January 22, 2009

Melepaskan Diri Dari Cengkeraman Mind Dengan Selalu Ber-‘Terima Kasih’

Sepasang suami isteri sedang bercakap-cakap di beranda Wisma Pengairan di pinggiran kota Purwokerto. Udara yang sejuk, bersih, jauh dari kebisingan kota dan kehangatan mendoan serta teh panas menggairahkan pembicaraan.

 

Sang Isteri: Perjalanan Semarang Purwokerto kemarin lancar, hanya kabut tipis menjelang Parakan, tetapi saya lihat kau banyak merenung suamiku. Sehingga saya banyak diam sering mengatur napas bahkan tertidur.

 

Sang Suami: Saya merenungkan Nasehat Guru dalam buku Atisha, “Bersyukurlah kepada Yang Maha Kuasa dan berterima kasihlah kepada setiap orang. Hal tersebut dapat menunjang peningkatan kesadaran dalam diri”.

 

Sang Isteri: Pelaksanaannya yang cukup sulit suamiku, Bukankah kau pernah down akibat tindakan yang menjatuhkan egomu dimana kau merasa bukan salahmu sendiri tetapi seakan sanksi dijatuhkan hanya kepadamu? Walaupun kau akhirnya dapat melepaskan diri dari belenggu perasaan ego tersebut?

 

Sang Suami: Benar isteriku, saya hanya mengucapkan Terima Kasih. Guru berkata, “Biasakan diri mengucapkan ‘Terima Kasih’ dan dirimu akan berubah. Setiap ada yang menghujat, memaki ucapkan Terima Kasih , masalah sudah selesai dan tidak perlu berdebat”.

 

Sang Isteri: Memang benar suamiku, karena ada orang yang bertindak ‘kurang benar’ terhadap kita, maka ‘kebenaran’ muncul. Tanpa tindakan yang ‘kurang benar’, ‘kebenaran’ tidak muncul. Kita memang ber-Terima Kasih terhadap munculnya ‘kebenaran’. Kebenaran itu Ada.

 

Sang Suami: Lagi pula setiap mengucapkan Terima Kasih, sesungguhnya kita melepaskan diri dari cengkeraman mind. Mind tidak pernah ber-Terima Kasih.

 

Sang Isteri: Bukankah mind itu hanya ingin melakukan yang disenangi, menghindari hal yang tidak disenangi dan cuwek terhadap hal yang tidak ada urusannya dengan diri?

 

Sang Suami: Benar isteriku, mind selalu mengadakan perhitungan. Pikiran hanya menghitung laba rugi seperti kalkulator saja. Terima Kasih yang diucapkan mind hanya basa-basi. Terima Kasih yang tulus bukan produk mind.

 

Sang Isteri: Bersyukur adalah sebuah rasa, ber-Terima Kasih adalah sebuah rasa. Benar juga bahwa setiap kali bersyukur dan ber-Terima Kasih sebenarnya telah melepaskan diri dari cengkeraman mind. Sudah berhubungan dengan rasa.

 

Sang Suami: Kejadian di kantor, di tempat latihan olah batin, di lingkungan keluarga ada persamaannya. Bahkan hubungan dengan rumah, pekarangan, taman dan lingkungan juga ada persamaannya. Di semua tempat, di setiap saat, ‘Aroma Kasih’ menenangkan diri kita. Terima Kasih isteriku.

 

 

(dijiwai Buku “Atisha” karya Bapak Anand Krishna)

 

Triwidodo

Januari 2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone