Lik Darmo yang tersentuh pelajaran Guru Pakdhe Jarkoni tentang mengikuti Guru ketika naik gunung atau ketika turun gunung, mendatangi rumah pakdhe Jarkoni.
Lik Darmo: Terima kasih pakdhe atas pelajaran Guru Pakdhe, kami sekarang mulai memperhatikan sekitar, hal pertama yang kami lihat adalah pengaruh Media Tivi dan Koran yang begitu besar. Kami lihat mereka mengekspose masalah korupsi dan KPK, yang bagus bagi negara. Tetapi tayangan-tayangan takhayulnya akan menyesatkan masyarakat. Berita kelompok ekstrem yang dibiarkan saja oleh pemerintah akan meresahkan masyarakat. Bagaimana pandangan Pakdhe?
Pakdhe Jarkoni: Zaman ini sering disebut zaman media, kekuasaan bergeser ke mass media yang bisa menjangkau masyarakat luas. Semua penguasa, pengusaha, ilmuwan mendekati media agar kepentingan mereka tertampung. Dampak positifnya jelas banyak. Dampak negatifnya, masyarakat suka berbicara. Yang mengetahui masalah dan yang tidak memahami pun angkat bicara. Tayangan dan berita mass media membuat keriuhan suasana. Dan kegelisahan berita cepat menyebar dan menggelisahkan masyarakat, sehingga mereka semakin stress. Kalau membaca koran Pakdhe juga suka bingung, komentar petinggi bisa aneh-aneh dan bertentangan, akibatnya Pakdhe pilih-pilih berita dan pilih-pilih orang yang bicara. Bila banyak orang yang bertindak demikian wibawa mass media terasa menurun.
Lik Darmo: Betul Pakdhe, masyarakat cenderung melihat Extravaganza, Tukul, ataupun Super Mama yang menghibur. Pakdhe, setiap berita tivi memuat kekerasan yang tentu saja tak akan ada habisnya dalam negara berpenduk 250 juta ini. Menurut Pakdhe, kalau setiap orang harus mempertanggungjawabkan tindakan-tindakan sepanjang hidupnya kepada Gusti, apakah perusahaan juga harus mempertanggungjawabkan tidakan-tindakannya di depan Gusti?
Pakdhe Jarkoni: Setiap pikiran, ucapan dan tindakan adalah benih yang pada suatu saat akan berbuah dan hasilnya akan kembali kepada kita. Kapan panennya tidak ada yang tahu, yang jelas bibit jelek berbuah jelek, bibit baik berbuah baik. Kita hidup di Indonesia, makan minum di Indonesia, mati juga di Indonesia. DNA kita juga DNA Indonesia. Mengapa kita tidak peduli dengan negara kita? Mengapa kita hanya berkutat pada kepentingan pribadi dan kelompok saja. Teman saya orang Bali dan dia percaya karma. Dia bicara, kita hidup di negara yang semrawut, karena dari kehidupan-kehidupan kita sebelumnya kita begitu cuek terhadap negeri kita. Kalau sekarang masih cuek, mungkin kita mati dan dilahirkan lagi di negara yang semakin amburadul. Bukan masalah percaya karma atau tidak, tetapi kita memang terlalu cuek. Semoga mass media kita tidak cuek.
Lik Darmo: Pakdhe, tetapi bukankah media itu agar bertahan hidup dan berkembang harus selalu memperhatikan pangsa pasar. Kalau masyarakat sukanya hal-hal yang bersifat kekerasan dan polemik maka media terpaksa mengikutinya. Bukankah sudah ada polling, berita atau tayangan apa saja yang paling disukai masyarakat?
Pakdhe Jarkoni: Justru kita harus hati-hati terhadap suatu polling, betulkah fair atau mengandung tujuan tertentu? Kita memang kurang cinta terhadap tanah air. Kita lebih mencintai pribadi dan kelompok kita. Kita mau yang aman dan tidak beresiko yang artinya cuek. Kita tidak berani menyatakan banyak negara asing yang berkepentingan agar negara kita tidak kuat. Mereka ingin kita terpecah-belah. Semua provinsi boleh mengeluarkan perda syariat. Dan setelah Aceh, mungkin Bali syariat Hindhu, Papua dan Manado Syariat Kristen, Jogya syariat Kraton, Lebak syariat Baduy, Blora syariat Samin. Rusaklah Indonesia. Lupa akan Undang-Undang Dasar 1945.
Lik Darmo: Mengapa kita tidak sadar ya Pakdhe, sebagian orang kita digunakan sebagai pion-pion pemecah belah? Kan sudah ada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika?
Pakdhe Jarkoni: Kami dengar rumor, mereka mengincar Bali yang penduduknya sebagian besar beragama Hindhu dan punya hubungan internasional yang baik. Pion-pion itu tanpa sadar memanaskan pemuda Bali. Seandainya Bali ingin merdeka, hal tersebut akan didukung masyarakat internasional. Sebagai negara merdeka, Bali punya hak akses ke samudera lepas, sehingga selat diantara Banyuwangi dan Gilimanuk akan menjadi laut internasional dan terbelahlah Indonesia. Armada asing berhak lewat selat tersebut. Namanya rumor, tetapi kenapa kita tidak terketuk? Media diam saja. Kita disebut pakar lack of urgency, kehilangan sense of urgent, ketiadaan kepekaan yang mendesak. Saya ingat pelajaran, pahamilah dirimu dan kau akan memahami alam semesta.
Lik Darmo: Bagaimana Pakdhe contohnya mempelajari diri?
Pakdhe Jarkoni: Ada trilyunan sel dalam tubuh kita. Tetapi semua sel bekerjasama. Kaki terantuk batu, berita disampaikan berantai ke otak. Darah putih kompak akan selalu menyerang musuh, penyakit. Tidak pernah mereka cuek, ngambek dan demo. Sel yang tidak selaras dengan tubuh, yang tidak mau bekerjasama dinamakan tumor dan kanker. Tumor cuek dan kanker agresif menyerang tubuh. Apakah kita ini merupakan tumor dan kanker bagi Ibu Pertiwi. Sudahlah Lik, mari kita berdoa dan berjuang.
Lik Darmo: Berdoa merupakan refleksi dari perjuangan kita. Bukan karena takut resiko, kita lalu berdoa saja. Kalau kita berdoa minta diberikan jalan yang lurus, itu adalah refleksi perjuangan kita yang sedang menapaki jalan yang lurus, yang banyak tantangannya. Itu termasuk jihad. Terima Kasih Bapak.
Pakdhe Jarkoni: Semoga mass media menjadi mass media yang termulia, seperti yang tertera dalam Kitab Suci: “Wahai umat manusia. Kami sudah menciptakanmu dari laki-laki dan perempuan, Kami sudah menciptakanmu menjadi bersuku-suku dan berbangsa-bangsa dengan tujuan supaya kalian saling mengenal satu sama lain. Tetapi yang termulia di antara kalian adalah orang yang melakukan kebajikan dalam hidupnya. Allah Maha Kuasa, Maha Mengetahui” (49 :13). Terima Kasih Guru.
http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
Januari 2009.