February 24, 2009

Masyarakat Kodok Rebus

Sambil menunggu kedatangan ‘Kereta Harina’ jurusan Bandung di Stasiun Tawang Semarang, seorang bapak setengah umur dan berkacamata tebal mengajak bicara seorang anak muda yang nampaknya masih kuliah. Sang Mahasiswa, sesekali melihat netbook di pangkuannya, nampaknya dia sedang ‘browsing’. Percakapan antara generasi tua dengan generasi muda tersebut menarik perhatian orang.

Sang Generasi Tua: Berangkat ke Bandung dik? Saya duduk di sini ya, tadi saya duduk di sana, tetapi ada dua orang duduk di sebelah saya. Mereka sih diam, tetapi keduanya merokok yang asapnya seperti sepur, maka saya lebih baik pindah ke sini.

Sang Mahasiswa: Benar Pak, saya mau ke Bandung. Ngomong-ngomong rasanya sulit mencari ruang publik tanpa pencemaran ya Pak? Saya baru baca ‘download’ artikel bahwa asap kendaraan bermotor dapat mengeluarkan partikel Pb, Timbal yang dapat mencemari ke dalam makanan yang dijajakan di pinggir jalan atau terserap manusia melalui pernapasan. Katanya, Pb dapat merusak jaringan saraf, fungsi ginjal, menurunkan kemampuan belajar dan membuat anak-anak hiperaktif. Tingkat kecerdasan seorang anak yang tubuhnya telah terkontaminasi Pb sampai 10 mikrogram bisa menurun atau menjadi idiot. Pada ibu hamil yang terkontaminasi Pb dapat menyebabkan berkurangnya kesuburan, keguguran atau paling tidak, sel otak jabang bayi menjadi tidak bisa berkembang. Mengerikan ya Pak?

 

Sang Generasi Tua: Benar dik, limbah ‘bahan beracun dan berbahaya’, B3 memang cukup memprihatinkan, menurut dosen peneliti Teknik Lingkungan ITB, dari hasil penelitiannya terhadap 90 orang anak sekolah di Kota Bandung ternyata anak-anak Bandung tercatat 50% kadar Timbal dalam darahnya tinggi. Timbal di atmosfer berasal dari senyawa hasil pembakaran bahan bakar  yang tidak sempurna. Arus lalu lintas padat yang tidak diimbangi pembangunan  jalan baru, membuat jalanan macet dan menghasilkan pencemaran. Hasil observasi menyebutkan, kontribusi pencemaran udara dari transportasi mencapai 66,34% dari total pencemaran, sementara kegiatan industri menyumbang 18,90%, permukiman 11,12% dan kegiatan persampahan 3,68%.

 

Sang Mahasiswa: Alat-alat rumah tangga yang mengandung timbal, juga berkontribusi. Penggunaan pipa air minum berlapis Pb, peralatan makanan keramik berglasur juga sumber Pb. Kadar Pb dalam kemasan kaleng yang bersifat asam bisa mencapai 637,64 ppm dan kadar Pb yang terserap ke dalam makanan atau minuman di dalamnya bisa mencapai 171ppm.

 

Sang Generasi Tua: Bukan hanya di udara dan di peralatan, di sungai-sungai pun hampir sama keadaannya. Hampir semua sungai yang ada di Indonesia tercemar kualitasnya akibat aktivitas industri, kuantitas dan kualitas limbah yang dibuang kesungai seringkali tidak terkontrol. Banyak sungai tidak bisa dimanfaatkan untuk ‘mandi cuci kakus’, MCK akibat tercemar limbah industri. Racun yang berasal dari kawasan pertambangan emas juga masuk sungai dan pantai.

 

Sang Mahasiswa: Banyak sungai di musim kemarau menjadi hitam dan berbau busuk menyengat. Menurut dosen saya, banyak septic tank yang tidak baik, sehingga limbah manusia juga meresap dalam tanah. Bahkan tempat pembuangan akhir sampah tanpa pengolahan sampah juga sumber pencemaran yang nyata. Kebisingan suara motor dan mesin pabrik pun mengganggu kita.

 

Sang Generasi Tua: Udara, Air, Tanah, Api, Ruang semua tercemar. Semakin hari semakin menumpuk. Dan kita semua tenang-tenang saja. Apa kita ini tidak seperti ‘kisah kodok rebus’ dik, karena tambah panasnya pelan-pelan, kodok tak peka, tahu-tahu badan sudah mendidih kena rebus. Pencemaran setiap hari bertambah, dan tak terasa sudah mulai mengganggu kesehatan kita. 

 

Sang Mahasiswa: Mestinya penerapan ‘3-R’, ‘reduce, reuse, recycle’  dalam pengelolaan limbah, merupakan solusi yang positif. Mengurangi volume serta kadar limbah, memperlambat pertambahan volume limbah melalui pemanfaatan kembali barang-barang bekas, dan atau mendaur ulang limbah agar dapat pergunakan untuk berbagai keperluan, dapat membantu mengatasi pencemaran lingkungan.

 

Sang Generasi Tua: Dik, tiba-tiba saya berpikir, pikiran manusia pun juga terancam pencemaran, tontonan tidak mendidik yang lewat mata, suara, bau, pikiran, pandangan bahkan getaran kecemasan masyarakat sudah mengelilingi dan mengganggu kejernihan pikiran kita. Secara fisik sebaiknya kita tidak mendekati tempat pencemaran, secara psikis kita juga dapat menghindari rangsangan pencemaran pikiran. Aku berhak mengendalikan pikiranku sendiri.

 

Sang Mahasiswa: Terima kasih Pak yang mengingatkan kami, bahaya pencemaran bukan hanya fisik tetapi juga psikis, dan kalau tidak cepat sadar kita akan menjadi semacam kodok rebus.

 

Sang Generasi Tua: Saya juga terima kasih dik, saya seperti diingatkan buku ‘Zen Bagi Orang Modern’, karya Bapak Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 1998. Saat ini kita baru menemukan ‘ekor sapi’ bahkan mungkin baru menemukan ‘jejak-jejak kaki sapi’, memang masih lebih baik daripada mereka yang belum sadar bahwa mereka telah kehilangan sapi. Tetapi prosesnya masih panjang. Masih harus menjinakkan sapi, dan selanjutnya naik sapi pulang ke rumah.

 

Sang Mahasiswa: Kehilangan sapi berarti kehilangan pikiran jernih? Luar biasa buku Pak Krishna. Menemukan jejak-jejak sapi berarti menemukan akar permasalahan dan memperbaiki kesalahan. Melihat ekor sapi berarti peningkatan kesadaran dengan mengembangkan rasa. Terkendalinya sapi berarti pikiran sudah menjadi jernih. Dan pulang ke rumah naik sapi, berarti menggunakan pikiran jernih untuk pulang ke jati diri? Luar biasa. Terima kasih Pak, Terima kasih Pak Krishna.

 

Sang Generasi Tua: Terima kasih juga sampai jumpa, kita berlainan gerbong, tetapi tujuan kita sama.

 

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

Februari 2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone