008

Penyerangan FPI telah merusak citra Muslim di Indonesia

Kekerasan yang dilakukan oleh sebuah kelompok Islam radikal pada awal bulan ini telah menghancurkan persepsi/gambaran dunia internasional terhadap muslim di Indonesia, kata pemimpin kelompok Muslim terbesar ke dua di negara ini.

Penyerangan yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) pada sebuah kelompok massa yang mengusung pluralisme telah merusak 5 tahun kerja keras untuk menghilangkan gambaran kekerasan pada Muslim di Indonesia setelah pemboman atas nama agama dan konflik-konflik horizontal, kata Ketua Muhammadiyah Din Syamsuddin pada hari Kamis lalu.

“Kita harus memulai dari titik awal lagi untuk membenahi gambaran damai dan moderat tentang Muslim di Indonesia setelah penyerangan itu, ” Din bercerita kepada The Jakarta Post.

Beliau mengatakan bahwa konflik-konflik horizontal di Sulawesi Tengah, Maluku dan Kalimantan Barat, begitu juga konflik-konflik vertikal di Aceh dan beberapa pemboman yang dilakukan para teroris di Bali dan
Jakarta, Muslim di Indonesia mengalami waktu-waktu yang berat untuk meyakinkan dunia bahwa mereka sangat moderat dan sebenarnya hanya beberapa kelompok saja yang radikal.

Gambaran moderat ini telah terhapuskan begitu saja karena ulah anggota FPI bersenjatakan tongkat bambu yang memukul dan menendang para aktivis dari Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan (AKKBB) ketika melangsungkan Aksi Damai pada Tugu Monas 1 Juni 2008, yang mengakibatkan 70 orang terluka.

Aksi Damai ini diadakan untuk memperingati Hari Lahirnya Ideologi Negara Pancasila ke-63 dan untuk menunjukkan dukungan bagi Kebebasan Beragama untuk minoritas Ahmadiyah

Sebelum episode penyerangan ini, Din berkata, Muslim Indonesia telah menunjukkan posisi moderat dan damai mereka. “Tetapi dengan media massa secara global sedang mempublikasikan berita dari penyerangan ini dan stasiun-stasiun TV dengan jelas menyiarkan gambar-gambar penyerangan tersebut, saya tidak dapat lagi memprediksi gambaran/persepsi apa tentang kita (muslim di Indonesia) sekarang ini,” beliau mengatakan.

Beliau juga mengakui bahwa kritikan-kritikan terhadap organisasi mainstream seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah karena kegagalan mereka untuk bersuara keras terhadap elemen-elemen ektrimis dan konservatif sebagian adalah benar, tapi penyerangan-penyerangan itu seharusnya tidak dihubungkan pada agama.

“Sebuah penyerangan dengan menggunakan kekerasan adalah murni sebuah tindakan kriminal dan negara seharusnya mengambil tindakan tegas terhadap hal ini. Kekerasan tidak mempunyai akar dalam islam. Kekerasan adalah penyalahgunaan dalam beragama,” Din berkata. “Alasan bahwa kita sepertinya tidak berbuat apa-apa karena kita tidak mau terprovokasi.”

Para pengamat telah mengkritisi organisasi-organisasi Muslim moderat untuk kegagalan mereka menampilkan tolerasi beragama setelah keputusan pemerintah mengeluarkan SKB Ahmadiyah.

Mereka berpendapat bahwa NU dan Muhammadiyah telah membiarkan kelompok-kelompok garis keras berpeluang dalam mengambil tempat publik dan mengklaim bahwa mereka mewakili semua Muslim di Indonesia. SKB Ahmadiyah telah diputuskan dan dikeluarkan oleh pemerintah pada awal bulan ini karena tekanan intensif dari beberapa kelompok ektrim, termasuk FPI dan Hizbut Tahrir Indonesia.

Din mengkritisi media massa yang gagal melaporkan tindakan dan perbuatan para Muslim moderat dibandingkan dengan liputan kelompok-kelompok radikal.

Beliau mengatakan bahwa organisasi-organisasi moderat seperti NU dan Muhammadiyah telah sangat aktif mengembangkan gambaran Islam yang merupakah berkah/berkat bagi semua orang.

“Kita telah berupaya menjangkau mayoritas dengan ajaran-ajaran yang wajar dan tidak berlebihan. Kita telah berperang melawan kemiskinan, ketidakadilan, dan kebodohan dengan pendidikan dan kegiatan-kegiatan budaya,” beliau menambahkan.

Abdul Khalik – The Jakarta Post

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone