September 22, 2008

Batik Lokal, Warisan Budaya Nusantara Berbahan Baku Import Dan Serbuan Global

Sore itu Pakdhe Jarkoni, sehabis mandi dengan berbaju batik tengah membaca koran Kompas yang menjadi koran favorit Pakdhe. Tiba-tiba Pak Satrio, Kapten Purnawirawan Angkatan Darat yang menjadi tetangga sebelahnya datang bertamu.

Pakdhe Jarkoni: Monggo pinarak, silahkan duduk Pak Kapten, segar rasanya pak sehabis mandi, badan fresh membaca berita Nusantara. Biar pengetahuan lebih luas dan dapat memahami negeri kita ini. Pak Kapten sudah baca Kompas hari ini?

Kapten Pur. Satrio: Sudah Pakdhe, saya seneng baca Kompas isinya tidak hanya melulu tentang kekerasan, tetapi selalu mengetengahkan humanisme, tidak menonjolkan kekerasannya, tetapi rasa manusiawi yang terkait dengan kekerasan yang tengah terjadi. Melihat Pakdhe memakai baju batik, kemudian anak-anak muda, dan bahkan artis juga memakai baju batik, kami ikut berbahagia. Generasi saat ini sudah mulai menghargai warisan Budaya Nusantara.

Pakdhe Jarkoni: Iya Pak Kapten, tetapi celah kebanggaan Budaya Nusantara ini diselipi, dirasuki, dirembesi hal yang mengkhawatirkan. Batik Printing China sudah masuk pasar tradisional, harganya lebih murah Pak.

Kapten Pur Satrio: Dari dulu sudah kami sampaikan, bahwa kita memakai kain batik warisan Budaya Nusantara tetapi bahan bakunya 98% impor. Harga jual tidak bisa ditekan karena tergantung harga dari luar. Di pihak lain, China mempunyai Sumber Daya Manusia lebih besar dan teknologi lebih maju. Kemudian apabila terjadi proses masuk yang tidak ilegal sehingga tidak kena biaya masuk sekitar 22.5%. Ditambah lagi pengusaha kita yang hanya memikirkan untung semata, dalam jangka waktu dekat 10% pangsa domestik batik akan dikuasai mereka. Masalah motif, mereka bisa meniru dengan mudah, wong tidak ada hak patentnya.

Pakdhe Jarkoni: Ki Ageng Suryomentaram mengatakan, sebetulnya pribadi seseorang yang belum sadar itu menganggap kumpulan catatan-catatan, informasi tentang dirinya mulai dari kecil sampai saat ini sebagai dirinya. Kumpulan informasi ini, sekarang didominasi kelompok catatan tentang harta kekayaan, sehingga kelompok catatan tentang bangsa dan kehormatan terpinggirkan. Kalau catatan-catatan tersebut tidak diberi makan yang berupa perhatian, maka catatan-catatan yang kurang perhatian tersebut akan semakin kurus dan mati. Kalau sudah demikian yang terjadi pada diri manusia-manusia Indonesia, maka masyarakat kita akan menjadi materialistis murni, dan juga hanya memikirkan kepentingan pribadi. Ketidakpedulian terhadap negara ini membuat bangsa semakin terpuruk, naudzubillah.

Kapten Pur. Satrio: Pada tahun 2006, terdapat 48.287 unit usaha batik yang menyerap 792.300 tenaga kerja. Semoga perdagangan di tingkat nasional segera lebih mengutamakan perlindungan terhadap produksi dalam negeri. Dan semoga manusia-manusia Indonesia mencintai batik produksi dalam negeri daripada batik murah produksi mancanegara.

Pakdhe Jarkoni: Sangat menyedihkan Pak Kapten, salah satu warisan Budaya Nusantara, kalau tidak ada perhatian dari kita semua hanya akan menjadi cerita belaka bagi anak cucu kita. Semoga kita semua cepat sadar, jangan hanya memikirkan masalah Ahmadiyah yang menyerap banyak energi bangsa. Banyak hal-hal lain yang perlu perhatian serius.

Triwidodo, September 2008.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone