April 13, 2009

Ibu Pertiwi, Aku Bangga Menjadi Manusia Indonesia Yang Unik

Variasi Kisah Asal-Usul Genetikku

Aku begitu terperangah, membaca komik Buddha dari Osamu Tezuka, ternyata bukan hanya orang Indonesia yang berani membuat kisah yang menarik, walau belum tentu dijamin keotentikannya. Cerita otentik tanpa variasi kadang terasa kering, kurang berlembab dan tidak dapat mengetuk nuraniku. Dari segi tujuan ada benarnya juga membuat sedikit variasi. Ibarat ada orang yang suka sayur-sayuran asli dengan rasa aslinya, tetapi aku lebih dapat menikmati dan bersyukur kepada Gusti betapa enaknya sayur lodeh yang rasanya ada aslinya tetapi sudah tidak tidak asli lagi. Sepanjang aku bersyukur tidak apa-apa kan? Biarlah, bukankah ada yang bertugas menjaga keotentikan, walau keotentikan suatu tulisan itu belum sempurna, ada saja yang memasukkan ego kedalam pemaknaan tulisan sehingga dari satu tulisan yang dijamin otentik pun berkembang banyak paham yang bertentangan?

Konon Raja Dewata Cengkar adalah adalah raja yang adil dan berwibawa dan masyarakat di Medangkamulan sejahtera. Pada suatu hari, sang koki memasak sayur kesukaan sang raja dan salah satu jarinya teriris pisau dan ikut termasak. Sang Raja menikmati daging aneh baru tersebut dan mencari tahu daging apa. Mencari kenikmatan yang belum pernah dialami, akhirnya terbiasa dan karena berulang-ulang menjadi perilaku. Kalau orang menyatakan ada ‘narcotic drug adddict’, banyak orang  yang serakah dan menjadi ‘property addict’ dan dengan proses yang sama Dewata Cengkar menjadi ‘human-gulai- addict’.

Aji Saka konon datang dari pulau Majethi ke Medang Kamulan, melebarkan sorban sampai Dewata Cengkar jatuh ke laut dan menjadi buaya putih. Dalam benakku yang suka cerita bervariasi, aku pribadi hanya melihat, Sriwijaya juga jatuh dengan diawali berdirinya Kerajaan Samudera Pasai. Majapahit juga diawali dengan pemberian tanah dan putri kepada para  pedagang di pantai utara. Indonesia juga dikuasai kompeni  dan dimulai dari pemberian tanah di Batavia. Pasar traditional juga digoyang dengan diizinkannya Alfa Mart.

Aku orang Jawa tetapi  dalam darahku ada genetik Dewata Cengkar dan Aji Saka yang keduanya menjadi raja di Medang Kamulan. Darah dunia ada dalam diriku, bukankah raja-raja leluhurku selalu dihadiahi putri cantik apakah putri Champa, Dara Petak, Dara Jingga dan putri dari kolega jaringan dagangnya. Konon Kanjeng Panembahan Senopati pun mirip Indo. Dalam darahku ada darah pedagang yang pelit. Ada genetik Timur Tengah yang sampai kini belum dapat menyelesaikan genetik permusuhan dengan keturunan Kanjeng Nabi Musa. Konon ketika aku lahir pantatku berwarna biru karena ada darah Mongolit, yang ketakutan dari kekejaman Jengish Khan dan lari ke Nusantara. Kalau betul kata Saka berasal dari suku Saka di India yang suka damai, jangan-jangan itu adalah kaum Sakya yang ada kaitannya dengan Buddha. Tetapi kaum Sakya pun sering perang dengan kerajaan Magadha, mungkin justru yang ke Indonesia mempunyai darah Devadatta. Kalau orang mengatakan dalam darahku ada genetik ‘Ken Arok’ dan ‘Arya Penangsang’ ‘so what?’

Yang kurasakan, otakku sering liar seperti perilaku kera, nafsu makanku kadang ada miripnya dengan babi yang pemakan segala. Kadang aku seperti kambing jantan yang ‘ndhendheng’, merasa benar sendiri dan mau menang sendiri. Teman-temanku pun begitu melihat fulus berebut saling cakar  seperti srigala. Aku kadang ketakutan dan aku membebek terhadap tongkat pengarah gembala. Kadang aku ‘kulakan’, belanja ilmu dan manggung seperti beo yang tak paham apa yang diucapkan.

Kalau aku makan daging barbeque, hewan makan daging mentah. Kalau aku tidur di rumah, hewan tidur di goa dan liang. Kalau aku punya surat nikah, hewan tidak, tetapi ‘basic instict’ mereka ada dalam diriku. Rasa kasih, rasa nurani itulah yang membedakan aku dengan mereka.

Kukutip ulang beberapa kalimat dalam artikel-artikel yang lalu, untuk meyakinkan diri bahwa aku memang unik.

 

Pengetahuan tentang genom

Dalam buku Genom, Kisah Species Manusia oleh Matt Ridley terbitan Gramedia 2005, disebutkan bahwa Genom Manusia – seperangkat lengkap gen manusia – hadir dalam paket berisi dua puluh tiga pasangan kromosom yang terpisah-pisah. Penulis Buku tersebut membayangkan genom manusia sebagai semacam otobiografi yang tertulis dengan sendirinya – berupa sebuah catatan, dalam bahasa genetis, tentang semua nasib yang pernah dialaminya dan temuan-temuan yang telah diraihnya, yang kemudian menjadi simpul-simpul sejarah species  kita serta nenek moyangnya sejak pertama kehidupan di jagad raya. Genom telah menjadi semacam otobiografi untuk species kita yang merekam kejadian-kejadian penting sesuai dengan keadaan sebenarnya. Kalau genom dibayangkan sebagai buku, maka buku ini berisi 23 Bab, tiap Bab berisi beberapa ribu Gen. Buku ini berisi 1 Milyar kata, atau kira-kira 5.000 buku dengan tebal 400-an halaman. Dan setiap orang mempunyai sebuah buku unik tersendiri. Dan genetik itu dipengaruhi oleh lingkungan.

Walau bagaimana pun, air yang kuminum berasal dari bumi Indonesia, beras dan sayuran yang kumakan tumbuh di bumi Indonesia. Lingkunganku, angin yang berhembus, gunung yang kulihat , sinar matahari yang menjaga kehidupanku, mereka semua di bumi Indonesia. Dan di bumi Indonesialah pula leluhurku pernah hidup. Pada prinsipnya yang menghidupiku adalah bumi Indonesia.

…………………… Apa pun sukumu, Engkau orang Indonesia. Apa pun agamamu, Engkau orang Indonesia. Terang atau gelap kulitmu, Engkau orang Indonesia. Mancung, pesek, sipit, belo, Engkau orang Indonesia. Aku cinta Kau……………………

 

Melepaskan diri dari perbudakan

Sejarah panjang penjajahan mempengaruhi cara berpikir dan bertindak kita, mempengaruhi DNA kita.Di bawah ini kami ketengahkan pendapat Tokoh Humanis yang sangat kami hormati, Bapak Anand Krishna. Perbudakan yang berkepanjangan bisa membisukan nurani manusia. Manusia mulai terbiasa dengan keadaan yang menimpanya. Ia mulai berkompromi dengan keadaan. Ia menganggap perbudakan itu kodratnya. Kita perlu menyadari bahwa manusia Indonesia masa kini pun belum sepenuhnya bebas dari perbudakan. Kita masih sebagai budak, diperbudak oleh ideologi-ideologi semu, diperbudak oleh dogma-dogma yang sudah usang, diperbudak oleh paham-paham dan kepercayaan-kepercayaan yang sudah kadaluwarsa. Tetapi kita tetap juga membisu. Jiwa kita sepertinya sudah mati. Sepertinya kita ibarat bangkai yang kebetulan masih bernapas.

Selama kita masih diperbudak, kita tidak dapat menghormati siapa pun. Seorang budak tidak mengenal rasa hormat. Seorang budak hanya mengenal rasa takut. Untuk menghormati seseorang, terlebih dahulu kita harus memiliki kebebasan. Tanpa kebebasan, selama kita masih hidup dalam penindasan, kita tidak bisa mengasihi seseorang, kita tidak bisa menghormati seseorang. Rasa kasih, rasa hormat, rasa bahagia, rasa indah – semuanya itu merupakan hasil kebebasan. Selama kita masih belum bebas, selama kita masih terbelenggu, selama itu pula kita masih hidup dalam kesadaran rendah, di mana penghalusan rasa belum terjadi.

Kita masih hidup dalam perbudakan. Diperbudak oleh masyarakat, diperbudak oleh lembaga-lembaga yang menamakan dirinya lembaga-lembaga keagamaan, juga oleh pikiran kita sendiri. Kita masih hidup dalam perbudakan. Jelas dalam diri kita belum terjadi penghalusan rasa. Kita belum kenal rasa hormat. Apakah kita menghormati orang-tua kita? Menghormati Nenek-Moyang kita? Menghormati Warisan Budaya kita?

Budaya berasal dari dua kata,  Buddhi dan Hridaya, ini adalah bahasa Jawa Kuno. Buddhi adalah pikiran yang sudah jernih, kalau pikiran  belum jernih itu belum disebut Buddhi, ada istilah Budi Pekerti. Hridraya adalah perasaan/hati. Gabungan dari keduanya itu adalah Budaya.

Segala sesuatu yang dilakukan berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan dalam jangka lama akan menjadi karakter. Nenek Moyang kita mengungkapkan dalam  ungkapan ‘Tresno Jalaran Soko Kulino’, Kasih Muncul Akibat Kebiasaan. Kebiasaan seseorang menjadi budak mengakibatkan karakter budak. Bila kita mulai hidup dengan kesadaran bahwa kita merdeka, tidak terbelenggu dan pemahaman tersebut dilakukan sehari-hari maka karakter kita akan berubah menjadi karakter yang tidak terkungkung. Potensi diri, jiwa kebesaran Sriwijaya, Majapahit ataupun Kerajaan lainnya masih ada dalam gen kita, selama ini mereka terdesak oleh belenggu ketakutan, belenggu perbudakan.

Kita harus mulai hidup berkesadaran, membuang kebiasaan lama yang kurang baik dan menggantinya dengan kebiasaan baru, membuat ‘created mind’ yang benar untuk memperbaiki ‘conditioning mind’ yang salah. Sudah waktunya kita lepas dari perbudakan, sudah waktunya kita bebas, sudah waktunya kita menghormati jasa leluhur kita, sudah waktunya kita menghormati Warisan Budaya kita. Bende Mataram, Sembah Sujudku bagi Ibu Pertiwi.

 

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

April 2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone