May 10, 2009

Cerita Spiritual Para Leluhur Yang Mempersatukan Bangsa Indonesia

Berada dalam zaman yang berubah

Pada hari hari Kamis tanggal 7 Mei 2009, Perkumpulan Petani Pemakai Air Parang Tirto memberi kenang-kenangan kepada kami sebuah lukisan dari bahan kulit kerbau bergambar Bhima melawan Ular Naga di tengah Samudera. Para petani tersebut berasal dari Desa Parang Joro, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukohardjo yang terletak di sebelah kanan Bengawan Solo dan berseberangan sungai dengan Kota Satelit Solo Baru.

Dalam perjalanan pulang, kami merenung lama……. bahwa barang seni dari kulit kerbau tersebut pada suatu saat akan menjadi barang seni yang langka. Fungsi kerbau sudah digantikan traktor mesin. Pada tahun lima-puluhan yang lalu para petani mengolah sawah dengan kerbau dan dibantu para pekerja menggunakan cangkul. Para petani zaman dahulu berjasa memberi lapangan kerja bagi beberapa orang yang relatif lebih miskin dari mereka. Zaman telah berubah, para petani kini sudah kesulitan mencari tenaga kerja di bidang pertanian dan para petani memberikan pekerjaan kepada mereka yang relatif lebih kaya yaitu mereka yang mengusahakan traktor mesin. Pada saat ini, sudah sedikit petani yang beternak kerbau. Para peternak kerbau kalah bersaing dengan perusahaan penggemukan sapi. Dan, pada suatu saat nanti, kerbau hanya dapat dilihat pada lukisan antik yang menggambarkan anak gembala bercaping yang naik punggung kerbau sambil meniup seruling. Zaman selalu berubah, dan anak gembala berseruling hanya berada dalam cerita belaka.

Cerita perjalanan manusia dalam menemukan Tuhannya

Perjalanan manusia menemukan Tuhannya digambarkan seperti perjalanan Bhima, ksatria Pandawa menemukan jatidirinya. Sebelum bertemu dengan Dewaruci yang merupakan gambaran jatidirinya, Bhima dalam samudera kehidupan harus mengalahkan naga ganas keduniawian yang membelitnya dengan erat. Dengan kesungguhan hatinya, Sang Naga dapat dikalahkan dengan Kuku Pancanaka. Kuku terkait makna ‘kukuh’, teguh dan kuat keyakinan, panca berarti lima dan naka berarti emas. Kuku Pancanaka diartikan sebagai kekuatan pribadi yang mampu mengendalikan panca indera. Kuku Pancanaka ini adalah pusaka untuk mengalahkan musuh yang berada dalam diri manusia, dengan menggenggam seluruh jari di kedua tangan erat-erat, Bhima dapat mengendalikan kelima inderanya.

Bhima sangat dihormati masyarakat Nusantara, Arca Kunto Bimo bahkan ditempatkan di Candi Borobudur, sebagai tanda bahwa raja pembangun Candi Borobudur yang beragama Buddha pun menghormati Bhima, Sang Idola. Arca Kunto Bimo digambarkan dengan Bhima yang duduk bersila dengan sikap tangan dharmacakramudra. Ini isyarat pergerakan roda dharma. Bhima dalam perjalanan spiritualnya di Samudera Kehidupan menemukan jatidirinya setelah bertemu Dewaruci yang lidahnya berujud ‘Acyntia’, ‘Yang Tak Dapat Diserupakan’, dan kemudian diri Bhima diabadikan dalam stupa dan digambarkan telah mencapai ke-Buddha-an.

Para leluhur paham bahwa pikiran mempunyai keterbatasan, sehingga cerita-cerita para leluhur selalu berada di luar logika untuk menyentuh rasa, intuisi dan bahkan rasa terhalus yang tak dapat digambarkan, yang bahkan melampaui kesadaran fisik, mental dan intelegensia. Sesungguhnya para leluhur berusaha membebaskan kita dari mind. Cerita yang logis hanya mengembangkan belahan otak kiri saja. Menurut para leluhur semestinya agama bukan diartikan terbatas sebagai pedoman ‘mind’. Setelah terbebas dari belenggu ‘mind’, maka sebuah perjalanan spiritualitas akan dapat diterima oleh berbagai keyakinan. Membebaskan diri dari ‘mind’  tidak merupakan kemerosotan. Tidak bertentangan dengan Hukum Evolusi. Justru mengantar manusia ke tingkatan  berikutnya.

Dalam buku SHAMBALA, Fajar Pencerahan di Lembah Kesadaran, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000, disebutkan bahwa: “Sekian banyak jalan menuju Kota Kulu. Ada jalan dari Shimla, ada juga dari Dharamsala dan masih banyak jalan yang lain. Tetapi, dari Kulu ke Manali – hanya ada satu jalan. Jalan menuju Kulu yang sekian banyak jumlahnya  itu mewakili ‘thought’, satuan pikiran. Jalan dari Kulu ke Manali, yang satu adanya itu mewakili ‘mind’, pikiran yang sudah mengkristal. Tetapi, begitu sampai di Manali, jalan itu pun harus dilepaskan. Kegunaan jalan itu pun harus dilepaskan. Kegunaan jalan hanya sebatas sampai mengantar kita ke Manali. Kegunaan ‘mind’ hanya sampai kita ‘menjadi’ sadar. Dan sesungguhnya, untuk ‘mencapai’ kesadaran, ‘mind’ harus dilampaui, sebagaimana kita melampaui perjalanan dari Kulu sampai Manali.”

Para leluhur kita memberikan pedoman bahwa seorang kesatria seperti Bhima dapat mencapai tingkat spiritual yang tinggi. Demikian pula seorang Raja seperti Sutasoma, bahkan Bhagawan Abiyasa, putera dari ibu yang ‘bakul iwak’, nelayan pun juga dapat mencapai tingkat spiritual yang sangat tinggi. Bathara Narada pun juga merupakan putra dari ibu yang berperan sebagai pembantu rumah tangga yang lahir dari hasil ‘lembu peteng’, hubungan gelap. Kita dapat menarik pelajaran bahwa setiap orang dapat mencapai tingkat spiritualitas yang tinggi dari manapun asalnya. Bukankah, Kanjeng Nabi Muhammad tadinya seorang pedagang yang buta huruf, Gusti Yesus adalah putra seorang tukang kayu, Prabu Kresna pun pernah menjadi penggembala, Siddharta Gautama putra seorang raja, demikian juga Kanjeng Nabi Musa yang menjadi putra angkat Maharaja Firaun. Mereka semua bukan hanya cerdas dalam ‘mind’, tetapi mereka telah berada pada kecerdasan Ilahi yang melampaui ‘mind’ .

Pedoman yang berlaku dalam segala zaman

Sesungguhnya pesan yang disampaikan kepada umat manusia selalu merupakan pengulangan. Beda skenario, beda ‘setting’ panggung, akan tetapi pakem cerita yang sama selalu diulang. Dalam buku MAWAR MISTIK, Ulasan Injil Maria Magdalena, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2007 disebutkan bahwa: Pesan yang sama telah disampaikan kepada umat manusia berulang kali. Setiap kali kita lupa, datanglah seorang Rasul untuk mengingatkan. Apakah kau tidak pernah membaca Sang Pengkhotbah, Raja Salomo yang bijak dalam Pengkhotbah 1:9 : ”Apa yang pernah ada (di masa lalu) akan ada lagi (di masa mendatang). Apa yang pernah terjadi; sesungguhnya tiada sesuatu yang baru di bawah langit.”

Para Leluhur kita amat bijaksana, baik dalam Suluk Bhima Suci, Serat Sutasoma, maupun buku-buku lainnya, mereka berbicara tentang spiritualitas, di sana-sini mengacu kepada jalan para sufi, jalan para ‘sanyasin’, maupun jalan para ‘samana’, akan tetapi masyarakat dengan berbagai agama dapat menerima berdasar berbagai keyakinannya.  Dengan bercerita para leluhur memberikan pedoman dan bukan memberikan peraturan.

Demikian pula, perilaku Gusti Yesus dapat menjadi pedoman bagi kita. Perilaku Kanjeng Nabi Muhammad dapat menjadi pedoman bagi kita. Perilaku Yang Mulia Siddharta Gautama, Paduka Sri Krishna, dan Suhu Suci Lao Tze dapat dijadikan pedoman. “Pedoman” berarti “reference”, acuan. Ada kalanya kita tidak dapat mengikuti mereka kata per kata. Kita hidup dalam zaman yang berbeda. Tuntutan zaman kita barangkali lain, beda dari tuntutan zaman mereka. Kendati demikian, apa yang mereka lakukan dapat menjadi referensi atau pedoman bagi kita.

Pedoman bukan peraturan. Pedoman bersifat universal, peraturan bersifat spesifik. Pedoman berlaku sepanjang zaman. Peraturan berubah dari zaman ke zaman. “Kejujuran” adalah sebuah pedoman. Dan, kejujuran tidak dapat dijadikan peraturan. Kita dapat membuat peraturan untuk mengatur tindakan yang tidak jujur. Kita dapat melarang penipuan dan penyelewengan. Dengan cara itu kita boleh berharap supaya setiap orang berperilaku jujur, namun kenyataannya apa? Fakta di lapangan menunjukkan bahwa peraturan, undang-undang, dogma, dan doktrin tidak dapat “menjujurkan” jiwa manusia. Bagaikan benih, kejujuran harus ditanam dan dikembangkan dalam diri manusia. Ia tidak dapat dijadikan peraturan, kemudian dimasukkan secara paksa ke dalam diri manusia. MAWAR MISTIK, Ulasan Injil Maria Magdalena, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2007 halaman 63.

Spiritualitas

Para leluhur menasehati kita untuk tidak terikat oleh hukum dan larangan semata. Tidak berarti para leluhur menasehati kita untuk melanggar hukum dan peraturan. Mereka menasehati kita agar kita menjadi sadar. Agar kita berbuat baik bukan karena takut dihukum jika berbuat tidak baik, tetapi berbuat baik karena kita memang baik; karena kebaikan telah menjadi sifat kita. Para leluhur sungguh sangat berani dan sangat progresif. Mereka telah meletakkan dasar bagi spiritualitas; spiritualitas yang membebaskan, tidak membelenggu; spiritualitas yang menyadarkan, tidak mengatur-atur. Spiritualitas yang selalu berkembang , tidak pernah layu. Spiritualitas yang dapat diterima oleh semua agama.

Guru selalu mengingatkan semua muridnya, “Kamu hanyalah sebuah alat di tangan Keberadaan. Jadilah alat yang efektif, yang efisien. Yang sedang bekerja, sesungguhnya adalah tangan Dia, tangan Allah, Tangan Tuhan. Kamu cukup membuat dirimu lentur. Jangan menjadi keras dan kaku. Selanjutnya, Dia yang menentukan kamu digunakan menjadi apa.”

Terima Kasih Guru, semua berkat rahmatmu.

 

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

Mei 2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone