February 11, 2009

Keyakinanan Bhima Terhadap Guru

Tidak semua petunjuk alam itu bersifat langsung. Sering sekali seseorang begitu yakin mengerjakan sesuatu sesuai dengan intuisinya, dan ternyata ketika sedang mengerjakan hal tersebut, dia malah bertemu dengan hal lain yang sudah lama didambakannya. Alam memberikan jalan kepada orang yang bersungguh-sungguh, lahir dan batin meniti ke dalam diri. Gambaran tersebut dapat dilihat pada perjalanan spiritual Bhima. Bhima yakin dan patuh menjalankan perintah Guru Drona. Para kerabatnya mengingatkan bahwa perintah Guru Drona mungkin akan menjerumuskan dirinya, agar dia mati dan Korawa menang perang melawan Pandawa. Akan tetapi Bhima tetap teguh, “Aku yakin kepada Gusti Yang Menguasai Kehidupan. Gusti menggunakan Guru Drona sebagai pemanduku. Bagiku perintahnya adalah Perintah Gusti. Kalau pun aku akan mati, itu sudah saya pertimbangkan, akan tetapi sudah merupakan bawaanku bahwa aku akan mempertahankan kehidupanku selagi bisa kulakukan”. Bukan hanya perintah Guru Drona dapat diselesaikan, akan tetapi Bhima malah dapat menemukan jati dirinya, sehingga nama Bhima tetap menjadi idola sampai beberapa ribu tahun sesudah kematiannya. Sampai berapa lama nama kita masih eksis dalam percaturan masyarakat? Bhima sudah membuktikan kualitasnya.

 

Putera Sang Bayu

 

Dewi Kunti yang suaminya sakit-sakitan membayangkan salah seorang putra yang akan dilahirkannya sehat tinggi besar dan perkasa. Dewa yang cocok menurut bayangannya adalah Dewa Bayu. Bayu mempunyai sifat angin, yang meskipun tidak tampak tetapi dapat dirasakan berhembus tanpa henti, merata keseluruh penjuru. Sewaktu-waktu angin berhembus kuat menjadi badai yang tidak pandang bulu, apapun yang menghalangi jalannya diterjangnya. Angin tidak seperti tanah dan air yang bergerak menuju ke tempat yang rendah karena gravitasi bumi. Angin sudah melampaui gravitasi bumi, angin bergerak menuju daerah bertekanan rendah.

 

Angin muson dan angin darat terjadi karena daratan menghangat dan menyejuk lebih cepat daripada air. Hal ini menyebabkan suhu di darat lebih panas daripada di laut pada musim panas atau di siang hari. Udara panas di darat berkembang naik, menciptakan daerah bertekanan rendah. Ini menciptakan sebuah angin yang bertiup ke arah daratan. Pada musim dingin atau malam hari, udara di darat menjadi lebih sejuk dengan cepat, tetapi udara panas di laut bertahan lebih lama. Udara panas di atas laut berkembang naik, menciptakan daerah bertekanan rendah dan angin bergerak dari darat ke laut. Seperti angin Bhima juga selalu bergerak menuju kebaikan, apakah kebaikan itu di atas, di tempat yang sulit maupun di bawah, di tempat yang mudah, Bhima tetap menuju ke arahnya.

 

Berkarakter bak angin, Bhima ‘pedhe’ sekali, baginya semua manusia sama, kalau orang lain bisa, aku pun bisa. Sehingga leluhur kita memberi karakter Bhima untuk selalu berbicara ‘ngoko’ tidak memakai ‘krama halus’. Walaupun hal tersebut tidak mengurangi rasa hormat kepada Guru Drona, kepada Krishna, kepada Ibu dan Kakaknya, juga kepada para ‘Dewa-Wujud kekuatan Gusti’. Bhima hanya berbahasa halus ketika menemui Dewaruci, Nyawa atau Ruhnya yang digambarkan leluhur dengan wujud Bhima dengan dimensi kecil. Setelah bertemu Ruh-nya itulah Bhima menemukan jati dirinya.

 

Bhima ksatria jujur, tegas, melaksanakan dharma ‘tanpa tedheng aling-aling’, tanpa ditutup-tutupi, sifat angin menjiwainya. Hal tersebut mengakibatkan banyak perasaan orang yang terkena, tersinggung, tetapi bagi Bhima tidak apa-apa, kalau menantang, silahkan berkelahi. Bhima sangat yakin akan kekuatannya.

 

Leluhur kita juga menggambarkan Pandawa dan Krishna sebagai bermacam-macam kesadaran di dalam diri. Sadewa dan Nakula diibaratkan elemen tanah dan air dengan pusatnya pada tubuh manusia di daerah anus dan sekitar alat kelamin. Arjuna digambarkan sebagai api, energi yang berpusat di pusar. Bhima bersifat udara berpusat di dada. Sedangkan Yudistira elemen ruang berpusat di dahi. Krishna bersifat ilahi dan terletak di mahkota. Dikisahkan beberapa tahun paska perang Bharatayuda, pada zaman Raja Parikesit, sewaktu Krishna mati, kehidupan pergi; maka tubuh mulai dingin dimulai dari kedua kaki, Nakula dan Sadewa mati; kemudian naik ke perut, Arjuna mati;  ke dada, Bhima mati; dan terakhir dahi dingin, Yudistira mati dan meninggal secara sempurna.

 

Bhima berpendapat bahwa manusia harus berusaha, karena kebesaran manusia hanya ditentukan oleh dirinya sendiri, bukan oleh orang lain. Bhima juga seorang mistikus, tetapi tidak hanya duduk termenung dan kungkum di sungai menunggu wisik dan dawuh, intuisi dan perintah. Dia berjuang untuk mewujudkan cita-citanya. Kisah Dewaruci, yakni perjalanan Bhima mencari jati dirinya, yang harus naik turun gunung dan menyelam hingga dasar lautan adalah bukti usaha kerasnya.

 

Bhima bungkus, kisah yang beredar di Nusantara

 

Dikisahkan Bhima lahir dalam wujud terbungkus kulit kantung ketuban yang sangat liat. Bayi bungkus itu diletakkan di hutan “Mandalasara”. Tak ada satu orangpun yang mampu membuka bungkus itu. Bungkus itu tumbuh dan membesar meski tanpa makanan dan minuman dari luar, Dewi Pratiwi, Ibu Pertiwi menghidupinya. Gajah Setu Sena anak dari Gajah Setu Bandha milik Bathara Indra bertapa meminta anugerah Dewata agar dapat menjadi manusia. Permohonannya dikabulkan jika ia dapat menolong anak Dewi Kunti lepas dari bungkusnya. Saat bungkus berusia 12 tahun, Gajah Setu Sena datang dan merobek bungkus Bhima dengan kedua gadingnya. Di dalam bungkus itu ternyata ada seorang bocah besar yang lalu menangkap kedua gading itu dan dengan sekuat tenaga mematahkannya. Konon, kedua gading itu lalu menyatu di jempol tangan bocah itu membentuk kuku yang panjang dan runcing, sementara sukma Gajah Setu Sena menyatu dalam diri bocah itu.

 

Kuku itu diberi nama Kuku Pancanaka. Secara filosofis, “kuku” terkait makna ‘kukuh’, teguh dan kuat keyakinan); panca = lima; naka = emas. Kuku Pancanaka diartikan kekuatan yang mampu mengendalikan panca indera. Kuku Pancanaka ini adalah pusaka untuk mengalahkan musuh di dalam diri, dengan menggenggam seluruh jari di kedua tangan erat-erat, mengendalikan kelima indera. Bhima lahir dengan sifat bawaan dapat mengendalikan diri dari panca indera.

 

Mendapatkan isteri Harimbi di Nusantara

 

Ketika Pandawa dalam pengasingannya dan berada di hutan di daerah negeri Eka Chakra, ada raksasa serakah Bakasura yang setiap hari minta masyarakat untuk menyediakan makanan lembu se gerobak penuh dan dua buah kerbau. Setelah beberapa lama bahkan pengantarnya pun disantapnya. Ketika masyarakat bingung siapa yang akan mengantar makanan. Dewi Kunti meminta anaknya Bhima untuk mengantarkan makanan. Bhima yakin pada ibunya maka akhirnya raksasa Bakasura pun dapat dibunuhnya. Keyakinan terhadap kekuatan dirinya meningkat sehingga dia selalu menjadi pelopor di depan rombongan dalam melewati hutan belantara.

 

Dalam perjalanannya selama dua belas tahun pengasingan, mereka sampai di Nusantara. Bhima yang membuka hutan di daerah Dieng, di mata air Kali Serayu dihalang-halangi oleh raja raksasa Harimba. Harimba di kalahkan Bhima, tetapi adiknya Harimbi jatuh hati kepada Bhima. Harimbi adalah seorang gadis raksasa yang jujur, setia, tegas dan mempunyai kelembutan yang cocok untuk menjadi pasangan Bhima. Dewi Kunti tahu persis karakter Bima. Dewi Kunti paham bahwa Harimbi adalah putri yang tepat untuk mendampingi Bhima, agar Bhima dapat meningkat kesadarannya.

 

Bhima yang pada waktu itu masih dalam tingkat kesadaran fisik jelas sulit menerima Harimbi yang raksasa. Harimbi adalah raksasa wanita, akan tetapi hatinya sudah lembut, evolusi jiwanya mendahului penampilannya. Dewi Kunti, ibu Bhima yang waskita memahami wanita yang cocok sebagai pendamping sang putra, maka dia ‘memoles’ Harimbi dengan ‘operasi plastik zaman kuna’ menjadi wanita yang cantik, sehingga Bhima jatuh cinta yang akhirnya melahirkan Gatotkaca. Dewi Kunti mendapatkan banyak ilmu dari Resi Durwasa, termasuk ilmu mendatangkan Dewa dan mempercantik wanita. Dewi Kunti juga ingat nasehat dari keponakannya, Prabu Kresna untuk menggunakan perkawinan sebagai pengikat persaudaraan. Sehingga seluruh Nusantara akan mendukung Koalisi Pandawa dalam berperang melawan Koalisi Korawa.

 

Bhima menemukan jati diri

 

            Dikisahkan, Bhima disuruh Pandita Drona untuk mencari ‘Kayu Gung Susuhing Angin’ di puncak Gunung Reksamuka yang terkenal angker, akan tetapi tipu muslihat Shakuni yang memperalat Pandita Drona tersebut gagal untuk mencelakai Bima. Selanjutnya Bima diperintah lagi untuk mencari Tirta Perwita Suci di tengah Samudera Minangkalbu. Walaupun seluruh kerabat Bima mencegahnya dan memberi tahu bahwa perintah itu adalah bagian dari muslihat Shakuni untuk mencelakainya, namun karena Drona adalah Guru Bima yang sangat dihormati, maka Bima tetap akan melaksanakan perintah Gurunya.

 

Tuhan adalah “Sangkan Paraning Dumadi”, asal usul dan tujuan akhir makhluk. Leluhur kita menyebutnya “tan kena kinaya ngapa”,tak dapat disepertikan, Acintya. Perjalanan manusia menemukan Tuhannya digambarkan seperti perjalanan Bhima, satria Pandawa mencari Tirta Perwita Suci. Sebelum bertemu dengan Dewaruci, Bhima dalam hutan belantara dunia harus menaklukkan para raksasa keduniawian, dan di samudera kehidupan harus mengalahkan naga ganas ego yang membelitnya dengan kuat dan erat. Dengan kesungguhan hatinya, semua penghalang dapat diatasi dengan kuku pancanaka, pengendalian panca indera, dan Bhima bertemu dengan Dewaruci, wujud kembarannya yang kecil. Dewaruci meminta Bhima memasuki dirinya lewat telinganya. Pada awalnya Bima ragu-ragu, wujud dirinya besar sedang wujud Dewaruci kecil. Dewa Ruci mengatakan, besar mana antara diri Bhima dengan samudera dan jagad raya, karena seluruh jagad raya ini bisa masuk ke dalam dirinya.

Leluhur kita menggambarkan wadag, raga ini sebagai warangka, sarung keris, sedang ruh kita adalah curiga, kerisnya. Manusia hidup di alam ini disebut curiga manjing warangka, keris di dalam sarungnya. Setelah manusia sadar atas ketidaksempurnaan duniawi ini dan dapat melepaskan dari belitan naga ganas mind-ego dan yakin pada dirinya yang sejati, maka dia dapat memasuki dirinya yang sejati, seperti Bima yang memasuki Dewaruci. Di dalam diri Dewaruci ini ternyata sangat luas, alam pun berada pada dirinya. Leluhur kita menggambarkan peristiwa ini ibarat warangka manjing curiga, sarung keris masuk kedalam keris, kodok ngemuli lenge, katak menyelimuti liangnya, Manunggaling Kawula Gusti, bersatunya makhluk dengan Keberadaan. Selama ini manusia diibaratkan golek banyu apikulan warih, manusia mencari air sedangkan dia sendiri memikul air. Manusia tidak paham akan jati dirinya.

 

Kemudian Bhima diwejang oleh Sang Dewaruci. ”Hai Bhima, hidup ini tidak mudah. Ketahuilah ke mana arah tujuanmu. Dan bila engkau tidak tahu, bertanyalah kepada orang yang tahu. Banyak orang yang mengetahui sesuatu hanya karena ia menirukan apa yang dikatakan orang kepadanya. Demikian pula halnya orang belajar kepada Guru. Kalau belum tahu siapa sebenarnya sang Guru itu, maka murid akan sesat dalam menerima ajarannya. Setelah itu Bima diwejang tentang ‘ngelmu sangkan paraning dumadi’, Inti Ilmu Kehidupan, sehingga Bhima paham siapa sebenarnya yang memerintah dan siapa yang diperintah dalam diri Bhima sendiri.

 

Perintah Guru Drona itu sesungguhnya sanepan, simbolis untuk memahami Ilmu Kehidupan. Kayu Gung Susuhing Angin, pohon raksasa sarangnya angin di puncak Gunung Reksamuka, penguasa wajah. Artinya adalah batang hidung, sarang untuk bernapas yang terletak di wajah manusia sendiri, ‘reksamuka’. Tujuannya agar orang mengetahui bahwa napas itu adalah pokok hidup manusia. Bila napas berhenti maka itulah tandanya orang itu sudah mati. Bhima diminta melaksanakan meditasi.

Sedangkan Tirta Perwita Suci di tengah Samudera Minangkalbu adalah sumber kehidupan yang hanya bisa dikenali dengan bantuan kalbu. Makna yang disimbolkannya adalah, untuk mengenal sumber kehidupan hanya bisa dicapai dengan bantuan kalbu atau nurani kita sendiri.

 

Bhima sangat dihormati masyarakat Nusantara, Arca Kunto Bimo bahkan ditempatkan di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang sebagai tanda bahwa Raja pembangun Candi Borobudur yang beragama Buddha pun menghormati Bhima, idola masyarakat setempat. Arca Bimo atau Kunto Bimo digambarkan sebagai Bhima duduk bersila dengan sikap tangan dharmacakramudra. Ini isyarat pergerakan roda dharma. Bhima dalam perjalanan spiritualnya di Samudera Hindia menemukan jati dirinya setelah bertemu Dewaruci yang lidahnya berupa Acyntia, Yang Tak Dapat Diserupakan, kemudian dirinya digambarkan berada di dalam stupa dan telah mencapai ke-Buddha-an. Setiap ada kunjungan tamu negara, selalu ada acara merogoh stupa Kunto Bimo. Merogoh Kunto Bimo bahkan dianggap sebagai kepercayaan dalam tradisi setempat. Jika wanita berhasil menyentuh jempol kaki patung Buddha, atau pria menyentuh kelingking patung Buddha, maka keinginannya akan terkabul.  

 

            Kain poleng Bhima yang juga pernah dipakai Hanuman rupanya kini sudah menjadi bagian dari kehidupan religius umat Hindu di Bali. Makna filosofis saput poleng rwabhineda itu adalah dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih, baik-buruk, utara-selatan, panjang-pendek, tinggi-rendah yang melambangkan ketegasan dalam ulah spiritual.

 

Seorang siswa spiritual yang baik hendaknya menerima seorang Guru sebagai utusan Gusti. Sesungguhnya Gusti mewujudkan diri-Nya sebagai seorang Guru demi memberikan bimbingan spiritual kepada sang murid. Bimbingan seorang Guru yang suci akan segera dapat meningkatkan kemajuan spiritual sang murid.

 

Bhima ‘turun gunung’

 

Setelah menemukan jati dirinya, Bhima kembali ‘turun gunung’ ke masyarakat ramai. Kesadarannya harus diamalkan. Pikiran yang telah jernih harus diungkapkan dengan perbuatan. Air yang jernih pun bila didiamkan, tidak mengalir, akan tumbuh lumut, berbau dan menjadi sarang penyakit. Guru berkata, ada banyak juga warga Nusantara yang pikirannya jernih, tetapi wisdom itu hanya disimpan, takut melaksanakan karena akan menghadapi konsekuensi masyarakat ‘bodoh’ yang merasa ‘benar. Sabar-eling-waspada harus diterjemahkan sabar-eling-waspada dalam melaksanakan dharma di dunia. Bukan sabar-eling-waspada dan diam melihat ketidakbenaran yang terjadi dalam masyarakat. Ada istri, ada anak, ada kerabat, ada sahabat, ada rekan yang perlu mendapat sharing pengetahuan. Setelah Bhima-Bhima Nusantara bergerak mengikuti panduan Krishna, Sang Pikiran Jernih, Sang Penyebar Kawruh, maka Nusantara akan jaya. Semoga. Terima Kasih Guru.

 

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

 

Februari 2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone