Suatu hari di suatu Desa di Wonosobo
Pada Minggu ketiga Mei tahun 2009, kami bersama rombongan dari Provinsi Jawa Tengah datang ke Desa Sukoharjo, Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Wonosobo untuk bertemu dengan perkumpulan petani pemakai air setempat. Di pendopo terbuka kecamatan, kami disuguhi tarian Gambyong, dan Panembromo dari para wanita tani. Selanjutnya kami diminta melihat pameran hasil pertanian dan perikanan dari petani setempat. Teman-teman mengadakan wawancara dengan beberapa pengurus di tempat pertemuan petani yang berada sekitar 50 m di sebelah kanan pendopo. Sedangkan masyarakat dihibur tari kuda lumping oleh anak-anak dan remaja di lapangan terbuka sekitar 100 m di depan pendopo. Ribuan orang hadir menyaksikan tontonan di lapangan dan mereka yang sudah tua dihibur campur-sari di depan pendopo. Ketika waktu menjelang pukul 15.00 seorang teman berkomentar, seharusnya mereka capai dan lelah tetapi tubuh mereka tetap segar seakan mendapatkan energi luar biasa dari alam sekitar. Kecamatan Sukoharjo memang sebuah tempat yang indah dan sejuk di ketinggian sekitar 1.500 m dari permukaan laut. Setiap tahun setiap dusun melakukan ritual “Merdi Dusun” untuk menghormati alam semesta. Dari tempat pertemuan petani kelihatan daerah tersebut dikelilingi pegunungan yang tinggi. Di kanan kantor ada kolam ikan lele dan ikan patin. Di depan ada saluran irigasi dan sawah yang luas. Sedangkan dikiri kantor terdapat kebun hortikultura dengan tomat dan terong ungu. Rakyat yang makmur, yang penerimaan pendapatan daerah dari kecamatannya merupakan yang tertinggi di Wonosobo. Setiap hari sekitar 5 truk mengambil “salak nglumut” dari wilayah tersebut. Sudah ada pergeseran, kalau tadinya di Wonosobo, daerah tembakau yang jaya, kemudian bergeser ke daerah kentang, maka kini daerah salak berganti bertengger di atas. Desa Sukoharjo merupakan gambaran dari sebuah desa yang damai tetapi dinamis. Malam harinya kami membuka arsip di laptop dan mencoba menjawab keingin-tahuan mengapa teman-teman begitu energik selama berada di tempat tersebut.
Bangunan pendopo joglo terbuka warisan kebudayaan para leluhur
Catatan yang kami ambil sebagai rujukan adalah dari buku FEAR MANAGEMENT, Mengelola Ketakutan, Memacu Evolusi Diri, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2007. Disebutkan bahwa Lapisan kedua dalam Kepribadian Manusia adalah Lapisan Energi, yang dalam bahasa kuno disebut Praanamayakosha. Kadang Praana dikatikan dengan napas, padahal yang dimaksud adalah “life force”, kekuatan yang menggerakkan tubuh kita, yang memberi kita kemampuan untuk berpikir dan berperasaan. Pada lapisan ini terjadi pertemuan antara raga dan rasa manusia, antara badan dan pikiran. Agar tidak terjadi kesalahan pandangan dari kami, berikut kami meng-‘quote’ dari alinea-alinea buku tersebut.
Lapisan energi di dalam tubuh kita memperoleh suplai energi dari alam sekitar kita. Energi itu tidak diperoleh lewat kedua lubang hidung dan mulut saja. Sesungguhnya kita bernapas lewat setiap pori-pori pada lapisan kulit teratas. Kita memperoleh energi lewat kedua mata kita, kedua telinga, lewat setiap lubang, setiap pembukaan yang ada pada tubuh kita. Lewat lubang-lubang kecil dan besar itu, kita senantiasa berinteraksi dengan Alam Semesta.
Sementara ini, mata kita lebih banyak memboroskan energi. Perolehan energi lewat mata tidak seberapa. Kita sangat tergantung pada perolehan lewat kedua lubang hidung, mulut, dan pori-pori. Karena itu, banyak di antara kita yang mengalami gangguan pada saluran pernapasan. Energi yang kita peroleh tidak sesuai dengan kebutuhan kita. Terjadinya short-supply of energy ini menciptakan rasa takut dalam diri kita. Karena kekurangan energi, kita merasa terancam, lalu kita berusaha untuk “menarik” energi secara paksa. Seorang laki-laki bermata jelalatan, sesungguhnya sedang “menarik” energi. Seorang perempuan centil yang sedang menarik perhatian pun sesungguhnya sedang menarik energi. Orang yang berpoligami atau berpoliandri sedang menarik energi. Menambah jumlah istri, suami, atau simpanan, selir, pacar, semuanya adalah upaya untuk menarik energi.
Defisiensi atau kekurangan energi juga membuat kita takut dengan tempat-tempat yang sempit. Kita tidak bisa tinggal dalam rumah yang sempit dan kecil tanpa halaman. Dinding-dinding yang ada terasa mencekik. Banyak orang-orang yang tinggal di kota-kota besar mengalami defisiensi energi, dan defisiensi itu sedemikian parahnya sehingga tidak terdeteksi sama sekali. Kemudian mereka mencari penyelesaian lewat tarik-menarik energi.
Dapat dimengerti teman-teman yang tinggal di Kota Semarang sebenarnya merasa tertekan dan begitu berbahagia berada di pendopo terbuka yang menyatu dengan alam yang asri. Keterbukaan itu selaras dengan alam. Pertemuan di tempat yang terbuka dapat dilihat dan didengar langsung masyarakat, membuat masyarakat tidak merasa ditinggalkan. Kalau kita melihat rumah kuno peninggalan para leluhur, didalam rumah pun hampir tak ada sekat tertutup. Hanya ‘sentong’ disebelah kiri rumah tempat gudang makanan yang tertutup. Tamu keluarga pun hanya dibatasi ‘rono’, skelsel pembatas setinggi orang dengan ruang dalam. Hubungan dengan anak-anak terbuka, mereka tak bisa menyembunyikan ‘video dan buku saru’ di biliknya. Batas kamar mereka hanya gebyog kayu. Apabila anak sudah berkeluarga mereka akan mendirikan rumah sendiri. Hubungan antara anggota keluarga aktif dan dinamis tetapi tetap memunculkan suasana kedamaian.
Lokasi yang damai di pegunungan dapat dimengerti. Udara yang panas dan lembab membuat manusia malas. Pepohonan tua yang rindang bukan hanya memberikan pasokan oksigen yang berlimpah, tetapi energi nya terasa meresap ke dalam tubuh. Suara knalpot, asap dan debu serta suasana ketergesaan tanpa terasa mencekik emosi manusia. Bagi yang paham, sebetulnya tembok-tembok, dinding-dinding dalam rumah itu tidak memenjarakan mereka. Adalah emosi mereka sendiri yang memenjarakan mereka – emosi yang mengakibatkan depresi, stres dan merampas semangat mereka, rasa percaya diri mereka. ‘Praanayaama’ atau latihan-latihan pernapasan dari tradisi Yoga adalah solusi yang paling efektif dan cepat. Namun latihan-latihan tersebut perlu dilakukan secara terartur setiap hari, walau untuk 10 menit saja.
Tarian spiritual warisan para leluhur
Melalui bahasa tubuh atau gerak, seni tari merupakan media komunikasi. Tari menjadi simbol pencerahan. Melalui perayaan ritual maupun hiburan, di dalamnya terkandung spirit akan identitas yang merupakan perwujudan dari suatu filosofi, nilai dan bentukan sejarah, serta tradisi dan budaya tertentu. Seni tari merupakan salah satu wahana ekspresi, sebuah proses harmonisasi tubuh dan pikiran melalui gerakan. Tari sering disebut juga ”beksa”, berarti “ambeg” dan “esa”, kata tersebut mempunyai pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu tujuan, yaitu menyatu jiwanya dengan pengungkapan wujud gerak yang selaras. Seni tari mengalami kejayaan pada kerajaan Kediri, Singosari, Majapahit dan khususnya pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk.
Tari Gambyong sebenarnya bersumber dari tari Srimpi. Tari Srimpi ditarikan oleh empat penari putri yang melambangkan : air, api, angin dan tanah, yang merupakan empat unsur alami, diluar unsur alami yang kelima yaitu ruang. Sebenarnya benda apa pun di muka bumi ini selalu terdiri campuran dari kombinasi lima unsur alami tersebut.
Kerajaan Majapahit yang berjaya di dunia fisik, memerlukan tarian penuh perasaan untuk melembutkan rasa dalam mendekatkan diri kepada Gusti Yang Maha Kuasa. Kita dapat belajar dari tarian yang ada di pulau Bali pada saat ini. Setelah Kerajaan Majapahit terdesak dari pulau Jawa, para leluhur di Bali menciptakan tarian yang lebih dinamis, agar masyarakat kembali bersemangat. Demikian juga sesajian di Bali termasuk rumit, agar masyarakat lebih dinamis, dan pada saat ini sudah nampak kedinamisan Bali. Kami memang lebih menyukai tempat-tempat yang masih asli di Bali, yang damai tetapi bergerak dinamis.
Gamelan dan spiritualitas
Di dalam tubuh manusia terdapat irama yang harmonis, seperti halnya alam semesta yang juga berirama. Nada-nada alam semesta yang tertangkap oleh kepekaan rasa diungkapkan menjadi nada-nada Gamelan. Lewat nada-nada musik tersebut manusia melakukan pemujaan dan perenungan spiritual. Nada-nada musik bukan sekedar seni, tetapi merupakan bahasa jiwa, spirit kehidupan, musik Sang Maha Pencipta, bahasa pertama yang menjadi asal muasal kehidupan. Sebagai media dan bentuk komunikasi universal, nada-nada musik melewati bahasa verbal, diterima indera pendengaran, diteruskan ke hati, pusat rasa. Karena Rasa itulah, maka nada-nada musik melewati batas-batas etnis, agama, komunitas dan negara.
Dalam buku, “Gamelan Stories: Tantrism, Islam, and Aesthetics in Central Java”, Judith Becker menemukan bahwa pada zaman pertengahan, di Indonesia, elemen Gamelan digunakan sebagai pemujaan kedalam dan keluar diri. Dia mengutip Sastrapustaka yang mengungkapkan makna esoteris nada-nada Gamelan yang berhubungan dengan chakra, panca indera dan rasa. Musik Gamelan sebagai yantra, alat, dapat membantu tahapan meditasi sebelum mencapai keadaan samadhi. Lewat musik tersebut orang bisa melakukan penjernihan pikir, pembeningan hati dan pemurnian jiwa sehingga muncul penyembuhan psikologis.
Dr. Masaru Emoto membuktikan bahwa musik dapat mempengaruhi air, sehingga musik yang indah akan membuat air membentuk kristal hexagonal yang indah. Memahami bahwa baik manusia, hewan dan tanaman mengandung air, maka suara musik akan mempengaruhi semua makhluk hidup. Organ-organ manusia mempunyai getaran dengan berbagai frekuensi. Walau frekuensi yang dapat didengar manusia berkisar 20 Hz-20 KHz, frekuensi suara berbagai alat gamelan sangat bervariasi dan memungkinkan terjadinya frekuensi yang sama dengan organ tubuh. Bila getaran suara Gamelan mempunyai frekuensi yang sama dengan suatu organ tubuh yang lemah, maka resonansi yang terjadi dapat memperkuat dan menyembuhkan organ yang bersangkutan. Musik yang harmonis juga akan mebuat sapi merasa tenang dan mempengaruhi sistem kelenjar yang berhubungan dengan susu. Selanjutnya, getaran frekuensi tinggi dari Gamelan akan merangsang ‘stomata’ tanaman untuk tetap terbuka, meningkatkan proses pertumbuhan. Bunga-bunga yang beraneka warna pada umumnya mempunyai panjang gelombang sama seperti panjang gelombang warnanya. Suara alat-alat musik yang bervariasi panjang gelombangnya dapat mempengaruhi organ yang sama panjang gelombangnya. Sebuah musik yang damai tetapi tetap dinamis.
Dalam suatu pergelaran Gamelan, beragam alat dengan beragam nada mempunyai peranan yang sama, asalkan semuanya mengikuti satu irama kesepakatan, sehingga dapat menciptakan komposisi yang indah dan harmonis. Suatu pengimplementasian dari falsafah Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu kesatuan jua.
Kedamaian yang dinamis
Seorang sahabat kami mengutarakan mengapa kita tidak belajar dari dinamisnya sebuah pesawat. Penumpang merasa damai dan sebagian terlelap, padahal mesin turbo bergerak amat kencang. Bumi yang nampak tenang pun sebetulnya bergerak dan berputar pada porosnya. Seekor induk ayam pun menunggu 21 hari agar telurnya menetas, dia tidak mematuk telornya agar anaknya cepat lahir. Bergerak selaras alam dan tidak tergesa-gesa membuat kedamaian. Dan para leluhur memahami semuanya.
Terima Kasih Guru. Semua berkat rahmat-Mu.
http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
Mei 2009.