February 12, 2009

Arjuna, Sang Idola Nusantara Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha

Latar Belakang penulisan Kakawin Arjuna Wiwaha

 

Sudah biasa dilakukan di Nusantara seorang Guru memberikan petunjuk kepada Rajanya lewat tulisan. Bukan suatu kebetulan bahwa sang Guru adalah Mpu Kanwa yang pikiran, ucapan dan tindakannya telah menyatu dengan kehendak alam dan sang raja adalah Prabu Airlangga yang spiritual, sehingga pemikiran mereka bisa ‘tune-in’, selaras.

 

Airlangga adalah menantu Prabu Darmawangsa raja Kahuripan yang terbunuh pada saat penyerbuan mendadak oleh Raja Wurawari dan para pengikutnya yang datang dari Luar Jawadwipa. Diantara kerabat yang selamat dari serbuan tersebut adalah Airlangga, sang menantu Prabu Dharmawangsa. Airlangga masih terhitung keponakan Prabu Dharmawangsa dari garis keturunan Mpu Sendok, seorang raja yang memindahkan ibukotanya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, sedangkan ayah Airlangga adalah seorang Raja Bali.

 

Airlangga mempersiapkan serangan balasan kepada Raja Wurawari. Dan, akhirnya berhasil menaklukkan Raja Wurawari. Setelah menang peperangan, Airlangga memindah ibukota kerajaan ke Daha, Kediri yang lebih jauh jaraknya dari pantai utara dan bergelar Sri Maharaja Rakai Halu Sri Lokeswara Dharmawangsa Erlangga Anantawikrama Uttunggadewa.

 

Mpu Kanwa menulis Kakawin Arjuna Wiwaha pada awal abad 11 tersebut diperuntukkan bagi Sri Baginda Prabu Airlangga. Tulisan yang sangat halus dan penuh nasehat ini layaknya seperti ketika Sri Krishna memberi pelajaran kepada Arjuna dalam Bhagavad Gita. Pemahaman Kakawin Arjunawiwaha itu sangat penting sebagai persiapan Sang Prabu Airlangga yang berusaha mempersatukan Jawadwipa. Karena itu di dalam karya agung ini, pemeran utamanya bukan Dewa, tetapi Ksatria Arjuna sebagai gambaran Sang Prabu Airlangga sendiri.

 

Para pembaca Kakawin Arjunawiwaha akan dapat merasakan kebesaran Arjuna. Bagaimana Sang Arjuna dapat menghayati hukum alam semesta dan memahami dharmanya, perannya dalam kehidupan ini. Dharmanya adalah memulihkan ketertiban dunia. Dan tugas tersebut sejalan dengan pelepasan dirinya dari ikatan duniawi, menuju kebahagiaan sejati. Arjuna memahami petunjuk Sang Guru Sejati: “The real freedom is attained when we are free from the desire to attain freedom… Total Freedom ‘happens’  when ‘I’ n ‘You’ end”.  Kebebasan sejati diperoleh ketika Arjuna bebas dari keinginan mencapai kebebasan. Kebebasan sejati menyeluruh terjadi ketika “aku” dan “kamu” berakhir. Arjuna hanya menjalankan Dharma sepenuh hati, tidak lagi memikirkan tujuan lain, termasuk untuk mendapatkan kebebasan sejati, moksa. Prabu Airlangga perlu memahami dharmanya sebagai seorang raja yang mempunyai peran untuk menegakkan kebenaran dan membuat persatuan di Nusantara.

 

Lambang dari Arjuna bertapa

 

Dalam kisah para leluhur selalu diceritakan bahwa ‘Arjuna’ bertapa seakan-akan menjauhkan diri dari keramaian untuk mencari kesaktian. Leluhur selalu memberikan kisah dalam bentuk alegori, perlambang. Arjuna melakukan ‘tapa’ dalam kehidupan sehari-hari, dengan tekad menemukan dirinya yang sejati, dengan cara mengendalikan diri dan sabar dalam mengarungi kehidupan. Raksasa dan Binatang adalah lambang ‘ancaman kecemasan’ dari persoalan yang nampak nyata dalam kehidupan. Makhluk halus, genderuwo, brekasakan adalah lambang ‘ancaman ketakutan’ terhadap hal yang tak nyata. ‘Vidyadhari’, Bidadari adalah lambang nafsu keduniawian. Betapa banyaknya ‘Arjuna wurung’ , ‘Arjuna gagal’ yang jatuh karena ancaman nyata, kecemasan batin, atau pun jatuh karena harta, tahta dan wanita. Setelah selesai bertapa, Arjuna akan memperoleh Senjata Penakluk Hawa Nafsu, dan dihadiahi Bidadari. Dia yang menemukan jati-dirinya, akan dihadiahi alam dengan pemenuhan kebutuhan duniawinya. Temukan Gusti, dan Dia akan mencukupinya.

 

Ada contoh bertapa yang dimuat dalam buku RAHASIA ALAM ALAM RAHASIA, Gramedia Pustaka Utama 2003 karya Bapak Anand Krishna:

 

Bukan sekedar makanan

Tapi apa saja yang masuk ke dalam badan

Juga apa saja yang dilakukan badan

Jaga selalu keseimbangannya

 

Tontonan dan bacaan masuk lewat mata

Berita tak keruan lewat telinga

Mulut sibuk ngerumpi tak berguna

Kaki tangan entah berbuat apa

 

Pikiranmu melayang ke mana-mana

Gejolak emosi membuatmu merana

Kau pikir kau sudah berpuasa

Padahal belum apa-apa

 

Selanjutnya, diteruskan:

 

Bila kepala tasbih kau anggap mewakili Allah

Kemudian, butir pertama kau anggap mewakili

Sifat Utama-Nya: Maha Pengasih.

Maka butir terakhir adalah Maha Sabar

 

Berawal dari-Nya, berakhir pada-Nya,

Itulah perjalanan rohani manusia.

Kasih mengantarmu ke dunia,

Sabar mengajakmu balik pada-Nya

 

Sesungguhnya Sabar itulah Tuhan.

Bila kau inign berketuhanan,

Janganlah membalas kekerasan dengan kekerasan

 

Mengendalikan diri dan sabar dalam mengarungi kehidupan itu bagian dari bertapa.

 

Tapa Arjuna dalam Kakawin Arjuna Wiwaha

 

Dikisahkan bahwa Arjuna bertapa karena kesadarannya sebagai ksatria, dia ingin melakukan dharma kewajibannya di tengah masyarakat. Dia merupakan lambang pemimpin yang sanggup mengorbankan jiwa, raga dan harta bendanya demi negaranya. Dalam tapanya Arjuna diuji apakah tapanya demi ambisi pribadi atau benar-benar demi pengabdian murni.

 

Tujuh bidadari utusan Bathara Indra dengan kecantikan tak tertandingi menggoda Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila. Namun demikian oleh karena Arjuna telah berhasil mencapai  keteguhan-hati,  maka ia tidak terganggu oleh godaan para bidadari jelita tersebut.

 

Selanjutnya Bathara Indra sendiri yang menguji apakah Arjuna seorang ksatria yang penuh keyakinan, ataukah seorang ‘resi’ yang melarikan diri dari keduniawian. Bathara Indra menyamar sebagai seorang resi tua yang memperolok dan menggugah rasa kesatriaan Arjuna. Ia muncul dalam bentuk seorang resi yg menghardik Arjuna, bahwa dengan segala tapa bratanya Arjuna belum mencapai kesempurnaan, karena sebetulnya Arjuna hanya mengejar pembebasan dirinya sendiri. Dengan teguh Arjuna menjawab, bahwa tujuannya bukanlah untuk keselamatan diri, juga bukan untuk kepentingan keluarga Pandawa, melainkan untuk menyelamatkan kebenaran dalam peperangan akhir antara dharma melawan adharma. Demi dharmanya itu Arjuna berani menghadapi apa saja, bahkan kematian sekalipun akan dihadapinya.

 

Bathara Indra berbahagia, karena telah menemukan seorang ksatria berbudi-luhur yang akan mampu untuk menghadapi Sang Niwatakawaca. Raksasa Angkara Murka yang mengancam Kahyangan, Istana para Dewa.

 

            Ujian berikutnya adalah Mamang Murka, raksasa utusan Prabu Niwatakawaca dengan bentuk jelmaan babi hutan raksasa yang menyerangnya dengan ganas. Akhirnya babi hutan tersebut mati dipanah oleh Arjuna. Persoalan timbul, karena babi hutan tersebut mati karena dua buah anak panah. Ternyata ada seorang ksatria yang juga membidikkan anak panah ke babi hutan tersebut. Sudah selayaknya, Arjuna yang bekerja keras berperang tanding penuh luka dengan babi hutan yang akhirnya berhasil mati dipanahnya, merasa lebih berjasa dari pada seorang Ksatria tanpa perkelahian sebelumnya dan langsung memanah babi hutan tersebut.

 

Sang ksatria mengajak berperang tanding, mengadu kesaktian. Akan tetapi, bagi Arjuna, nama bukan menjadi masalah, siapapun yang mendapatkan nama dan berhak mendapat karunia bukan menjadi bahan pemikiran Arjuna. “Wahai Ksatria, kalau kamu merasa berhak sebagai pembunuh Mamang Murka, dan mau melaporkan ke Kahyangan silahkan. Bagiku, ada adharma yang mati sudah memadai, itu bentuk kasihku terhadap kebenaran”.  Arjuna ingat nasehat Sang Guru Sejati: “Kasih tidak mengharapkan imbalan. Kasih itu sendiri adalah imbalan. Kebahagiaan yang kau peroleh saat mengasihi itulah imbalan kasih”.

 

            Sang Ksatria merasa dipermalukan dengan pernyataan Arjuna yang menohok kecongkakannya, dan menyerang Arjuna sehingga terjadilah perang tanding yang luar biasa. Akhirnya baju perang Arjuna hancur, akan tetapi Arjuna berhasil mendekap kedua kaki musuhnya, sehingga musuhnya terjatuh dan perkelahian terhenti. Tiba-tiba ksatria tersebut mengubah wujudnya menjadi Bathara Guru.

Bathara Guru sangat terkesan atas kerendahan hati Sang Arjuna. Arjuna telah lulus ujian pendadaran dan oleh Bathara Guru, Kuasa Pengajar Sejati, diberi hadiah seperangkat senjata panah bernama Pasopati. Pashu adalah hewan, sehingga Pasopati adalah senjata andalan untuk menaklukkan sifat kehewanan dalam diri.

 

Prabu Niwata Kawaca

 

Jauh berbeda dengan Arjuna, pembawaan Sang Prabu Niwatakawaca sebagai raksasa sakti penuh dengan hawa napsu keangkara-murkaan. Dalam keangkuhan dan kesombongan dirinya Sang Raksasa berniat untuk menghancurkan kahyangan dan menundukkan para dewa. Seseorang yang merasa sangat berkuasa, segala kehendaknya harus terpenuhi, sebetulnya dia tengah melawan kahyangan, pusatnya kekuasaan suci yang berada di hati nurani. Walaupun orangnya mungkin sopan dan lemah lembut, tetapi bertindak meminggirkan hati nurani, oleh leluhur kita digambarkan sebagai Raja Raksasa yang melawan kahyangan, pusatnya kekuasaan sejati yang bersemayam dalam hati nurani.

 

Prabu Niwatakawaca dianugerahi  kesaktian dan tidak  akan  mati di tangan Dewa dan Raksasa. ‘Mind’, ego yang serakah tidak dapat ditundukkan dengan kelemburan hati nurani dan tidak takut dengan ancaman dari ego individu lainnya. Yang dapat mengalahkannya hanya Arjuna yang suka bertapa dan mempunyai senjata penakluk kehewanan diri yang sakti. Hanya pengendalian diri, kesabaran dan pemahaman tentang sifat kehewanan diri yang dapat mengalahkan ‘mind’, ego yang serakah dan penuh kecongkakan.

 

Sang Niwatakawaca adalah makhluk pashu yang pasha, terikat oleh maya, ilusi dunia. Dalam keangkaramurkaannya ia ingin menghancurkan kahyangan, menundukan Bhatara Indra, Kuasa Kebenaran dan merebut Dewi Suprabha, cahaya ilahi. Rajas, keangkaramurkaan napsu dan tamas, kegelapan batin yang menyelimuti jiwanya gagal untuk memperoleh Suprabha, cahaya ilahi.

 

Bagaimanapun, Prabu Niwatakawaca tidak tahan terhadap bujuk rayu Dewi Suprabha, sehingga terpancinglah keluar rahasia kelemahan dirinya yang terdapat  di ujung  lidahnya. Bagaimana pun cahaya ilahi tetap berusaha untuk mencari kelemahan ‘mind’, ego yang serakah. Dan akhirnya ketahuan juga bahwa kelemahan Raksasa ‘Mind’ Niwatakawaca adalah di ujung lidahnya.

 

Rasa makanan sudah terbentuk di lidah. Lidah yang hanya selalu makan yang enak saja, akan sulit menerima rasa makanan yang kurang enak. Keterikatan paling nyata bagi manusia dewasa adalah selera makanan. Orang dewasa yang terbiasa makan nasi gudeg yang manis akan sulit menerima masakan India yang penuh rempah-rempah. Lain halnya dengan anak kecil yang keterikatannya terhadap pola tertentu belum addiktif. Kesadaran tentang keterikatan lidah, bisa berkembang terhadap keterikatan duniawi lainnya. Hanya Arjuna, pikiran jernih yang bisa mengendalikan diri dan sabar dalam mengahdapi semua permasalahan hidup dapat mematikan ‘mind’, yang dalam hal ini dimulai dari pemahaman tentang keterikatan terhadap lidah.

 

Dalam hal pembicaraan yang menggunakan mulut dan lidah, ‘mind’ dapat terbentur-bentur ketika lidahnya sering menyakiti orang banyak. Kesadaran bahwa lidah dapat membuat banyak masalah, membuat pikiran jernih muncul untuk mengendalikan lidah. Dan ‘mind’ pun dapat dikalahkan.

 

Perang tanding dengan Prabu Niwatakawaca

 

Kemenangan melawan Mamang Murka dan kemuliaan berrendah hati terhadap Bathara Guru membuat Arjuna diundang ke kahyangan. Seandainya manusia normal, Arjuna mestinya ingin segera kembali ke sangha, persaudaraannya di keluarga Pandawa untuk membawa berita gembira bahwa dia telah mendapatkan senjata sakti untuk menghadapi koalisi Korawa. Bagaimana pun Arjuna merasa dharma dirinya adalah menegakkan kebenaran, maka dia bersedia memenuhi permintaan para Dewa untuk menaklukkan Prabu Raksasa Niwatakawaca.

 

Dengan bantuan Dewi Suprabha, maka Arjuna dapat mengetahui kelemahan Prabu Niwatakawaca yaitu dilidahnya. Dalam perang tanding, Arjuna sengaja jatuh berguling-guling yang membuat Prabu Niwatakawaca tertawa terbahak-bahak. Pada waktu kegirangan tersebut, lidahnya nampak dan segera dieksekusi dengan anak panah oleh Arjuna.

 

Selanjutnya, Arjuna kembali ke kahyangan untuk merayakan kemenangannya melawan Prabu Niwatakawaca. Kemudian Arjuna pun menerima karunia untuk melaksanakan wiwaha, pernikahan dengan ketujuh bidadari termasuk Dewi Suprabha yang  pernah menggodanya pada waktu dia bertapa. Setelah berada di kahyangan selama tujuh purnama, kembalilah Arjuna ke alam Marcapada untuk berkumpul dengan saudara-saudaranya.

 

Kembalinya Arjuna ke Dunia Ngarcapada, dimaksudkan Mpu Kanwa sebagai kembalinya Prabu Airlangga meneruskan dharmanya setelah dia menemukan jati dirinya sebagai Arjuna.

 

Pencerahan Arjuna

 

            Arjuna lulus dari beberapa godaan ilusi duniawi: godaan bidadari duniawi; cemoohan resi tua jelmaan Bathara Indra; gangguan kecemasan oleh Mamangmurka, dan kemudian kerendahan hati terhadap ksatria jelmaan Bathara Guru. Selanjutnya Arjuna mendapatkan senjata Pasopati, penakluk sifat hewani dalam diri. Selanjutnya dengan dibantu api, cahaya ilahi, Arjuna dapat mengalahkan Raksasa ‘Mind’ Prabu Niwatakawaca. Arjuna telah mengalahkan maya, ilusi duniawi. Ketujuh bidadari adalah tujuh pusat energi dalam diri manusia. Ketujuh bidadari, daya sakti yang bersemayam dalam dirinya telah bangkit menyatu dengan dirinya membakar semua racun hati dan menghasilkan tirta amerta, air kehidupan. Setelah memperoleh jati dirinya, Arjuna kembali turun ke duniawi dengan penuh kesadaran.

 

Mpu Kanwa memberi petunjuk kepada Prabu Airlangga untuk melakukan semua tindakan yang dilakukan Arjuna. Dan, setelah Prabu Airlangga menemukan jati dirinya, maka tugas, dharmanya di dunia akan dapat diselesaikan dengan penuh kesadaran.

 

Sebagai penutup adalah kutipan terjemahan Bhagawad Gita Bab18 Moksa Sanyas Yoga, teks 3-10:

Ada yang mengatakan bahwa segala macam tindakan itu mengikat diri kita dan harus dilepaskan. Ada pula yang mengatakan bahwa tindakan-tindakan seperti persembahan, pelayanan terhadap mereka yang butuh, dan lain sebagainya, tidak patut ditinggalkan.

 

Dengarkan tentang pelepasan ini. Pelepasan pun dibagi menjadi tiga macam. Tindakan-tindakan persembahan, pengabdian dan pelayanan tanpa pamrih, tidak dilepaskan oleh para bijak, karena tindakan-tindakan demikian membantu pembersihan jiwa. Namun, tindakan-tindakan semacam itu pun harus dilakukan tanpa pamrih dan keterikatan pada hasilnya. Demikian keyakinanku, Arjuna.

 

Melepaskan kewajiban merupakan tindakan yang bodoh dan dilakukan oleh mereka yang bersifat malas dan tidak bertanggung jawab. Mereka yang bersifat agresif biasanya akan melepaskan tanggung jawabnya, karena rasa takut dan lain sebagainya. Mereka pun tidak patut diteladani.

 

Mereka yang bertanggung jawab dan bersifat tenang akan menyelesaikan kewajiban-kewajiban mereka tanpa keterikatan dan harapan apa pun. Pelepasan keterikatan dan harapan semacam ini merupakan pelepasan yang sejati. Manusia yang bersifat tenang demikian menghadapi tanggung jawab serta kewajibannya tanpa ragu dan kebimbangan. Perhatikanlah wahai Para Arjuna. Terima kasih Guru.

 

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

 

Februari 2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone