May 11, 2009

Antara Orientasi Otak dan Orientasi Hati serta Spiritualitas Para Leluhur

Polemik Kebudayaan di tahun tiga-puluhan

Polemik budaya antara dua seniman besar, Sutan Takdir Alisyahbana dan Sanusia Pane terjadi di tahun-tahun terakhir dekade 1930-an. Sutan Takdir Alisyahbana bersemboyan, hidup harus selalu berjuang, harus bekerja keras. Tanpa itu, orang tidak akan maju, tak akan bisa menjadi manusia modern. Di pihak lain Sanusi Pane lebih mengutamakan ketenangan dan kedamaian. Justru inilah yang oleh Sutan Takdir Alisyahbana dianggap melembekkan: semboyan tenang dan damai membelenggu orang dan mengakibatkan tidak adanya kemajuan.

Sanusi Pane sebetulnya berusaha melakukan sintesis antara Barat dan Timur, antara otak dan hati. Barat, dengan kacamata zaman itu, dipandang mengutamakan jasmani, sehingga lupa adanya jiwa. Akal dipakai untuk menaklukkan alam. Di pihak lain, Timur lebih mementingkan rohani, sehingga lupa akan jasmani. Akal dipakai untuk mencari jalan untuk mempersatukan diri dengan alam.

Para pemikir besar bangsa sejak zaman dulu telah memikirkan orientasi bangsa, apakah berorientasi pada otak seperti Barat, ataukah berorientasi pada hati seperti Timur. Pada masa kini sudah ada penyempurnaan di kedua belah pihak, walau perbedaan pandangan tersebut masih nampak juga.

Bagaimana pun, polemik pemikiran kebudayaan yang terjadi pada saat itu adalah polemik yang sehat. Polemik yang mengedepankan nalar, sopan santun dalam menulis, serta penghormatan atas perbedaan, ketimbang kekuatan dan gertak-menggertak. Polemik yang kerap disebut sebagai ‘Polemik Pudjangga Baru’ itu tak hanya membenturkan wacana Barat-Timur, tapi juga menegaskan ke mana arah kebudayaan Indonesia hendak berayun. Sekarang ayunan telah berjalan 8 dasa warsa, dan kita menjadi saksi bangsa Indonsesia sudah bergerak ke arah mana. Apakah bangsa kita masih berjalan di tempat? Atau malah mendapatkan kemunduran akhlak, sehingga kesantunan sudah menjadi barang langka?

Evolusi penggunaan mind

Sutan Takdir Alisyahbana melihat pada saat itu, banyak kader bangsa yang mencari kedamaian dengan mengabaikan otak. Sampai sekarang pun masih ada kader bangsa yang nampak sangat egois, hanya mencari kedamaian diri tanpa memperdulikan kekacauan yang terjadi di tengah masyarakat. Kedamaian yang didapat adalah kedamaian semu, kedamaian yang  bagi sebagian orang dipandang sebagai pelarian diri dari kenyataan hidup. Sebuah keluarga bahagia yang hanya memikirkan kesejahteraan keluarganya tanpa peduli kemiskinan yang terjadi di sekitarnya adalah kebahagiaan semu. Apabila  negaranya hancur, maka kebahagiaanyapun akan musnah. Mereka termasuk dalam ‘silent majority’ yang karena sikap diamnya dalam melihat ketidak benaran membuat bangsa kita berada dalam keadaan carut marut.

Dalam buku SHAMBALA, Fajar Pencerahan di Lembah Kesadaran, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, dijelaskan adanya evolusi ‘mind’. Mineral, tumbuh-tumbuhan dan binatang hanya memiliki ‘thought’ – satuan pikiran. Sekian banyak ‘thoughts’ dan bahkan ‘feelings’, pikiran dan rasa. Tetapi semuanya masih dalam bentuk recehan, satuan-satuan kecil. Belum mengkristal untuk menciptakan ‘mind’. Kendati binatang-binatang berkaki empat sudah mulai menunjukkan adanya ‘simptom mind’, tetapi masih belum cukup berkembang, belum cukup mengkristal. Dalam diri manusialah, ‘mind’ baru mengkristal sepenuhnya. Sebagai manusia, penggunaan ‘mind’ memang harus dimaksimalkan. Bagi mereka yang telah maksimal menggunakan ‘mind’ dan memahami bahwa kebahagiaan bukan berasal dari luar, maka dia akan mulai meniti kedalam diri. Untuk meniti ke dalam diri ‘mind’ harus dilepaskan. Akan tetapi setelah sadar, maka dia akan bekerja giat di dunia tanpa pamrih. Dia akan menggunakan ‘mind’, akan tetapi ‘mind’ hanya dipakai sebagai alat. Dirinya yang sudah sadar yang menguasai ‘mind’. 

Mengikuti Resi yang naik gunung atau yang sudah turun gunung

Kami mencoba mengetengahkan pandangan Bapak Anand Krishna tentang kesadaran.

Ibarat seseorang yang naik gunung kesadaran, banyak orang yang hanya terfokus pada puncak gunung kesadaran, dan tidak peduli keadaan sekitar. Dapat kita lihat banyak orang yang hanya meniti ke dalam diri dan mengabaikan kekacauan di sekitarnya. Kalau semua orang mengikuti Resi yang sedang bergerak naik ke puncak, maka kedamaian yang diperolehnya masih semu. Kedamaian semu itu dimanfaatkan oleh mereka yang mendapatkan keuntungan dari ketidakpedulian mereka.

Mungkin Indonesia bisa terpecah-belah karena ketidak-pedulian mereka dan mereka pun belum juga mencapai puncak kesadaran. Akan tetapi kita juga menjadi saksi seberapa banyak para pemimpin muda yang langsung terjun berjuang demi  masyarakat, akan tetapi setelah menggenggam kekuasaan mereka lupa pada rakyatnya. Mengapa hal demikian terjadi? Karena mereka terlalu terburu-buru turun gunung sebelum mereka sadar.

Sebaiknya kita mengikuti para Resi yang sudah mencapai puncak gunung kesadaran, dimana mereka mampu melihat keadaan di bawah lebih jelas, dan kemudian mereka turun gunung ke tengah masyarakat. Mereka melihat ketidakadilan dan ketidakbenaran dengan jelas. Mereka disebut Leluhur sebagai Bhagawan. Kanjeng Nabi Muhammad, Gusti Yesus adalah contoh Resi yang sudah mencapai puncak gunung kesadaran dan turun ke dunia. Mereka adalah nasionalis sejati, walau jelas mereka spiritualis, kita dapat memperhatikan ajaran kemasyarakatannya. Prabu Kresno juga tidak duduk diam melihat keangkaramurkaan kaum Korawa. Beliau terjun ditengah masyarakat membimbing Arjuna dan Pandawa dalam menegakkan keadilan.

Kritik atas pandangan Sutan Takdir Alisyahbana

Walau bagaimana pun ada pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana yang kurang tepat. Beliau pernah berbicara untuk memenggal sejarah kebudayaan masa pra-Indonesia. Menurut beliau, kebudayaan nasional bukan kelanjutan peninggalan nusantara purba. Beliau meneriakkan modernisasi ala Barat. Beliau menganggap budaya pra-Indonesia telah menyebabkan bangsa Indonesia menjadi nista, tidak beradab.

Sekarang ilmu genetika sudah berkembang. Genetik kita diwariskan dari leluhur secara turun temurun dan leluhur kita pernah hidup di zaman dahulu kala. Dalam DNA kita terdapat catatan pengalaman leluhur-leluhur kita zaman Sriwijaya, zaman Majapahit, genetik bawaan dari pembangun Candi Monumental Borobudur dan juga genetik pelaku kekerasan Ken Arok dan Arya Penangsang . Zaman dulu dan zaman sekarang ini adalah satu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam genetik seseorang terdapat catatan evolusi panjang kehidupannya sampai saat ini.

Kita bahkan perlu mengkoreksi klasifikasi sejarah yang mengkotak-kotakkan Sejarah Bangsa menjadi Zaman Pra Hindu, Zaman Hindu, Zaman Islam, Zaman Penjajahan dan seterusnya. Genetik kita pada saat ini ada kaitannya dengan masa lalu, tidak dapat dipisah-pisahkan atas dasar kepercayaan yang dianut pada beberapa masa. Leluhur kita pernah beragama tersebut dan genetiknya telah terwariskan kepada kita.

Kalaupun kita mempercayai pandangan Sejarawan Inggris Arnold Toynbee (1889-1975) yang mengemukakan teori siklus ‘lahir-tumbuh-mandek-hancur’ dari suatu kehidupan sosial atau suatu peradaban, dan pada kenyataannya, kerajaan-kerajaan di Nusantara juga mengalami proses tersebut, akan tetapi semua pengalaman tersebut telah  tercatat dalam DNA kita. Adalah perjuangan sebuah bangsa untuk mengembangkan karakter bangsa yang baik dan membuang karakter bangsa yang tidak baik.

Melampaui Otak dan Hati

Dalam layang Joyoboyo, Traditional Javanese first edition 1997 by Raden Mas JR. Basuki. Second edition 2004 © Raden Mas JR. Basuki and Michael Zwart, MBA, ada gambaran tentang tingkat-tingkat kesadaran . Kalau tingkat-tingkat tersebut ditransformasikan dengan cara tangga yang paling bawah di anggap berada di lapisan lingkaran terluar, sedangkan tangga yang paling atas dianggap berada pada lingkaran terdalam, maka terdapat gambaran sebagai berikut: Berada di lapisan kesadaran terluar adalah Budi, di dalam Budi ada Pikiran. Di dalam pikiran ada Rasa. Di dalam Rasa ada Kecerdasan atau intelegensia. Di dalam Intelegensia ada Kehidupan dan di dalam Kehidupan ada sesuatu yang tidak dapat digambarkan yang disebut Gusti, atau ‘Ingsoen’. Dari gambaran tersebut dapat dipahami bahwa sebagai orang yang sadar, dia sudah melampaui Pikiran dan Rasa, melampaui Otak dan Hati.

Dalam buku VEDAANTA, Harapan bagi Masa Depan, Anand Krishna, Pustaka Bali Post, 2007 dijelaskan tentang pemahaman para pujangga yang berada di Wilayah Peradaban Sindhu. Sindhu sendiri dalam perkembangannya sering disebut sebagai Shintu, Shin, Shinto, Zen, Hindu atau Indo. Bahkan konon Nabi pernah memberi nasehat untuk belajar ke negeri Shin. Dalam aksara Jawa antara ‘a’ dan ‘ha’ tulisannya sama. Sehingga ada Hindustan, Indochina dan Indonesia.

Para pujangga yang berada di wilayah Peradaban Sindhu – dari Aaryan atau Iran hingga Astraalaya atau Australia – berpendapat bahwa manusia “belum jadi”. Ia masih dalam proses “menjadi” atau “penjadian”. Manusia lahir dengan potensi untuk mengungkapkan kemanusiaannya secara sempurna. Ia lahir bersama benih kemanusiaan. Pun Keberadaan menyediakan seluruh bahan baku, sarana dan apa saja yang dibutuhkan untuk menunjang pengungkapan kemanusiaan itu. Namun, kesadaran awal manusia yang dibutuhkan untuk meracik bahan baku yang telah tersedia dan menggunakan sarana yang dibutuhkan untuk mengungkapkan jati-dirinya – kemanusiaannya. Gambaran tingkatan kesadaran manusia dalam layang Joyoboyo ternyata sesuai dengan pendapat para pujangga di wilayah peradaban Shindu.

Dalam buku tersebut di atas disebutkan bahwa: Umumnya, manusia memang berorientasi pada Otak atau Hati. Ada yang ‘Head-Oriented’, ada yang ‘Heart-Oriented’. Orientasi pada Otak melahirkan para saintis, para politisi, para pengusaha yang mahir mencari keuntungan……. Sementara itu, Orientasi pada Hati melahirkan para seniman, para penyair dan penulis. Kelompok kedua ini tidak terlalu pintar dalam urusan hitung-menghitung. Adakalanya terjadi tumpang-tindih. Ketika seorang politisi berorientasi pada Hati, maka lahirlah seorang Soekarno. Ia seorang negarawan dengan visi jauh ke depan. Menempatkan seorang Soekarno di Istana Kepresidenan adalah kesalahan bangsa ini. Kesalahan Rakyat Indonesia. Beliau terlalu besar dan istana terlalu kecil. Dinding dan atap istana kepresidenan tidak mampu membatasi gerak-gerik jiwa Soekarno. Maka Sang Jiwa Besar pun berontak. Batas-batas aman politik dilampauinya. Norma-norma baku diplomasi diabaikannya. Dan, banyak pihak yang menjadi gerah. Maka Beliau disingkirkan.

Sebagai penutup kami kutip pandangan Bapak Anand Krishna dalam buku Vedaanta: Saya mengakui dan menerima kedua orientasi tersebut. Dua-duanya penting. Kendati demikian, saya juga memiliki visi tentang Manusia Baru, tentang Neo-Man. Dalam visi saya, Manusia Baru adalah Manusia Sempurna dalam pengertian ‘The Total Man’. Dirinya “Lengkap”. Manusia Baru tidak diperbudak oleh hati maupun otak. Ia mengendalikan keduanya. Ia tahu persis kapan menggunakan hati, dan kapan mengunakan otak. Ia bukanlah Pembantu hati atau otak, ia adalah Majikan yang mengendalikan keduanya. Semoga para pembaca bersedia menjadi Neo-Man demi kemajuan bangsa.

Demikian pemahaman kami sampai dengan saat ini. Terima Kasih Guru.

 

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

Mei 2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone