June 7, 2009

Dhruva, Tekad Pengabdian Seorang Anak

Apa yang akan kamu korbankan untuk dapat memenuhi keinginan hatimu?” “Hidupku sendiri! jawabnya.Hidup begitu remeh dan merupakan hal yang paling tidak penting yang bisa dikorbankan    setiap orang!” “Apa lagi yang kumiliki? Apa lagi yang dapat aku berikan?” “Pengabdian, sahabatku! Pengabdian! suara dari atas memberi jawaban. (BANKIM CHANDRA CHATTERJI dalam ANANDAMATH).

Terluka oleh Ucapan Sang Ibu Tiri

Uttanapada mempunyai dua isteri Suniti dan Suruchi. Suniti mempunyai putra bernama Dhruva dan Suruchi mempunyai putra bernama Uttama. Suruchi yang cantik jelita, sangat disayangi raja. Saat itu, Sang Raja main di kebun dan sedang menimang Uttama di pangkuannya. Dhruva ingin duduk di pangkuan Sang Ayahanda juga. Suruchi menyeret Dhruva menjauh dari Sang Raja dan berkata. “Kau putra raja tetapi bukan putraku. Kemalanganmu adalah kau putra perempuan lain. Berdoalah agar didalam kelahiran kembali kau menjadi putra Suruchi.”

Raja diam, karena cintanya pada Suruchi. Terluka, Dhruva sang anak yang baru berusia lima tahun pergi. Ibu kandungnya memberi nasehat: “Manakala orang mengharapkan sakit seseorang, penyakit akan mengunjungi yang menginginkan. Jangan berpikir menyakiti orang lain. Jangan marah terhadap ibu tirimu. Berdoalah pada Tuhan. Ambillah perlindungan di kaki Tuhan!” Dhruva percaya ibunya. Apa yang bunda katakan baik baginya.

Narada mengingatkan Vyasa, sang penyelam mutiara-mutiara kebijakan Mahabharata yang telah membawa banyak mutiara ke depan hidung manusia, bahwa Vyasa tak akan puas menulis sebelum mempersembahkan karya tentang kasih. Kebijakan tanpa kasih belum bermakna. Dan atas petunjuk Narada, Vyasa kemudian menulis Srimad Bhagavatam sebagai ungkapan kasih. Kisah Dhruva merupakan salah satu cerita dalam buku tersebut. Bagi yang mengharapkan cerita asli silakan mencari di internet, karena kali ini cerita tersebut dilihat memakai “kacamata kasih” pemberian Guru.

 

Ketidakterikatan dan anak-anak kecil

Buku ISA Hidup dan Ajaran Sang Masiha, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2005 mengetengahkan:

Yesus memberikan ciri-ciri seorang pengikut. Jika Anda belum “pas” dengan ciri-ciri tersebut, jangan menganggap diri Anda seorang pengikut.. Seperti anak kecil yang hidup di atas lahan milik orang lain. Pertama, seorang pengikut harus berjiwa tulus, berhati polos—seperti seorang anak kecil. Kedua, ia harus sadar bahwa dunia ini bukan miliknya. Berarti, ia tidak terikat dengan dunia benda. Apakah Anda polos, tulus, lugu seperti seorang anak kecil? Apakah Anda tidak terikat dengan dunia benda? Jika ya, sungguh, Anda seorang pengikut Yesus. Begitu tidak terikatnya dengan dunia benda, sehingga siap untuk meninggalkannya kapan saja—itulah ciri ketiga seorang pengikut. Siap menghadapi kematian raga kapan saja. Siapkah Anda?

Kemudian Gusti Yesus, Sang Pembawa Kasih, menyampaikan: Lima pohon yang Anda miliki di dunia ini adalah lima indera Anda. Kadang membuat Anda senang, kadang susah. Mereka mengalami pasang surut. Buah yang Anda peroleh dari kelima pohon tersebut tergantung pada musim. Lalu, pada suatu ketika pohon-pohon itu akan rontok dan tidak berbuah lagi, tidak berkembang lagi. Pohon-pohon panca indera bisa mati. Mata menua lebih cepat, dan penglihatan Anda terganggu. Telinga menua, dan pendengaran Anda terganggu. Begitu pula dengan indera penciuman, sentuhan dan rasa.

Tetapi lima pohon yang Anda miliki di surga berbuah terus. Tidak kenal musim dan tidak pernah rontok. Apabila Anda memilikinya, Anda tidak akan pernah mengalami kematian lagi. Pohon pertama adalah pohon kesadaran; pohon kedua adalah pohon kesadaran; pohon ketiga adalah pohon kesadaran; pohon keempat adalah pohon kesadaran; pohon kelima adalah pohon kesadaran. Kesadaran yang melampaui penglihatan. Kesadaran yang melampaui pendengaran. Kesadaran yang melampaui penciuman. Kesadaran yang melampaui rasa. Kesadaran yang melampaui sentuhan. Apabila Anda melampaui lima pohon indera di dunia, Anda akan memperoleh lima pohon kesadaran di surga.

Dhruva kecil mengembara, dan Narada melihat  bahwa dia sendiri pun pernah mengalami hal demikian dalam mencari Tuhan. Dhruva ksatriya kecil yang terluka oleh kata-kata ibu tirinya. Narada menemui Dhruva: “Kamu anak lima tahun, tempatmu di sisi mainan. Di dalam dunia ini baik dan jahat, memuji dan mencela semua adalah hasil tindakan dari diri sendiri. Jika Rahmat Tuhan bersamamu ketidakbahagiaan tidak akan pernah mendekatimu!” “Tidak mudah menyenangkan Dia. Para resi dan yogi selama bertahun-tahun belum mampu melihat Dia.” Dhruva bersujud: “Terima kasih ‘Guru’ yang menjelaskan rahasia tentang kesenangan dan penderitaan. Dan bagaimana cara tidak terpengaruh. Beri aku pelajaran!”

“Jalan yang diberikan ibumu adalah jalan yang benar. Berdoalah pada-Nya. Tujukan pikiranmu pada-Nya. Dan tetap pada Dia. Pergilah ke Sungai Yamuna. Ke tempat suci Madhuvana. Tujukan pikiranmu pada Tuhan  ‘AUM NAMO BHAGAVATE VASUDEVAYA’, Segala Puji bagi Yang Maha Kuasa. Ini disebut bhakti yoga.” Dan, Narada memberikan gambaran wujud Tuhan. Bahwa manusia tidak dapat melihat-Nya bukan berarti Dia tidak bisa mewujud. Manusia dengan keterbatasan pikirannya terlalu mengecilkan Dia yang tak dapat diserupakan dengan apa pun juga.

Dhruva bukan menyerahkan raga atau kematiannya. Anak kecil tersebut memberikan pengabdian sebisa-bisanya pada usianya. Dhruva mempunyai Icha Shakti, kemauan keras, mempunyai Gyana Shakti, pengetahuan dari Narada, dan mempunyai Kriya Shakti, melaksanakan dalam keseharian, untuk mengabdi pada-Nya. Fokus Dhruva, Kendra dia hanya Tuhan, Ekagrata. Kita jauh dari kelasnya, membayangkan Tuhan sulit. Salah satu cara adalah mengabdi kepada Guru sebagai wujud Ilahi. Fokus kepada Guru, Ekagrata terhadap Guru……. Kadang hati ini menangis pilu………., melaksanakan Ekagrata memang sulit, hanya berkat Rahmat Guru, kita dapat melaksanakannya.

Bulan pertama Dhruva mempertahankan hidup dari buah-buahan dalam hutan, seakan dia ingat pada suatu kehidupan lalu dia pernah hidup hanya dari buah-buahan. Bulan kedua dia menopang dengan makan rumput dan daun-daun kering, seakan dia ingat dia pun pernah mengalami kehidupan hanya dengan makan yang demikian. Bulan ketiga hanya air. Bulan keempat udara. Tapa yang terlalu mengerikan. Ingatan kehidupan masa lalu adalah untuk membuangnya, sehingga manusia bebas dari insting bawaannya. Dhruva tetap bertahan hingga lima bulan. Tuhan berkenan—ia bhakta-Ku.

“Pulanglah Dhruva, ayahmu telah menyesal dan menghormatimu, jadilah raja selama beberapa tahun. Dan sesudah itu Aku memutuskan menempatkanmu sebagai “Bintang Kutub”, Bintang Dhruva yang akan dikelilingi oleh Bintang Tujuh Rishi.

Setelah beberapa tahun memerintah kerajaan, Dhruva pergi: “Aku sudah melihat Tuhan. Dan, setelah beberapa tahun menjadi raja, kembali aku akan menemui Tuhan, Dia yang selalu bersemayam dalam hatiku.”

 

Belajar menjadi Bhakta

Kami cuplik beberapa butir penting dari Buku ISA Hidup dan Ajaran Sang Masiha, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2005 dan Buku Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2001.

Yesus menjawab, “Apabila kamu sanggup menelanjangi diri sendiri dan menginjak-injak pakaianmu, seperti yang dilakukan oleh anak-anak kecil, maka kamu akan melihat-Nya. Dan kamu tidak akan takut lagi.” Jawaban Isa indah sekali. Bolak-balik ia bicara tentang sifat anak-anak kecil. Menelanjangi diri berarti melepaskan atribut-atribut Anda. Menelanjangi diri berarti melepaskan conditioning yang anda peroleh dari masyarakat. Dan hal ini tidak mudah, tidak gampang. Itu sebabnya, Anda tidak pernah bisa bersalaman dengan seorang Yesus. Ia akan melewati Anda, dan Anda tidak akan mengenalinya. Dan bukan hanya melepaskan semua itu. Apabila Anda masih menganggap penting “kedoktoran”, “keprofesoran”, “kecendekiaan”, “kedudukan”, “kekayaan” dan “ketenaran” Anda, Anda belum siap untuk menerima seorang Yesus.

Selama ini kita memisahkan manusia dari Tuhan. Hubungan antara manusia dan Tuhan disebut hubungan vertikal. Kemudian antar manusia disebut hubungan horizontal. Ya, tidak ketemu. Berdasarkan pemilahan itu, lalu muncul anggapan yang sungguh tak masuk akal, “horizontal boleh amburadul, asalkan yang vertikal lurus dan berjalan mulus. Bukankah  Tuhan Maha Pengampun adanya? Dia akan mengampuni kesalahan-kesalahan yang kita lakukan dalam hubungan horizontal?” Narada meniadakan garis vertikal dan horizontal. Dia mengajak kita untuk melihat Tuhan di mana-mana, dan melayani Tuhan yang ada di mana-mana. Lihatlah wajah-Nya di barat dan timur dan utara dan selatan. Rasakan kehadiran-Nya di bumi dan di langit. Temukan kasih-Nya dalam diri manusia dan makhluk-makhluk lainnya….. dalam kehidupan sekitar Anda….. Dan tiba-tiba semua akan hidup. Jangankan pohon-pohon lebat, sungai dan gunung, tiang listrik yang berdiri tegak buatan manusia pun sedang memuliakan Nama-Nya. Semua sedang bergetar. Semua “hidup”. Energi dan materi bukanlah dua hal yang berbeda.

Tuhan bagaikan magnet. Senantiasa siap untuk “menarik” kita. Jiwa kita saja yang karatan, sehingga tidak “ketarik”. Kehadiran para suci di dalam hidup membantu kita membersihkan jiwa. Itu saja. Selanjutnya, tidak perlu mencari Tuhan. Mencari ke mana? Di mana? Dia Maha Dekat dan Maha Hadir Ada-Nya, tidak pernah menghilang. Jiwa yang sudah karatan harus dibakar. Ya, dimasukkan ke dalam api. Tidak ada cara lain untuk membersihkannya. Itu sebabnya proses pembersihan selalu menyakitkan. Bila tidak sakit, berarti karat jiwa kita belum terbakar. Dan bila tidak dibakar, tak akan bersih juga. Jangan harap “pertemuan” dengan para suci menyelesaikan perkara. Tidak. Sebaliknya, pertemuan itu justru membuka perkara. Jiwa kita dibuka, ditelanjangi. Borok-borok kita diperlihatkan. Pertemuan dengan para suci memang sulit. Hanya terjadi bila dikehendaki oleh Allah. Dan yang lebih sulit lagi, bagaimana mempertahankan pertemuan itu. Bagaimana bertahan menghadapi “ulah” para suci. Mereka tidak pandang bulu, tidak pilih kasih. Berusia tua atau muda, kaya atau miskin, berpangkat atau tidak, semua sama. Mau dibakar, ya dibakar. Mau ditelanjangi, ya ditelanjangi.

 

Komunikasi lewat air mata

Para pencinta tidak menggunakan kata-kata. Mereka berkomunikasi lewat air mata. Bila bertemu, bulu roma pun berdiri. Demikian mereka menjadi berkah bagi diri sendiri, bagi keluarga yang melahirkan mereka, dan bagi seluruh dunia. Kita masih bisa berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata, bahkan masih harus menggunakan kata-kata. Kenapa? Karena, pertemuan ini belum sepenuhnya merupakan pertemuan para Bhakta. Seorang pencinta bisa bicara dengan “orang lain”, tetapi bila bertemu dengan “sesama” pencinta, dia tidak bisa bicara lagi. Apa yang mau dibicarakan? Seorang pencinta bisa bicara “tentang” cinta dengan orang yang belum tahu cinta. Mau bicara “tentang” apa dengan orang yang sudah tahu cinta? Dia tidak memiliki daftar “topik pembicaraan”. Dia adalah manusia ber”topik” tunggal – Cinta. Ber-“bahasa” satu – Kasih. Kita masih menggunakan kata-kata, karena belum ber-“topik” tunggal. Belum ber-“bahasa” satu. Bulu roma kita belum berdiri. Air mata pun belum membasahi pipi. Maka berbicara terus, sampai nanti habis stok kata-kata.

Terima Kasih Guru, bimbing kami! Kami mencintaimu!

Semua berkat Rahmatmu Guru.

Jay Gurudev!

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

Juni 2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone