May 16, 2009

Antara Bendungan Wonogiri dan Kasih Dalam Diri

Pertemuan di Wonogiri

Pada tanggal 13 Mei 2009,  teman-teman dari Pemerintah Kabupaten Wonogiri, dari Kementerian Lingkungan Hidup dan dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah bertemu guna mempersiapkan acara Hari Air Dunia dan Hari Lingkungan Hidup yang akan dipusatkan di Wonogiri pada tanggal 1 Juni 2009.

Sehabis pertemuan, acara dilanjutkan dengan peninjauan lapangan dan dimulailah sebuah perjalanan mengelilingi Bendungan Wonogiri. Perjalanan tersebut memakan waktu cukup lama karena  jarak yang ditempuh lebih dari 100 km. Bagi sebagian teman, hal tersebut hanya merupakan sebuah perjalanan biasa, akan tetapi bagi kami pribadi, banyak sekali pelajaran yang dapat  kami petik.

Keunikan manusia sebagai pribadi

Dalam pertemuan di Wonogiri, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendekatan setiap instansi dalam mengelola pekerjaan tidak sama, tergantung dari tugas pokok dan fungsi serta kondisi masing-masing instansi. Sebuah kolaborasi dari beberapa instansi menghasilkan sebuah rencana yang cukup komprehensif…………..

Dari sekitar enam milyar penduduk dunia, tidak ada satu pun manusia yang mempunyai wajah yang sama persis. Pengalaman hidup setiap manusia juga tidak ada yang sama, sehingga pandangan hidupnya sudah pasti berbeda. Setiap manusia mewarisi sifat genetik yang diperoleh dari kedua orang tuanya, kemudian mendapat pendidikan dari orang tua, sekolah dan lingkungan. Adalah hal yang wajar apabila pandangan hidup setiap manusia akan berbeda-beda. Apabila, kita lahir di negara berbeda, pendidikan berbeda, dan zaman yang berbeda, maka pandangan kita tentang kebenaran akan berbeda pula. Perbedaan itu perlu dihayati dalam berinteraksi antar manusia.

 Di salah satu universitas di Amerika diadakan penelitian, dan dikumpulkanlah sejumlah mahasiswa-mahasiswi dan dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama diberi peran sebagai narapidana dan kelompok lainnya sebagai sipir penjara. Penelitian tersebut direncanakan berjalan selama dua minggu dan selalu diadakan pengamatan setiap hari. Pada hari ketujuh, penelitian tersebut terpaksa dihentikan. Ternyata mereka yang diberi peran sebagai narapidana mengalami depresi berat, sedangkan mereka yang bertindak sebagai sipir penjara berkembang perilaku kesewenang-wenangannya. Dapat disimpulkan bahwa perilaku seseorang terbentuk pula akibat peran atau profesi yang digelutinya.

Pada awalnya yang disebut kasta adalah “varna”, semacam pengelompokan manusia berdasarkan profesi dan bukan berdasarkan keturunan. Setiap kelompok memerlukan “treatment” tersendiri dalam peningkatan kesadarannya. Bhima adalah seorang Kesatria, Sutasoma adalah seorang raja, Abiyasa adalah putra dari ibu penjual ikan, Narada adalah putra seorang pembantu rumah tangga dan semuanya dapat mencapai tingkat spiritual yang tinggi.

Guru sebenarnya termasuk profesi Brahmana, yang mestinya sudah tinggi tingkat kesadarannya, akan tetapi sebagian dari mereka kini malah bertindak memperjualbelikan pendidikan sehingga  menjadi pedagang, Vaishya. Para kesatria pun banyak yang memperdagangkan dirinya, bahkan sebagian menjadi orang suruhan pengusaha, seorang Sudra. Seorang Vaishya, pengusaha yang mendarmabaktikan sebagian besar pendapatannya demi kemajuan pendidikan bangsa ataupun kepiawaiannya diajarkan pada kader bangsa sudah menjadi Guru, menjadi Brahmana.

Bagaimana pun dengan segala keunikannya, Guru berkata bahwa mereka semua dapat meningkatkan “kesadaran”-nya, mereka semua dapat mengembangkan “kasih” di dalam diri mereka. Tuhan bagaikan magnet. Senantiasa siap untuk “menarik” kita. Jiwa kita saja yang karatan, sehingga tidak “kena-tarik”. Kehadiran para suci di dalam hidup membantu kita membersihkan jiwa. Jiwa yang sudah karatan harus dibersihkan dengan zat kimia. Itu sebabnya proses pembersihan selalu menyakitkan. Kemudian, karena lapisan karat ini berasal dari pergaulan, dari masyarakat luas, maka kita harus selalu waspada dalam menjalani kehidupan ini. Kasih meningkatkan dan memelihara kesadaran.

“Selera makan” dalam roda perekonomian

Di Ngadiraja, rombongan berhenti makan siang, dan begitu makan oseng-oseng tempe lombok hijau seluruh keringat keluar dari pori-pori wajah kami, luar biasa pedasnya. Setiap daerah mempunyai selera tertentu terhadap masakannya. Dan, di tengah perjalanan kami merenung lama……

Sungguh sangat sulit membebaskan diri dari keterikatan selera terhadap lidah. Keterikatan yang cukup berat, sehingga sebelum meninggalkan jasad, banyak orang yang meminta masakan tertentu. Salah satu sahabat kami pernah berkata, bahwa seandainya semua orang bisa melepaskan keterikatan terhadap selera yang tertanam di pikiran bawah sadarnya, semua warung akan tutup dan perekonomian akan melambat. Memang ada benarnya, bila orang tidak mempunyai keterikatan terhadap rasa dan selera dari lidah bagaimana jadinya Rumah Makan Mbok Berek, Suharti, Ponyo dan Gumati. KFC, Pizza dan lain-lain akan gulung tikar. Iklan Biskuit Roma, Coklat, Susu dari berbagai merek akan berantakan semua. Keberadaan hanya memberikan organ pengecap di lidah yang mungkin hanya sebuah ilusi tetapi pengaruhnya dapat menghidupkan perekonomian.

Kami pernah membaca buku terjemahan Vasishta Yoga tentang ilusi, akan tetapi dalam praktek, sekadar ilusi kecapan lidah pun terasa berat. Yang Mulia Atisha mengajarkan agar kita menyadari bahwa semua ini hanya mimpi, akan tetapi makan masakan yang bukan selera Indonesia pun terasa amat berat.

Bathara Narada memberikan jalan keluar. Dalam buku Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001 halaman 97 ditulis: Bagi Narada, bukan hanya pemujaan dan ritual-ritual keagamaan, tetapi setiap kegiatan, adalah persembahan. Makan dan minum pun menjadi persembahan – yang dipersembahkan kepada badan, di mana Dia bersemayam. Senggama pun menjadi sebuah persembahan, di mana dua “aku” belajar bersatu. Belajar mengikis ego masing-masing and come together! This togetherness, kebersamaan inilah Kasih! Profesi dan usaha apa saja bisa menjadi persembahan. Dan, persembahan adalah wujud Kasih.

Menurut Guru masakan khas Indonesia adalah gado-gado, semua bahan, baik tahu, telor, tauge, kol masih memberikan rasa aslinya. Kemudian sambal kacang adalah pengikatnya, sebagai pemersatunya, sehingga bermacam-macam rasa berkolaborasi meningkatkan selera. Sebuah realisasi dari Bhinneka Tunggal Ika.

Desa Mandiri Energi Mojosawit

Di dusun Mojosawit, Tawangharjo, Giriwoyo, untuk setiap rumah yang mempunyai ternak sapi dibuatkan pemerintah sebuah instalasi bio gas. Cukup dua ekor sapi, dan kotorannya dimasukkan semacam bangunan fiber sederhana dan gas yang terjadi dialirkan ke rumah untuk menghidupkan sebuah kompor gas yang dapat memenuhi kebutuhan masak-memasak bagi satu keluarga setiap harinya.

Di Dusun Kamplong yang berada di daerah aliran sungai Keduang, pemerintah hanya memberikan stimulan berupa bronjong dan semen serta biopori. Dan terbangunlah beberapa “chekdam cilikan” yang dapat menahan air dan laju endapan erosi. Masyarakat dapat mengairi tegalan-nya dan sedimen yang turun ke waduk terkurangi.

Sudah tepat Visi Pemerintah Jawa Tengah, “Balik Desa, Mbangun Desa” yang di dalamnya sarat makna tentang perbaikan kesejahteraan masyarakat desa dan pelestarian lingkungan alam,  aura kasih meliputi Visi tersebut.

Kesan yang timbul ketika melihat “Museum Karst Dunia” adalah terrealisasinya obsesi seorang Bupati yang pantang menyerah. Bangunan yang megah berbentuk seperti piramid tersebut terasa penuh energi. Apalagi setelah nantinya museum tersebut terisi batu-batuan yang berasal dari seluruh dunia.

Bendungan Wonogiri

Waduk merupakan bangunan air yang memanfaatkan siklus hidrologi alami guna kepentingan masyarakat luas. Hujan yang turun di daerah tangkapan air disimpan dalam waduk, untuk keperluan irigasi di musim kemarau, menggerakkan turbin listrik tenaga air, dan menahan air agar tidak terjadi banjir di daerah bawah.

Waduk Wonogiri mempunyai luas daerah tangkapan air : 1.350 km2, luas genangan waduk : 88 km2 dan volume efektif 440 juta m3. Waduk Wonogiri dapat mengendalikan banjir dari debit 4.000 m3/dt menjadi 400 m3/dt, menyediakan air bagi lahan seluas 23.200 ha dan membangkitkan listrik sebesar 12.4 MW.

Bendungan adalah wujud kasih manusia terhadap sesama. Dan, saat merenungkan sifat kasih sebuah bendungan, mengingatkan adanya manusia penuh kasih yang bermanfaat bagi alam semesta.

Maitreya

Dalam bahasa Sanskerta, Maitri berarti “persahabatan”. Bahkan mungkin lebih dari sekadar persahabatan, tetapi sense of frienship. Dan bila “persahabatan” menjadi sifat seseorang, orang itu disebut Maitreya. Seorang Bhakta adalah seorang Maitreya. Dia bersahabat dengan setiap orang, dengan setiap makhluk. Dengan pepohonan dan bebatuan. Dengan sungai dan angin. Dengan  bumi dan langit. Dengan dunia dan akhirat. Itu sebabnya dia tidak pernah mencemari lingkungan, tidak akan merampas hak orang. Tidak percaya pada aksi teror, intimidasi, dan anarki. Seorang Maitreya siap berkorban demi keselamatan orang lain, karena baginya yang lain itu tidak ada. Dia melihat Tuhan di mana-mana. Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001 halaman 56.

Semoga semakin banyak manusia Indonesia yang berjiwa Maitreya. Terima Kasih Guru, semuanya berkat Rahmat Guru semata.

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

Mei 2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone