Berselang dua hari dari obrolan Pakdhe Jarkoni dengan Lik Darmo, Pakdhe Jarkoni datang lagi ke warung Pak Sartono. Waktu sudah jam 9 malam dan masih ada Lik Bagio yang duduk ngematke, menikmati teh panas dan makan tempe bacem bakar. Selain Lik Bagio ada beberapa pengendara sepeda motor yang mampir nge-mie.
Lik Bagio: Sugeng ndalu, selamat malam Pakdhe, tadi Pak Sartono cerita bahwa dua hari yang lalu Pakdhe ngendikan, ngobrol dengan Lik Darmo tentang pertanian yang dikuasai Perusahaan Multi Nasional. Mari kita lanjutkan diskusinya Pakdhe. Keponakan kami di desa bilang bahwa harga sarana pertanian, seperti benih, pupuk, pestisida pasti tinggi, sedangkan harga produk pertanian seperti cabai, beras, tembakau dan lain-lain selalu tidak pasti.
Pakdhe Jarkoni: Wah, sekarang ketemu pentholan diskusi, asyik, nggih dik nggih, ya dik ya! (Pakdhe menyalami anak muda yang memberikan tempat duduknya untuk Pakdhe Jarkoni). Ibaratnya para petani ringkih disuruh menghadapi Raksasa Kapitalisme Global.
Lik Bagio: Betul Pakdhe, pada zaman Hastina hanya Yudistira yang gemar judi. Sekarang petani terpaksa judi. Sawah teknis yang berpengairan itu jumlahnya berapa, kan masih banyak yang masih tadah hujan. Karena iklim yang tidak menentu, keponakan kami berani tanam, karena hujan turun agak sering, kemudian kalau ternyata hujan berhenti ya resiko. Kemudian para petani juga berjudi dengan harga pasar yang fluktuatif. Ada yang berani ber-resiko menanam padi pada musim yang seharusnya untuk tanam palawija, karena kalau berhasil harga padi nya lebih tinggi, disebabkan yang menanam padi tidak banyak.
Pakdhe Jarkoni: Hal demikian tidak hanya dihadapi keponakan Pak Bagio, ayah dan kakek kita juga telah menghadapi hal yang sama. Perusahaan Negara Persero produsen benih PT Sang Hyang Sri pun hanya menjual benih padi seharga Rp. 6.000 – Rp. 7.000 per kg, sudah mepet dengan biaya produksi benihnya. Kalau boleh memilih, perusahaan tersebut akan memilih produksi jagung hibrida yang menguntungkan.
Pak Bagio: Pakdhe, tolong saya dijelaskan tentang benih jagung hibrida, mengapa bisa menguntungkan?
Pakdhe Jarkoni: Untuk benih padi, petani selain membeli benih dari Perusahaan Negara, dapat juga membuat sendiri, dengan kualitas rendah mestinya. Sedangkan untuk benih padi dan jagung hibrida yang hasilnya dapat meningkat lebih banyak, petani tidak bisa membuat benihnya dan tergantung kepada perusahaan pembuatnya. Benih padi dan jagung hibrida harganya Rp. 40.000 – 50.000 per kg, sedangkan biaya produksinya Rp. 15.000 – 20.000 per kg. Untungnya besar, tetapi katanya perusahaan kita punya keterbatasan dan Perusahaan Multi Nasional yang membuatnya.
Pak Bagio: Gitu toh Pakdhe. Sudah demikian, ada paket kebijakan fiskal yang membebaskan bea masuk impor kedelai dan gandum serta menurunkan bea masuk beras 18.2%. Sehingga baik petani maupun masyarakat sudah bergantung pada Perusahaan Multi Nasional. Klop sudah masalah kita.
Pakdhe Jarkoni: Seharusnya ada pertimbangan keadilan dan kedaulatan, karena kekuatan ekonomi bangsa terbatas, bukan hanya menyerah kepada kekuatan ekonomi luar yang besar. Semoga para pemimpin menyadari, betapa susahnya petani kita dan betapa rawannya negara kita. Kenyamanan yang dinikmati hanya kenyamanan semu. Semoga.
Triwidodo
September 2009.