Pendidikan anak dan Guru yang mulia
Kekalahan dalam perang dunia kedua memporak-porandakan Jepang. Banyak petinggi negara yang melakukan harakiri. Mereka malu…. Kekalahan itu sangat memalukan bagi mereka. Pemerintah Jepang harus melakukan inventarisasi aset dan sumber daya yang mereka miliki. Kaisar Jepang pada waktu itu hanya berpikir, “Berapa Guru yang masih kita miliki?” demikianlah cara berpikir seorang negarawan. Kekurangan sumber daya manusia hanya bisa dipenuhi oleh para Guru. Tanpa Guru – masyarakat dan seluruh tatanan kemasyarakatan akan hancur lebur.
Selanjutnya, seorang guru membantu pembentukan “kepribadian” manusia. Dan khususnya Guru TK, Guru SD, Guru SLTP dan Guru SMA. Mereka meletakkan fondasi bagi pembangunan kepribadian manusia. Tahun-tahun awal dalam kehidupan anak manusia hingga usia 12, amat sangat penting. Saat itu, daya serap otaknya sangat tinggi. Watak manusia dibentuk pada usia itu.
Catatan Mohammed Abbasi Pakistan
Seorang Sahabat di facebook, menulis dan catatannya mendirikan bulu roma, dan kami terjemahkan secara bebas seperti tersebut di bawah.
Ambil seorang anak lelaki kecil dan penjarakan dia di madrasah terpencil. Jauhkan dia dari dunia dan halangi dia agar tidak berinteraksi dengan manusia. Doktrin dia dengan agama versi yang menyimpang dan ceritakan bahwa dia bukan milik dunia. Ajari dia tentang dunia indah yang menunggunya di surga, dan bahwa dalam rangka mencapai surga dia harus memusnahkan semua hal yang menghalanginya, termasuk tubuh miliknya.
Pada saat dia berusia enam belas, anak ini telah menjadi lebah jantan: pria yang bukan manusia. selain remaja segar, kami punya robot di urat nadi masyarakat yang siap meledakkan diri atas pesanan khusus.
Berkembang pesat di Pakistan, ini adalah eksperimen menakutkan dalam pencucian otak dan setaraf apabila tidak lebih buruk daripada perbaikan keturunan versi Nazi Jerman. Mereka berbuat atas nama ilmu pengetahuan; dan di sini, dilakukan atas nama Tuhan dan Agama. Dalam skala yang sangat besar, keberhasilan eksperimen yang luar biasa ini mempertahankan kemenangan secara alami.
“Beri saya anak lelaki usia tujuh tahun, dan saya akan memperlihatkan padamu manusia tersebut setelah dewasa,” ujar kaum Jesuit zaman dulu.
Mungkin sangat sinis, kata-kata kaum Jesuit tersebut, akan tetapi, faktanya tidak ada orang yang lebih memahami kerentanan otak anak kecil selain para pendeta. Di satu pihak, kita menyaksikan kewaspadaan orang tua kala guru datang ke rumah mengajar kitab suci kepada anak-anak mereka; dan di pihak lain ada orang-orang tua dari masyarakat yang sama yang memberikan anaknya ke madrasah yang dikelola pengajar sebelum anaknya berusia tujuh tahun, bahkan sampai mencapai usia 14 atau 15 atau selamanya.
Anak-anak kami menghadapi ketakutan masa depan bukan karena Taliban ( mereka sangat sedikit) tetapi karena gelombang agama ultra konservatif yang telah melanda negara ini. Madrasah-madrasah terpencil mungkin mengubah anak-anak lelaki menjadi lebah jantan. Tetapi kemudian ada ribuan madrasah di seluruh pedesaan Pakistan yang memproduksi lebah-lebah baru yang mungkin tidak akan menjadi pelaku bom bunuh diri tetapi tidak selaras dengan kehidupan dunia. Anak-anak ini perlu diselamatkan.
Kondisi di Indonesia saat ini
Sebuah buku,”ILUSI NEGARA ISLAM” Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, dengan Editor Abdurrahman Wahid, Prolog dari Profesor Dr. Ahmad Syafii Maarif, dan Epilog dari KH.A. Mustofa Bisri, LibForAll Foundation 2009, telah mengingatkan kita. Segala kemuliaan atas diri mereka dan timnya, dimana saat para kolega mereka memikirkan pucuk jabatan di negara kita, membentuk berbagai koalisi bagi pilpres, mereka malah mendukung buku yang mencerahkan bangsa. Buku yang harus dibaca Presiden dan Wakil Presiden terpilih.
Sebuah buku yang mendirikan bulu roma dan memicu kesadaran warga negara Indonesia. Selama ini kita terlalu egois, terlalu nyaman dengan “comfort-zone”, padahal “comfort” dalam panci yang sedang direbus, amat berbahaya. Buku tersebut mengingatkan kita semua ibarat kodok rebus, yang terlena kehangatan, dan kalau tidak segera sadar tubuh kita akan mengelupas dan menemui ajal.
Sebuah buku “Tuanku Rao” juga mengungkapkan bahayanya Tuanku Lelo seorang ultra konservatif di Minangkabau yang mengobrak-abrik masyarakat yang sudah merasa nyaman dan melalaikan bahaya yang mengancamnya, yang justru bukan dari musuhnya yang berbeda agama, tetapi dari musuh dalam selimutnya.
Dalam buku Ilusi Negara Islam diberikan contoh nyata tentang seorang murid kelas 4 SD di Bekasi menyebut orang tuanya kafir, ketika mereka masih melihat tivi saat kumandang azan terdengar lewat loudspeaker mesjid. Seorang siswi SMP di Tangerang juga menuding ibunya akan masuk neraka karena tidak memakai jilbab.
Pandangan seseorang terhadap Kebenaran sebenarnya dipengaruhi oleh sifat genetik warisan orang tua, pendidikan orang tua dan sekolah serta pengalaman lingkungan. Berbeda lingkungan, berbeda pendidikan akan membentuk pandangan tentang Kebenaran yang berbeda pula. Ketika orang tua memasukkan anak-anaknya dalam usia dini ke sekolah dengan basis agama tertentu sebenarnya mereka telah mulai membentuk pribadi anaknya. Dan itu telah dimulai setelah terjadinya G-30-S PKI, dimana orang tua takut dicap komunis. Anak-anak saat itu sekarang ini telah berumur empat puluhan dan mereka menganggap umat lain salah, dan tidak pernah menganggap pendidikan mereka yang salah.
Muhammadiyah dan NU sudah cocok dengan pribadi bangsa kita. Kita harus mengajak dan mengilhami masyarakat agar rendah hati, terbuka dan bisa memahami esensi ajaran Islam, dan menjadi jiwa-jiwa yang tenang. Anak-anak kita telah diajari menjadi gelisah oleh kelompok garis keras bahkan mendidik mereka untuk tidak menghormati NKRI dan Pancasila. Ketika orang tua dan pemimpin-pemimpin tua sudah tiada, merekalah yang akan menjadi pemimpin bangsa. Jangan jadikan anak-anak kita menjadi pemimpin yang beringas.
Prof. Dr. Syafii Maarif sangat bijaksana ketika berpendapat bahwa Pemerintah harus mengintervensi perda-perda syariah yang diskriminatif. Karena UUD 45 menjamin kebebasan beragama. Jika syariah betul-betul diterapkan maka tidak hanya terjadi perpecahan antara muslim dan non-muslim tetapi juga antar umat Islam sendiri. Perda syariah akan memicu Perda Injili di Papua dan Perda Hindu di Bali.
Menurut KH Mustofa Bisri, buku itu memberi peringatan tentang bahaya tersembunyi dan usaha mengubah negara Indonesia menjadi negara agama. Hal ini tidak hanya membahayakan bangsa Indonesia tetapi terhadap Islam sendiri. Negara agama akan mereduksi kekayaan budaya dan kebebasan beragama. Sedangkan bagi mulim, perubahan ini berarti penyempitan, pembatasan dan hilangnya kesempatan untuk menafsirkan pesan-pesan agama sesuai dengan kontak sosial dan budaya Indonesia.
Mengapa Indonesia tidak belajar dari negeri Pakistan? Generasi muda mereka menghadapi ketakutan masa depan bukan karena Taliban yang jumlahnya sangat sedikit, tetapi karena gelombang agama ultra konservatif yang telah melanda negara itu. Ada alasan untuk itu: dalam hal keyakinan atau kepercayaan agama, tak seorang pun berani menentangnya.
Seorang teman dari Pakistan mengatakan: Segala macam perbuatan jahat, ilegal, atau tindakan tak manusiawi dapat diberikan sanksi apabila agama atau sekte tertentu membuktikan bahwa itu bukan bagian dari iman. Akan tetapi, kamu dapat sekarat di rumah sakit tanpa tak seorang pun memberimu obat penenang narkotika. Sebaliknya, kamu dapat menggunakan zat itu apabila itu menjadi bagian dari iman kamu. Majelis Ulama mereka mengatakan hal itu dan mahkamah Agung mereka telah mensahkan hal itu.
Zaman Edan dari Pujangga Ronggowarsito
Pujangga Ronggowarsito dalam Serat kalatidha, bait 7 menyatakan: Amenangi jaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun, dilalah kersaning Allah, begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling sabar lan waspodo.
Menurut kami pribadi, Zaman Edan adalah pem aknaan dari Surat Al Ashri yang sesuai dengan kondisi masyarakat kita. Dalam surat Al Ashri, dinyatakan bahwa setiap waktu manusia selalu berada dalam kerugian, kecuali mereka yang beramal sholeh, saling nasehat menasehati dalam kebenaran dan saling nasehat menasehati dalam kesabaran. Ini adalah suatu anjuran agar tidak merugi, manusia harus membuat persaudaraan, support-group, komunitas yang terdiri dari mereka yang beramal sholeh untuk memelihara kesadaran. Dan pemaknaan para Pujangga kita seperti ini akan dihapuskan oleh kelompok ultra konservatif.
Kaum ultra konservatif juga membuat komunitas, akan tetapi apakah mereka termasuk yang beramal sholeh? Bagi siapa? Bagi Gusti Allah Yang Maha Pengasih dan penyayang?
Semoga bangsa Indonesia cepat sadar. Terima Kasih Guru.
http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
Mei 2009.