Pukul 23.00, menunggu hujan mereda, seorang anak SMA pulang dari kegiatan sekolahan menuju rumah. Sang Ayah bangun mengeluarkan mobil, agar sepeda motor anaknya bisa masuk garasi, kemudian dia memarkir mobilnya di depan pintu garasi lagi. Setelah itu hujan turun begitu lebatnya, sebelum tidur pun hujan masih sangat lebat. Pukul 02.00 Sang Ayah bangun, air masuk rumah sekitar 5 cm, barang elektronik dinaikkan ke atas meja dan telpon berdering melaporkan bahwa kantor yang berjarak sekitar 2 km dari rumah kebanjiran. Setelah kontak dengan beberapa rekan, Sang Ayah ketiduran.
Pukul 05.30 keduanya bangun. Air sudah 25 cm di dalam rumah. Istri dan anak perempuannya yang sedang di Solo, dan anak sulungnya yang tinggal di Jakarta ditelpon. Sang Ayah kembali menelpon rekan-rekannya, banjir bukan luapan dari Sungai Banjir Kanal Barat, tetapi karena hujan yang sangat lebat, dan drainase lokal tidak mampu menampungnya. Hanya kota Semarang kebanjiran, kota di sekitarnya aman. Air Kali Banjir Kanal Timur sebagian melimpas dan sudah ditutup masyarakat dengan kantong pasir. Bandara Semarang terendam. Radio FM kemudian dihidupkan, tetapi suaranya lagu-lagu bukan berita banjir, lumayan juga untuk menghangatkan suasana. Dan, di atas tempat tidur Sang Ayah dan Sang Anak bercengkerama. Kalender menunjukkan hari Minggu Pahing tanggal 8 Februari 2009. Selama dua belas tahun tinggal di Semarang baru sekali ini banjir masuk dalam rumah mereka.
Sang Anak: Papa, kalau kemarin saya tidur di rumah teman, saya tidak dapat pulang ke rumah. Sekarang jalan depan rumah sudah terendam satu ban mobil. Kalau papa ikut ke Solo, saya sendirian juga akan bingung. Kemarin saya lihat tivi bahwa banjir Bengawan Solo di awal Februari 2009 menggenangi kota-kota di sepanjang Bengawan Solo di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kini Semarang kebanjiran, Apakah karena hutan penyimpan air di gunung pada gundul, air hujan tidak dapat disimpan dalam akar-akar dan melimpas ke permukaan menyebabkan banjir, kemudian membawa tanah tererosi sehingga terjadi pendangkalan sungai yang memperparah banjir?
Sang Ayah: Bukan hanya daerah tangkapan hujan di gunung yang gundul. Ada ‘fenomena baru’. Rata-rata curah hujan di sekitar Surakarta sekitar 2.100 mm per tahun. Akan tetapi pada awal Februari 2009 curah hujannya dalam 3 jam mencapai 300 mm. Curah hujan dengan jumlah sepertujuh tahun atau 50 hari diturunkan dalam 3 jam, jelas akan terjadi banjir. Itu sudah termasuk pengaruh ‘global warning’. Papa baru minta teman chek ketinggian alat penakar hujan di Semarang, kemungkinan tidak jauh berbeda dengan yang di Solo kemarin. Suhu air laut yang lebih panas menyebabkan awan hujan yang lebih banyak, hal itu menyebabkan turunnya hujan semakin lebat.
Sang Anak: Anehnya di musim kemarau kekeringan semakin bertambah. Apakah gunung gundul tidak bisa menyimpan air, sehingga pada waktu kemarau air di sungai menjadi sedikit? Padahal kebutuhan akan air meningkat terus ya Pak? Di Afrika sudah banyak terjadi kekeringan yang menyengsarakan penduduk setempat.
Sang Ayah: Benar anakku, banyak terjadi perubahan arah angin akibat pencairan es di kutub, ada yang terserang badai, dan ada yang terserang kekeringan. Kemudian tanaman pangan juga membutuhkan air. Forum Ekonomi Dunia, WEF di Davos, Swiss pada akhir Januari 2009 menyebutkan tentang tingginya kebutuhan air akibat meningkatnya jumlah penduduk dunia. Dalam 20 tahun mendatang, akibat kekurangan air, dunia akan kehilangan tanaman pangan yang kalau dijumlahkan setara dengan hasil tanaman pangan yang dihasilkan India plus Amerika………………………..
Kita harus cepat sadar, kebutuhan pangan melonjak drastis, potensi konflik rebutan air besar. Air tawar di Nusantara diincar oleh perusahaan multinasional.
Sang Anak: Air tawar bakal jadi rebutan, sementara pulau semakin mengecil akibat peninggian air laut karena ‘global warming’ ya Pak? Seberapa gawat Pak?
Sang Ayah: Dunia akan kelebihan air akibat pemanasan global, es kutub yang meleleh, selimut salju pegunungan Himalaya dan Tibet akan lenyap pada tahun 2100, sekarang pun di Himalaya sudah mulai kelihatan warna hijau tanaman yang merangkak dari bawah. Naiknya suhu 0.6 derajat Celcius membuat permukaan laut naik 20 cm. Apalagi kalau es di Greenland mencair, dahsyat akibatnya. Kenaikan sampai 1 m amat mungkin. Kalau saja Greenland meleleh total, maka air laut naik 7 m, dan Jakarta, Surabaya, Semarang habis. Ibaratnya ‘Raksasa Air’ yang tidur membeku mulai menggeliat, begitu bangun, bumi ini pun akan ditelannya.
Sang Anak: Kalau demikian cerita avatara di zaman purba, bahwa bumi ditelan Raksasa itu maksudnya Bumi terendam air laut???
Sang Ayah: Semuanya mungkin, saya tiba-tiba teringat:
“Dan apabila lautan telah melimpah-limpah”. (81:6)
“Demi laut yang melimpah-limpah. Sesungguhnya siksa Tuhanmu mesti akan terjadi. Tidak ada yang menghalang-halangi. Yaitu pada hari bergoyang langit segoyang-goyangnya. Dan pecah gunung-gunung sepecah-pecahnya. Maka celakalah pada hari itu untuk orang-orang yang mendustakan”. (49:6-11).
Manusia tidak tunduk, tidak patuh pada Tuhan, dengan menggunakan ‘mind’-nya dengan keserakahan ‘mind’-nya dia sedang menghancurkan dirinya sendiri. Sang Ayah selanjutnya menuliskan percakapan tersebut di atas laptop. Dengan kedua kaki seperti ayam, nangkring di atas kursi karena air menggenangi ruangan. Terima kasih Guru, setiap orang harus mempertanggungjawabkan tindakannya di masa lalu.
http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
Februari 2009.