April 18, 2009

Mendatangkan Dewi Sri di Pulau Lombok (Artikel Kedua, Budidaya Padi Pola SRI)

Berjuang dari Bumi Gora menjadi Bumi Sri

Provinsi NTB sebagai Bumi Gora (Gogo Rancah, pertanian tadah hujan yang dikembangkan di zaman pak Harto), berjasa dalam mendukung swasembada pangan sejak tahun 1984. Bagaimana pun sistem tadah hujan tergantung pada banyaknya curah hujan, dan ada kecenderungan perubahan iklim secara global. Pemerintah berpikir keras bagaimana memanfaatkan Jaringan Irigasi Interkoneksi untuk menghasilkan produksi pertanian secara berkelanjutan. Untuk mempertahankan swasembada dan meningkatkan produksi diperlukan tanaman padi yang bisa menghemat air, sehingga air yang dapat dihemat dapat dipakai untuk memperluas sawah beririgasi.

Padi SRI (System of Rice Intensification) adalah budidaya tanaman padi yang hemat air, produksi yang tinggi dan biaya tanam yang rendah. Pengujian selama 8 musim tanam di NTB memberikan tambahan hasil panen 3.4 ton per ha, penghematan air sekitar 35% serta penghematan biaya sekitar 20%. Akan tetapi pelaksanaan SRI masih terbatas pada areal Demplot, mungkin baru sekitar 3-4 % dari total areal persawahan di Pulau Lombok. Adalah merupakan perjuangan Provinsi NTB untuk membumikan padi SRI, karena penerapan hal yang baru di tengah masyarakat yang sudah nyaman dengan pola lama merupakan perjuangan yang sangat berat walau perjuangan yang sangat mulia.

 

Garis Besar cara menanam padi SRI

Penanaman padi SRI memerlukan perubahan budaya dengan tidak menanam ‘as usual’, seperti pada biasanya. Padi SRI hanya memerlukan maksimal genangan air 2 cm dibandingkan genangan padi biasa yang membutuhkan genangan air 15-20 cm. Air yang biasa dibutuhkan untuk mengairi 1 ha dapat mengairi  7-10 ha. Persemaian benih dapat dilakukan diatas nampan dengan benih 5-10 kg per ha dibandingkan benih cara biasa yang membutuhkan 50-75 kg per ha. Seuatu penghematan luar biasa dalam penggunaan benih. Penanaman padi Sri membutuhkan 14 orang per ha dibandingkan dengan penanaman padi biasa yang membutuhkan 40 orang per ha per musim tanam. Biaya penanaman padi SRI sebesar Rp. 260.000. per ha dan lebih hemat dari penanaman biasa yang membutuhkan biaya Rp 500.000. per ha.

Sebuah perubahan memerlukan hasrat dan kemauan serta kerja keras untuk mengubah pola kebiasaan lama. Melepaskan diri dari ‘comfort zone’, zona kenyamanan lama adalah tindakan yang perlu ‘power of the will’. Selanjutnya diperlukan ‘power of knowledge’, pemahaman pengetahuan dan harus dilakukan dengan ‘power of action’, tindakan, agar sukses. Dalam istilah Sanskerta diperlukan ’ Icha Shakti’, ‘ Gyaana Shakti’  dan ‘Kriya Shakti’. Lakukan dan lakukan secara berulang-ulang, agar menjadi kebiasaan, dan lakukan sehingga menjadi perlaku, dan akhirnya mengubah karakter kita.

 

Menghormati  zat hidup

Tanaman mengandung sekitar 80% air, dan unsur lainnya dan zat hidup. Sesungguhnya ketika menanam, manusia hanya bertindak sebagai fasilitator. Yang membuat biji padi menjadi lembaga adalah zat hidup. Ketika manusia memelihara padi manusia hanya sebagai fasilitator, yang memelihara kehidupan padi adalah zat hidup. Bila tidak ada zat hidup, manusia memelihara sebaik mungkin pun tidak dapat menghidupkan tanaman. Ketika manusia mengolah tanah membalikkan sisa akar dan tubuh padi kedalam tanah sebetulnya manusia bertindak sebagai fasilitator. Yang mendaur ulang bekas tanaman adalah alam dan bakteri organik. Mencipta, Memelihara dan Mendaur Ulang adalah kekuatan Ilahi, manusia bertindak selaras dengan alam untuk memfasiltasinya. Bahkan ketika pasangan suami  istri membuat anak, mereka hanya sebagai fasilitaror pembuahan. Yang membuat air ketuban, yang mengembangakan satu sel awal menjadi bentuk manusia adalah zat hidup.

Penemuan Dr. Masaru Emoto, bahwa air mempunyai kesadaran, membentuk hexagonal yang cantik ketika mendapat vibrasi kasih dan rusak bentuknya ketika mendapat vibrasi negatif dapat memperjelas fenomena alam. Benda di alam ini mengandung 5 unsur elemen alami, ruang, angin, api, air dan tanah. Adonan jumlah elemen tiap benda berbeda. Tanaman yang sebagian besar kandungannya berupa air, jelas akan terpengaruh oleh vibrasi negatif ataupun positif sesuai dengan penemuan Dr. Masaru Emoto. Dalam air pun terkandung zat hidup yang dapat menghidupi tanaman.

Seorang Amerika menghubungkan kedua elektrode ‘lie detector’ pada sebatang bunga ‘Adhatoda Vasica’, kemudian menyiramkan air pada bagian akar bunga, setelah itu dia menemukan pena elektronik dari ‘lie detector’ dengan cepat menggoreskan suatu garis lengkung. Garis lengkung ini persis sama dengan garis lengkung dari otak manusia ketika dalam waktu yang sangat pendek mengalami suatu rangsangan maupun kegembiraan. Selanjutnya, dia meletakkan dua tanaman dalam pot dan salah seorang siswa diminta menginjak-injak salah satu tanaman sampai mati, dan kemudian tanaman yang masih hidup dipindah ke dalam ruangan dan dipasangi ‘lie detector’. Empat orang siswa diminta masuk ruangan satu per satu. Ketika giliran siswa kelima, siswa yang menginjak tanaman masuk ke dalam, belum sampai berjalan mendekat, pena elektronik segera menggoreskan suatu garis lengkung, suatu garis lengkung yang terjadi saat manusia merasa ketakutan. Luar biasa, tanaman mempunyai emosi, tanaman mempunyai kesadaran.

Penghormatan terhadap benih tanaman yang ditanam satu persatu pada padi SRI dan tidak dimasukkan karung dengan cara lama, pengetahuan tentang benih yang ditanam selagi masih muda berumur sekitar 10 hari dibanding cara lama yang menunggu sekitar 25 hari. Jarak antar padi yang sekitar 30 cm akar anakan dapat berkembang, sinar matahari lebih banyak kena tanaman dan mudahnya menyiangi antara dua tanaman adalah suatu bentuk penghargaan kepada tanaman. Bahkan suara ‘sonic bloom’ yang dapat memperbanyak produksi adalah tiruan dari bunyi tanaman garengpung yang berfrekuensi tinggi. Semoga suara klenengan di Jawa, suara Gendang Belik di Lombok dapat memberi vibrasi positif bagi kehidupan padi. Menyelaraskan diri dengan alam dan memaksimalkan potensi dir adalah kuncinya.

Leluhur kita menghormati seluruh alam. Menghormati pohon dengan sesajen dan memberi kain loreng ‘rwabineda’ di pohon nampak seperti perbuatan syirik, akan tetapi tujuannya adalah mulia bagaimana menjaga kelestarian alam, agar pohon tidak dibabat semena-mena. Dari pengetahuan kita belajar bahwa semua benda hidup punya usia dan mereka ingin dipelihara. Bagian terkecil suatu benda adalah atom dimana terdapat elektron yang selalu bergerak mengelilingi inti. Benda yang dianggap matipun sejatinya ada gerakan didalam atom-atomnya. Ya Tuhan, Ya Rabb, jernihkan pandanganku sehingga aku bisa melihat wajah-Mu di Timur di Barat dan di mana-mana. Tuhan, Zat Hidup ada dimana-mana sehingga kita harus menghormati seluruh alam ini. Kesalahan dilakukan ketika kita bertindak tidak selaras dengan alam. Terima kasih Guru yang mengingatkan kita semua untuk bertindak selaras dengan alam.

 

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

April  2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone