February 19, 2009

Kresna Duta Utusan Pemberi Peringatan Sebelum Kebenaran Ditegakkan

Sang Duta Kebenaran

Para leluhur kita menghormati para Duta Kebenaran. Hanya para raksasa dan mereka yang berjiwa raksasa yang mengabaikan datangnya Duta Kebenaran. Hanuman adalah Duta ke negeri Alengka sebelum negeri  umat raksasa dihancurkan Sri Rama. Prabu Kresna  adalah Duta Kebenaran sebelum  perang  bharatayuda dimulai. Ada putaran cakra, ada waktu yang diberikan  untuk memilih Kebenaran yang sudah jelas nampak atau tetap memilih berkubang dalam adharma, sampai saat Kebenaran ditegakkan. Nabi Musa juga merupakan Utusan bagi kaumnya Fir’aun, demikian pula Pesuruh Gusti  lainnya sebagai pemberi peringatan terhadap kaumnya. Banyak umat yang mempertahankan ‘status quo’-nya tidak mau menerima perubahan dan tidak mau mendukung Kebenaran.

Para leluhur kita, membayangkan semuanya terjadi  di dalam diri. Guru Sejati yang menyentuh dalam diri akan terungkap di luar sebagai Guru Ruhani. Duta Kebenaran berada dalam diri, Utusan Gusti memperingatkan diri lewat hati nurani. Diri yang masih dikuasai keserakahan Korawa, enggan menerima Kebenaran. Sesudah habis masa pengasingan diri, masa meditasi,  hati nurani perlu mendapatkan kembali haknya di Inderaprasta, sudah saatnya Kebenaran memerintah semua indera kita. Terima kasih Duta Kebenaran, Terima kasih Guru yang telah bersemayam dalam hati nurani.

Dari Buku JANGKA JAYABAYA, Saatnya Bertindak Tanpa Rasa Takut dan Meraih Kejayaan, Karya Bapak Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2005. ‘Di tengah Kalabendu, zaman morat-marit tak menentu, banyak orang memimpikan datangnya Kalamukti, zaman penuh kemuliaan dan ketenteraman sejati. Orang memimpikan Sosok Utama yang akan memimpin perubahan dan mengawali transisi: Herumukti. Konon tokoh ini bersenjatakan trisula – tombak tajam bermata tiga: kebenaran, keadilan, dan kejujuran’. Pemimpin, pelopor, pemberi peringatan,  penegak Kebenaran adalah Herumukti yang berada di dalam diri.

Bapak Anand Krishna mengambil jalur yang jarang ditempuh oleh penafsir Jangka Jayabaya. ‘Alih-alih menantikan seorang tokoh hebat yang akan memimpin kita, dia melihat Jayabaya bicara mengenai kerinduan akan penemuan jatidiri setiap manusia Indonesia. Jangka jayabaya adalah ajakan untuk mentransformasi diri, mengalahkan ketakutan. Lebih dari sekedar ramalan, naskah kuno ini memaparkan tuntutan waktu supaya kita hidup dalam kekinian, dengan penuh semangat, dan berkarya tanpa rasa takut. Karena itu, tak perlu menantikan Herumukti, sebab dia itu adalah Anda! Sambut kelahirannya dalam diri Anda’!

Senjata Prabu Kresna

Sebagai Duta Hyang Widhi, Prabu Kresna mempunyai beberapa senjata. Pada hakikatnya, Prabu Kresna  tidak ada hubungan dengan pemujaan kelompok tertentu, Prabu Kresna, Pemeliharan Kebenaran  berada di dalam diri, bersemayam di hati nurani. Seorang Guru yang telah memberi makna kehidupan  telah memberikan senjatanya dalam beberapa ‘SMS Wisdom’.

Senjata Cakra: Panah berujud cakra bulat seperti roda dan bergerigi tajam di ujung-ujung giginya. Senjata tersebut adalah senjata pemahaman tentang adanya Hukum Sebab-Akibat  yang akan mengejar siapa pun juga dan berada  dimanapun juga. Tidak ada tempat untuk sembunyi dari Cakra Sri Krishna, meninggalkan dunia pun tetap harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sudahlah, Aku sadar, biarlah benih perbuatan lalu yang telah kutanam akan datang kepadaku sebagai panen di kemudian hari, sekarang setelah memahami adanya Cakra Sri Krishna, saatnya hidup baru, menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Perubahan pertama bagi seorang murid adalah memahami bahwa apapun yang dihadapinya, hal tersebut adalah akibat dari perbuatannya di masa lalu. Seorang Guru Sejati Masa Kini memberi nasehat lewat sms:  ‘Kebaikan yang kau lakukan pasti kembali padamu. Begitu jua dengan kejahatan. Kau dapat menentukan hari esokmu, penuh dengan kebaikan atau sebaliknya’. ‘Kenapa mesti menangisi nasib? Kau adalah penentu nasibmu sendiri. Apa yang kau alami saat ini adalah akibat dari perbuatanmu di masa lalu. Apa yang kau buat hari ini menentukan nasibmu esok’.

Bunga Wijaya Kusuma:  Bunga cinta kasih yang jaya, puncak karya pohon kehidupan, yang bisa menyembuhkan penyakit batin dan menghidupkan orang yang telah mati  jiwanya. Bagi mereka yang yakin kepada Sri Krishna, dia akan sembuh dari penyakit yang selama ini dialaminya, penyakit lupa diri karena hidup dalam dunia ilusi ‘mind’, maya. Bagi orang yang sadar, taubat, metanoia, Sri Krishna akan menghidupkan kembali jiwanya yang mati dan lahir penuh kasih. Mati dimaksudkan sebagai ego keras yang tidak dapat berubah. ‘Mind’ yang mengeras, sehingga sinar kasih Ilahi tak dapat diterimanya. Perhatikan nasehat Guru: ‘Dengan menganggap dirimu lahir dari dan dalam dosa, kau menghujat Tuhan. Dirimu lahir dari dan dalam cinta, dan cinta itulah Tuhan, Allah’. ‘Isilah harimu dengan kasih, maka kau tak akan pernah salah. Kekuatan kasih itu, cahaya cinta itu akan menerangi pikiranmu dan mengarahkan setiap langkahmu’. ‘Awali harimu dengan cinta kasih, isilah harimu dengan cinta kasih, akhirilah harimu dengan cinta kasih, itulah jalan menuju Tuhan’. ‘Kasih tidak mengharapkan imbalan. Kasih itu sendiri adalah imbalan. Kebahagiaan yang kau peroleh saat mengasihi itulah imbalan kasih’.

Cermin : Alam adalah salah satu wujud kasih Sri Krishna, juga merupakan cermin Sri Krishna. Manusia yang sadar dapat bercermin dari perilaku alam. Alam ini adalah cermin bagi diri, alam bersifat universal, tidak ‘pilih sih’, bertindak sama terhadap semua makhluk. Alam bersifat kasih, hanya memberi.  Seorang  Guru memberi nasehat kepada para muridnya yang sudah sadar: ‘Men-cahaya-i diri saja tidak cukup. Cahaya yang menerangi dirimu itu mesti dibagikan dengan setiap orang yang membutuhkannya. Yakinlah bila kau mampu melakukan hal itu’. Bertindaklah sebagai cermin dihadapan orang lain sehingga dia sadar akan wajah asli dirinya.

Aji Pameling : Kekuatan Yang Mengingatkan. Sri Krishna selalu mengingatkan manusia untuk berbuat Benar. Dia dapat memanggil dari jarak jauh, misalnya memanggil  Hanuman yang bertapa di Gunung Kendalisada. Bagi seorang yang bersih batinnya, dia akan mendengar panggilan Gusti untuk kembali ke Kebenaran, kepada jati dirinya. Perhatikan nasehat Guru berikut: ‘Tuhan adalah gaung jiwamu. Bila jiwamu masih berkarat, maka kau akan menggaungkan Tuhan yang berkarat. Kau akan menciptakan sosok Tuhan yang berkarat. Bersihkan jiwamu’.

Aji Kesawa:  Kekuatan untuk mengubah wujud menjadi Raksasa.  Dalam diri manusia terdapat potensi  raksasa. Potensi  luarbiasa yang terpendam dalam diri. Sri Krishna paham dengan membangkitkan potensi luar biasa dalam diri akan bermanfaat bagi alam semesta. Ada sms wisdom terkait dengan Aji Kesawa: ‘Kau adalah pusat dunia, bila kau berubah, dunia akan berubah. Fokuskan seluruh kesadaranmu pada perubahan diri. Jangan takut pada mereka yang menghalang-halangimu. Bila niatmu kuat dan keinginanmu untuk bekerja keras pun ada….. Maka, ketahuilah bahwa tiada sesuatu yang dapat menghalangimu untuk mewujudkan impianmu’. ‘Cukup sudah kau mengemis dan minta dikasihani. Sekarang berdirilah di atas kedua kakimu. Sepasang tangan dan kaki yang kau miliki itu hanya menunggu perintahmu untuk menggerakkan bukit-bukit dari tempatnya’.

Korawa takut hadir pada pernikahan Abimanyu dengan Dewi Utari

Setelah dua belas tahun masa pembuangannya, Pandawa  dan Drupadi menetap di  Kerajaan Wirata. Untuk mempererat persaudaraan,  Abimanyu putera Arjuna, keponakan Prabu Kresna dikawinkan dengan Dewi Utari puteri Raja Wirata. Setelah persiapan pernikahan selesai maka dikirimlah undangan kepada semua sahabat dan kerabat, termasuk ke Raja Hastina dan para kerabatnya.

Prabu Baladewa senang mendegar bahwa Abimanyu, keponakannya  akan menikah dan segera menuju ke Wirata. Tidak demikian dengan Prabu Duryudana dan kerabatnya, atas nasehat Patih Shakuni Prabu Duryudana mengatakan bahwa para Korawa  sedang sibuk dengan urusan kerajaan Hastina sehingga tidak bisa hadir. Sementara Resi Drona yang tidak ingin bertemu dengan Prabu Drupada memberi alasan bahwa dirinya sudah tua dan tidak kuat  bepergian jauh. Sehingga dari Hastina hanya Eyang Bisma, Arya Widura dan Ibu Kunti yang berangkat ke Wirata. Korawa patut menduga bahwa Pandawa sedang mempersiapkan negosiasi  untuk meminta haknya  dengan mereka, apabila Korawa datang ke pernikahan tersebut. Korawa takut.

Petikan di bawah ini diambil dari buku FEAR MANAGEMENT Mengelola Ketakutan, Memacu Evolusi Diri karya Bapak Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama,2007.

Selama ini rasa takut kita terima sebagai sesuatu yang mutlak, tak terhindarkan. Psikologi modern bahkan menegaskan rasa takut sebagai sumber energi untuk ‘fight or flight’, melawan atau melarikan diri. Ketika kita menghadapi bahaya, rasa takut secara spontan mendorong kita untuk melawan atau melarikan diri. Rasa takut atau FEAR sebenarnya adalah False Emotion Appearing Real – Emosi Palsu yang Terkesan Nyata. Sebagai makhluk yang lebih mulia daripada binatang, kita dapat mengelola rasa takut kita untuk mencapai puncak evolusi diri kita.

Ketakutan adalah emosi palsu, tapi tampak asli… memberi kesan seolah asli. Dalam kesan sesaat itu, ada suka, ada duka. Ada panas, ada dingin. Semuanya itu mimpi. Tetapi, mimpi itu begitu riil. Dalam mimpi kadang jantung kita berhenti berdebar, kadang mengeluarkan keringat. Pengalaman-pengalaman seperti itu, walau terjadi dalam mimpi, sangat tidak menyenangkan. Karena ketakutan adalah emosi palsu yang tampak riil, langkah pertama yang mesti diambil untuk mengatasinya adalah ‘bangun dari mimpi’. Akhirilah mimpimu itu, kemudian, dampak dari mimpi itu kau rubah.

Fear Management sesungguhnya, adalah Seni Mengolah Dampak dari Rasa Takut. Man berarti manusia. Age berarti usia, dan ment mengindikasikan adanya proses. Management berarti Proses Peng-”usia”-an atau Pendewasaan Manusia. Jika age diartikan sebagai “zaman”, management dapat diartikan sebagai Proses Penyelarasan Manusia dengan Zaman.

Luapan emosi pun terjadi karena kita membiarkannya untuk meluap. Di luar boleh terjadi kekacauan, kita tidak mesti terbawa oleh kekacauan itu. Kita tidak perlu diterjang oleh Gelombang Kekacauan Tsunami di luar. Menjaga kewarasan di tengah ketakwarasan dunia, memelihara ketenangan diri di tengah kebisingan dunia, inilah tujuan Management Diri. Dan, supaya tidak ditakut-takuti oleh keramaian di luar, kita membutuhkan Fear Management.

Korawa takut tetapi tidak memahami  hakikat ketakutannya. Korawa telah menipu dalam perjudian dengan Yudistira, dan masa pengasingan Pandawa telah berakhir. Korawa yang sudah ‘settled’, nyaman dalam ‘comfort zone’ hasil manipulasi perbuatan sebelumnya, enggan menerima Kebenaran yang telah muncul. Sifat umum manusia. Apakah kita juga enggan menerima Kebenaran dan nyaman dalam ilusi keduniawian?

 Kesepakatan menunjuk Prabu Kresna sebagai Duta ke Hastina

Setelah upacara pernikahan selesai  dan para tamu undangan pulang ke tempat masing-masing, Prabu  Kresna memanfaatkan kesempatan untuk bertemu dengan Pandawa dan kerabatnya. Yudisitira berkata bahwa dirinya akan meminta haknya kembali atas Indrapasta karena ‘masa pengasingannya’ telah usai.  Akan tetapi raja yang cinta damai tersebut ragu-ragu dan tidak ingin membuat kekacauan dunia dan akan mengembara saja apabila Korawa ingkar janji.

 ‘Ketakutan Yudistira termasuk ketakutan intelegensia.  Rasa takut yang muncul pada lapisan ini adalah takut ide atau opini atau gagasan kita tidak diterima. Rasa takut pada lapisan ini disebabkan oleh kekhawatiran akan gagal atau tidak berhasil dalam suatu pekerjaan atau hidup. Sesungguhnya, ada paradoks. Rasa takut yang satu ini sesungguhnya juga membuktikan bahwa intelegensia kita sudah mulai berkembang. Intelegensia membuat kita sadar akan kebutuhan jiwa. Dan, jiwa tidak hanya membutuhkan pengalaman-pengalaman yang manis. Pengalaman pahit sama pentingnya dengan pengalaman manis’.

Prabu Kresna memberi  nasehat bahwa sebagai seorang raja, dharmanya adalah memperhatikan rakyatnya. Kepentingan masyarakat luas tidak boleh dikalahkan kepentingan pribadi. Sang Prabu Yudistira masih mempunyai keterikatan pribadi pada pujian luar bahwa dirinya manusia unggul cinta damai.

‘Keterikatan adalah ketergantungan dan kepercayaan kita pada pujian, imbalan, penghargaan dan pengakuan. Selama kita masih mengejar semuanya itu, kita masih terikat. Dan, selama kita masih terikat, kita masih takut. Lapisan intelegensia kita memperoleh energi dari dua sumber utama: Pertama, sumber dalam diri, dari rasa percaya diri yang tidak tergantung pada pujian dan makian orang. Yang kedua, sumber di luar diri dari pujian dan pengakuan. Solusinya adalah berkarya tanpa pamrih’.

Yudistira merenung, perannya sebagai  raja dan sebagai saudara tertua Pandawa Yudistira harus memikirkan kesejahteraan bangsa, saudara-saudaranya dan juga Drupadi istrinya. Apakah mereka akan dibawa mengembara selamanya, apa tidak kasihan kepada Drupadi. Yudistira mendapat sinar penerangan bahwa dirinya masih terikat dengan pujian di luar terhadap karakternya yang cinta damai dan bahkan hampir menyengsarakan bangsanya. Bima yang memang sudah panas menjawab dengan tegas “Kita hancurkan dan rebut dengan paksa” . Saat itu Prabu Baladewa berkata bahwa dirinya tidak ingin ikut campur dengan urusan keluarga Pandawa dan Korawa, dirinya datang untuk menghadiri pernikahan Abimanyu dan segera pulang ke Mandura. Para Raja yang hadir terkejut dengan tindakan Baladewa, Prabu Drupada berkata bahwa jika Baladewa dalam keadaan seperti Pandawa dia akan langsung menyerang Hastina.

‘Mind’ hanya melakukan tiga macam pekerjaan. Yang menyenangkan ‘mind’ dikejar, yang tidak menyenangkan ‘mind’ dihindari dan antara mengejar dan menghindari, ‘mind’ bisa bersikap cuek terhadap sesuatu. Persahabatan kita, pekerjaan kita, rumah-tangga kita, semuanya didominasi tiga pola tersebut. Dikuasai oleh ‘mind’, diri kita menjadi terombang-ambing antara suka, tidak suka, dan cuek. Guru Atisha menyebut tiga fungsi ‘mind’ tersebut sebagai ‘tiga racun’. Prabu Baladewa memilih cuek terhadap masalah keluarga orang lain.

Prabu Kresna memahami sikap kakaknya, dan  segera membela dengan berkata bahwa Prabu Baladewa orangnya jujur dan terus terang serta berpendirian untuk tidak ikut campur dalam perselisihan keluarga  orang lain. Prabu Kresna paham bahwa dahulu pada zaman Tetra Yuga, Prabu Kresna hidup sebagai Sri Rama, sedangkan Prabu Baladewa hidup sebagai  Laksmana yang patuh terhadap Rama dan istrinya Dewi Sinta. Laksmana mengorbankan perasaan dan meninggalkan Dewi Sinta seorang diri di hutan, karena dikatakan dia mempunyai keinginan agar Sri Rama mati dalam memburu kijang kencana dan dapat memperistri Dewi Sinta. Laksmana juga terlibat dalam perseteruan  antar a dua saudara Sugriwa dan Subali dan juga antara Wibisana, Kumbakarna dan Rahwana. Oleh karena itu dia tidak mau lagi untuk berurusan dengan perseteruan antar saudara. Prabu Kresna memakluminya. ‘Kisah Dewi Sinta Perjalanan Spiritual Seorang Wanita’ pernah dimuat di facebook atau dapat dilihat pada situs terkait dibawah.

Eyang Bisma Yang Agung yang sangat mencintai negeri Hastina menengahi  bahwa sebaiknya masalah ini dibicarakan dulu kepada Korawa di Hastina, para Pendawa sebaiknya mengirim seorang duta untuk membicarakan masalah ini.

Alkisah, Prabu Santanu, ayahanda Bhisma jatuh cinta terhadap perempuan cantik berbau harum Dewi Durgandini. Dewi Durgandini yang telah berputra Abyasa atas perkawinannya dengan Parasara, hanya mau kawin apabila anak-anaknya kelak menjadi putra mahkota. Sang Prabu Sentanu sangat bingung, yang berhak menjadi putra mahkota adalah Bhisma, kalaupun Bhisma bersedia mengalah, maka anak keturunan Bhisma tetap akan menuntut haknya, dan akan terjadi perang saudara pada wangsa Kuru. Memikir terlalu dalam, Sang Prabu sakit keras. Sebagai seorang anak yang berbakti, Bhisma mengalah tidak mau menjadi putra mahkota bahkan bersumpah untuk tidak kawin seumur hidup. Demikianlah kecintaan Bhisma terhadap negara Hastina, agar tidak terjadi perang saudara di kemudian hari.

Kisah selanjutnya, Dewi Durgandini dengan Prabu Sentanu mempunyai dua orang putra, Citragada dan Wicitrawirya. Citragada seorang yang sakti, akan tetapi sombong dan akhirnya mati sebelum kawin. Wicitrawirya seorang yang lemah dan diperkirakan akan kalah dalam sayembara untuk mendapatkan seorang putri raja. Ketika Raja Kasi mengadakan sayembara bagi tiga putrinya, demi pengabdian kepada kerajaan Hastina, Bhisma ikut bertanding, menang dan memboyong ketiga putri untuk diberikan kepada Wicitrawirya. Dewi Ambalika dan Dewi Ambika menerima kondisi tersebut, akan tetapi Dewi Amba menolak. Bhisma telah membunuh kekasih Dewi Amba, sudah seharusnya Bhisma memperistri dia. Bhisma mengatakan bahwa dirinya telah bersumpah tidak akan kawin. Bhisma paham perkawinan dengan Dewi Amba akan membuat masalah bagi Hastina, akan terjadi perpecahan antara putranya dengan putra Wicitrawirya. Bhisma menakut-nakuti Dewi Amba dengan anak panah yang secara tidak sengaja terlepas dan membunuh Dewi Amba. Bhisma tertegun, demi Hastina tanpa sengaja dia telah membunuh seorang wanita, Bhisma sadar dia pun harus terbunuh oleh seorang wanita juga nantinya.

Demikianlah riwayat Bhisma yang selalu mengabdi kepada kerajaan Hastina. Bagi Bhisma mengabdi kepada Hastina, adalah bentuk bhakti, lebih baik berbhakti di Hastina dan berusaha mengendalikan keserakahan Korawa, daripada dia pergi ke gunung dan Korawa dibiarkan dipengaruhi Patih Shakuni sendirian. Apa pun akibat yang terjadi diterima dan dijalani dengan penuh kesadaran. Ada hukum sebab akibat, ada hukum evolusi, akan tetapi bhakti sebagai kasih akan tetap abadi. Bhakti adalah jalan terdekat menuju Yang Maha Kuasa. (Kisah ‘Cinta Bhisma Terhadap Ibu Pertiwi Sampai Sisa Nafas Terhenti ‘ pernah dimuat di facebook atau dapat dilihat pada situs terkait dibawah).

Kresna sebagai Duta

Prabu Kresnalah disepakati sebagai duta karena dirinya raja yang adil bijaksana dan juga pandai berdiplomasi. Sebagai titisan Wisnu, Prabu Kresna memang selalu menggunakan tangan-tangan Wisnu. Wisnu bertangan empat, satu tangan sedang mem-‘blessing’ dengan telapak tangan menghadap depan, satu tangan memegang kerang, semacam terompet alam, satu tangan memegang chakra dan satu tangan memegang gada. Alam mengingatkan manusia seperti cara Wisnu mengingatkan. Pertama, tangan mem-“blessing”, memaafkan kesalahan awal yang telah diperbuatnya. Kedua, tangan memegang terompet kulit kerang, Alam memberi tahu kesalahan yang telah diperbuat dengan teguran keras. Ketiga, tangan memegang chakra, Alam memberi waktu untuk memperbaiki perbuatan yang salah yang telah diperbuat, bukankah chakra bermakna waktu yang berputar? Keempat, tangan membawa gada, begitu semua hal sudah dilaksanakan, masih ‘ndhendheng’, bebal, biarlah gada yang berbicara.

Prabu Kresna datang ke pertemuan pleno kepresidenan Hastina yang dipimpin langsung oleh Prabu Duryudana. Suasana mendadak hening, keriuhan terhenti, para pejabat Korawa terhenyak melihat Prabu Kresna mengambil mike dan menjelaskan maksud kedatangannya. Prabu Kresna mengatakan bahwa kedatangannya sebagai duta Kebenaran, yang dalam hal ini Pandawa yang telah menjalani hukumannya dan kini meminta kembali haknya atas Indrapasta.

Duryudana dan para Korawa yang telah mendapat bisikan dari Patih Shakuni  bertekad untuk tidak mengembalikan Indrapasta dengan berbagai alasan. Duryudana berkata bahwa Pandawa telah melanggar hukumannya untuk tidak muncul di hadapan umum. Ketika terjadi perselisihan antara Hastina dengan Wirata, para Pandawa telah menampakkan diri dan bahkan mengangkat senjata terhadap para Korawa kerabatnya sendiri. Prabu Kresna menjelaskan bahwa saat itu menurut perhitungannya, para Pandawa sudah terlepas dari batas masa hukuman dan mereka mengangkat senjata karena saat itu mereka sedang mengabdi di Wirata dan sebagai penduduk Wirata. Adalah merupakan kewajiban mereka untuk mengangkat senjata demi membela negara.

Eyang Bisma berusaha menengahi bahwa agar tidak terjadi perang saudara, sudah seharusnya sesama saudara saling membantu tanpa pamrih dan tidak menyimpan dendam. Duryudana kemudian menjawab bahwa Eyang Bisma memang dari dulu lebih memilih Pandawa daripada Korawa. Arya Widura yang kesal atas jawaban Duryudana berkata dengan keras “Duryudana, perkataanmu terhadap kakekmu sudah keterlaluan dan bukan tindakan seorang raja, aku tidak akan merestui semua tindakanmu”. Dengan ketus Duryudana menjawab “Saya juga tidak ingin restu dari paman”.

Melihat tindakan Duryudana yang melanggar etika terhadap Bisma dan Widura, Prabu Kresna meminta konfirmasi apakah Duryudana akan mengembalikan Indrapasta. Duryudana menjawab, “Pandawa telah menghina keluarga Korawa. Semua Korawa telah bersepakat tidak akan duduk setingkat dengan para Pandawa dan tidak akan mengembalikan Indrapasta”.  Jawaban ini membuat Prabu Kresna kesal dan berkata: “Duryudana, para tetua disini akan menjadi saksi atas perkataanmu, perkataanmu ini harus kau pertanggungjawabkan di kemudian hari.  Akan ada hari dimana mulutmu dikunci dan anggota tubuhmu akan dimintai pertanggungan jawab. ‘Sapa sing nandur bakal ngunduh ………Aku akan memberitahukan keputusanmu kepada Pandawa!”.

Paska ditolaknya proposal Perdamaian

Saat Prabu Kresna keluar dari istana, dia dibrondong panah para penembak gelap yang disiapkan Patih Shakuni. Prabu Kresna sengaja ber-‘tiwikrama’, menjadi raksasa  untuk memberikan gambaran Raksasa Alam yang akan melenyapkan Korawa yang tidak tunduk terhadap Kebenaran. Prabu Kresna masih berharap para Korawa segera menyadari hukum alam yang alan segera menyelesaikan hutang piutangnya. Melihat Prabu Kresna menjadi Raksasa, para Kurawa dan Shakuni segera bersembunyi, sementara Resi Drona juga menggigil ketakutan. Eyang Bisma dan Arya Widura dengan tenang meninggalkan gedung pertemuan seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Para Dewa juga menjadi khawatir atas tindakan Prabu Kresna dan menunggu apa yang akan terjadi sesudahnya. Prabu Kresna merasa telah cukup menunjukkan bahwa apabila Korawa melanjutkan penolakannya, mereka akan dimangsa alam, dan kemudian mewujud menjadi Prabu Kresna kembali. Akan tetapi para Korawa tetap tidak paham dengan datangnya Duta Utusan Kebenaran, sehingga perang bharatayuda tetap terjadi.  Bila dalam Ramayana, etnis raksasa yang merupakan keturunan dari percampuran manusia dan hewan harus musnah, maka dalam bharatayuda etnis kloning dari gumpalan daging yang dipecah menjadi seratus  Korawa harus dimusnahkan juga.

Penutup

Kepulauan Nusantara yang telah menjadi rumah bagi ratusan suku dengan beragam tradisi, agama, bahasa, bahkan ras – membutuhkan dasar yang sangat kuat untuk menjadi Satu Negara, Satu Bangsa….. Dan, para founding fathers kita menyimpulkan bahwa hanya Budaya yang dapat dijadikan dasar. Kala itu, ada juga beberapa pemikir, beberapa tokoh bangsa yang menginginkan “Agama” sebagai dasar. Tetapi, setelah perdebatan panjang – hampir semuanya setuju bahwa doktrin atau dogma agama yang sulit diperdebatkan malah akan menimbulkan pertentangan. Doktrin dan dogma masing-masing agama memiliki keunikan tersendiri, dan sulit dipertemukan. Justru nilai-nilai budaya yang universal dan telah menjadi basis bagi pola pikir Manusia Indonesia yang dapat mempertemukan agam agama itu.

Di tengah konflik dan pertikaian yang terjadi di Poso, di Maluku, dan di tempat-tempat lain – saat ini kita tidak punya pilihan lain kecuali kembali pada Budaya asal Nusantara. Kembali pada Kebijakan Leluhur kita. Kembali pada dasar negara yang dipakai oleh Dinasti Sriwijaya yang berkuasa lebih dari 800 tahun dan Dinasti Majapahit yang dapat bertahan selama 400-an tahun. Dasar ini, Landasan ini yang kemudian ditemukan kembali oleh para founding fathers kita dan dipopulerkan sebagai Lima Nilai Universal – Pancasila.

Ajaran-ajaran leluhur bersumber dari Kolam Kebijaksanaan Abadi, dari Kesadaran Murni, Ilahi – tidak pernah memaksa kita untuk menerima sesuatu dengan begitu saja. Kita dituntun untuk memahami, baru menerima. Bahkan, untuk meneliti sebelumnya. Ajaran-ajaran inilah yang sejak lama mewarnai seluruh wilayah peradaban Sindhu, termasuk kepulauan kita. Tidak ada yang menakut-nakuti kita dengan api neraka, tiada pula janji-janji surga. Adalah kesadaran manusia akan Hukum-Hukum Alam, Hukum Aksi-Reaksi, Hukum Sebab-Akibat, Hukum Evolusi Raga dan Jiwa . Adalah rasa tanggung jawabnya yang dibangun, ditingkatkan. Sehingga ia merasakan kedekatannya dengan alam, dengan lingkungan, dengan pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, bahkan dengan bebatuan. Dengan bintang dan bulan dan langit. (diambil dari buku VEDAANTA, Harapan bagi Masa Depan, karya Bapak Anand Krishna, Pustaka Bali Post, 2007.

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

Februari 2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone