Kadang-kadang tugas pekerjaan mengurus karyawan itu membutuhkan kesabaran dan keahlian ekstra. Seorang karyawan sedang berdiskusi dengan pimpinannya mengenai seorang bendahara yang nekat dan siap berbuat apa saja karena depresi terhadap masalah yang dihadapinya.
Karyawan: Si Pemberang itu telah menyulitkan kita semua pak, bagaimana cara Bapak sehingga dapat mengatasinya?
Pimpinan: Dia memang sulit, maunya minta dipecat saja dan kemudian membuat keributan. Saya melihat napasnya memburu, tersengal-sengal dan siap meledak. Pelan-pelan saya sampaikan bahwa dia sudah bekerja puluhan tahun, apakah hanya karena muncul suatu masalah nasib keluarganya dipertaruhkan? Kemudian saya juga menyampaikan bahwa selama ini dia terkenal seorang yang taat beribadah, siang malam berdoa, apakah pahala kebaikan yang sudah lama dikumpulkan hancur hanya karena perbuatan tak terkendali? Bukankah puasa Senin – Kemis itu latihan untuk mengendalikan diri?
Karyawan: Disadarkan tentang keluarga dan ibadah bisa menurunkan tensinya ya Pak. Saya dengar Bapak datang ke rumah kontrakannya. Mungkin bisa diceritakan bagaimana tanggapannya.
Pimpinan: Dengan kedatangan saya, dia mengendur sarafnya dan bersama isterinya curhat tentang kehidupan mereka. Dia pernah menjadi bendaharawan proyek pembangunan di pulau kecil di Indonesia Timur. Kehidupannya bergolak dengan meledaknya kebiadaban di antara sesama warga di sana. Sebelum tahun 99 kehidupan masyarakat di sana normal-normal saja. Reformasi di Jakarta berimbas ke tempat jauh terpencil di sana. Rumahnya dibakar, pembantunya dimutilasi, demikian juga tetangga-tetangganya.
Karyawan: Bapak pernah mengatakan adanya sifat kebuasan dalam diri manusia, sifat hewani bawaan. Potensi tersebut mungkin bangkit dipicu ketakutan akan hilangnya nyawa orang dekat kita dan ulah provokator handal. Mereka sebenarnya tidak tahu Pak, tahunya teman-temannya dizalimi dan mereka bersatu menzalimi gantian. Semoga mereka yang membuat skenario keji sadar akan akibat yang terjadi, yang sudah membekas dalam bawah sadar dan diwariskan sampai beberapa generasi.
Pimpinan: Dia akhirnya pulang ke Ibukota. Proses pengalihan gajinya lama dan dia mempertahankan hidup sebagai tukang ojek. Hidupnya terlunta-lunta, sampai penempatannya di instansi ini. Uang rapelan turun dan dia membeli tanah dan membangun rumah. Entah bagaimana, rumah tersebut jadi tanggungan temannya pinjam uang di Bank, sedangkan temannya stroke tak berdaya. Dia diusir dari rumahnya, dan menyewa rumah lain disamping tempat suatu pendidikan anak-anak, dimana dia dan istrinya ikut membantu kegiatan ekstra kurikuler.
Karyawan: Gajinya setiap bulan habis untuk membayar cicilan pinjamannya pak, mungkin pekerjaan sampingan itu yang dapat mendukung kehidupan bersama dua orang anaknya.
Pimpinan: Dalam keadaan antara hidup-mati, susah berjuang, dia dapat bertahan. Akan tetapi setelah hidupnya mulai mapan, uang brankas di sebelahnya membuat penglihatannya lamur, sedikit demi sedikit, dan akhirnya ……… meledak dan terjadilah peristiwa ini.
Karyawan: Menurut Bapak, potensi kebuasan dalam dirinya siap muncul bila dalam keadaan terpepet?
Pimpinan: Dalam diri seseorang terdapat sifat bawaan hewani, beberapa orang mungkin sifat bawaannya bukan hewan yang jinak. Coba perhatikan hewan-hewan pemakan daging, yang jauh lebih agresif dibanding hewan pemakan tumbuhan.
Karyawan: Terima kasih Pak, kami ikut tenang setelah masalah dapat diselesaikan. Kami dengar tentang pengaruh makanan terhadap karakter seseorang, Bapak bisa menjelaskan?
Pimpinan: Bagi yang tingkat kesadarannya masih fisik belaka, maka makanan mempunyai pengaruh yang signifikan. Saat kita makan daging, tidak dapat dihindari bahwa sebagian dari rasa kebencian, kemarahan dan frustrasi yang terdapat dalam hati binatang yang muncul saat mati, akan tertanam dalam kesadaran pemakan tubuhnya, dan menumbuhkan rasa tidak enak di dalam. Dan saat orang itu sakit, dia sukar untuk menyembuhkan diri akibat semua hawa/getaran/atmosfir kebencian dan kemarahan dari binatang-binatang tersebut, melekat melingkupi daging yang dimakannya.
Karyawan: Terima kasih Pak, semua bentuk kehidupan menolak penderitaan dan menolak kematian. Kalau kita perhatikan saat penjagal menyembelih atau saat kita melihat binatang disembelih, mereka mengalami penderitaan dan berusaha untuk melarikan diri. Itu berarti mereka mempunyai naluri untuk ingin hidup. Kita harus memperlakukan setiap makhluk dengan cara yang sama sebagaimana kita ingin diperlakukan. ‘Apa yang engkau tabur, itulah yang akan engkau tuai.’. Bukan demikian Pak?
Pimpinan: Sebaiknya kita sadar di depan piring makanan kita. Hanya untuk memberi makan pada satu tubuh, kita membunuh begitu banyak mahluk. Bagi manusia dewasa, sudah 6.000 ekor ayam masuk dalam perutnya, sudah 20 ekor sapi yang dikunyahnya, sudah 30 kg ikan lewat di kerongkongannya, sudah 4 kg udang mengalir dalam darahnya. Sudah sewajarnya, virus mereka menyerang tubuh manusia. Sudah sewajarnya kebencian, kemarahan dan frustasi mereka mempengaruhi tabiat kita yang siap meledak ketika dalam keadaan genting memuncak.
Karyawan: Terima Kasih Bapak.
http://triwidodo.wordpress.com
Januari 2009.