June 19, 2009

Kecintaan Kumbakarna Terhadap Ibu Pertiwi

Semua leluhurku bisa hidup karena dihidupi bumi pertiwi. Makanan, minuman, napas yang kuhirup, pakaian, peralatan, tempat tinggalku dan bahan-bahannya semuanya disediakan oleh bumi pertiwi. Disamping ibu genetikku yang melahirkanku, ibu pertiwilah yang menyediakan segala keperluan hidupku. Sekarang ibu pertiwiku, Ibu leluhurku dijarah orang. Dan, aku tidak rela. Aku akan berjuang demi ibu pertiwiku sampai hembusan nafas yang terakhir. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan mulia untuk berbhakti demi ibu pertiwi. Mati pun aku rela, ibu……

Kelahiran Kumbakarna

Prabu Sumali sadar bahwa sayembara memperebutkan Dewi Sukesi sebagai isteri dengan cara perang tanding antar ksatriya akan menimbulkan pertumpahan darah yang tidak seharusnya terjadi. Akan tetapi permintaan sang putri untuk bersedia menjadi isteri dari orang yang sanggup mengupas Sastrajendra Pangruwating Diyu membuatnya sangat gundah. Bagaimana pun sang putri adalah seorang yang keras kepala, maka dia pun mengiyakan saja, walau Beliau sudah dapat merasakan akan muncul bencana di dunia sebagai akibatnya.

Resi Wisrawa ingin mendapatkan jodoh bagi Danaraja, putranya yang menjadi Raja Lokapala, maka dia bersedia mengupas ilmu Sastrajendra Pangruwating Diyu di taman keputren bersama Dewi Sukesi. Begitu larutnya mereka dalam penjabaran Sastrajendra, sampai mereka lupa bahwa “Diyu”, sang raksasa dalam diri mereka bangkit dan menutup kesadaran mereka. Keduanya bahkan gagal memaknai Sastrajendra, Tulisan Agung. Tulisan Agung yang tak jauh dari manusia itu sendiri, tentang ‘gumelaring jagad’, asal-usul jagad, ‘sejatining urip’, makna hidup, ‘sejatining panembah’, pengabdian kepada Gusti dan ‘sampurnaning pati’, kesempurnaan kematian.

Dewi Sukesi mengandung akibat buah cinta terlarangnya dengan Wisrawa. Dan, kemudian dari rahimnya terlahir segumpal darah, bercampur sebuah wujud telinga dan kuku. Segumpal darah itu menjadi raksasa bernama Rahwana yang melambangkan nafsu angkara manusia. Sedangkan telinga menjadi raksasa sebesar gunung yang bernama Kumbakarna, yang meski pun berwujud raksasa tetapi hatinya bijak, ia melambangkan penyesalan ayah ibunya. Sedangkan kuku menjadi raksasa wanita yang bertindak semaunya bernama Sarpakenaka. Kelak Wisrawa dan Sukesi melahirkan seorang putera bernama Gunawan Wibisana. Anak terakhir ini berupa manusia sempurna yang baik dan bijaksana, karena terlahir dari cinta sejati, jauh dari hawa nafsu kedua orang tuannya.

Leluhur kita menggambarkan bahwa nafsu dipengaruhi unsur alami yang mengikutinya. Unsur alami sendiri sebenarnya netral tergantung pada pemanfaatannya. Nafsu agresif berunsur api yang berwarna merah dengan contoh Rahwana. Nafsu untuk malas-malasan berunsur tanah yang berwarna hitam dengan contoh Kumbakarna. Nafsu agresif yang arahnya berubah-ubah, berunsur angin yang berwarna kuning dengan contoh Sarpakenaka. Nafsu yang tenang, berunsur ruang kosong yang berwarna putih dengan contoh Gunawan Wibisana. Dalam diri manusia juga terdapat semua nafsu tersebut. Apabila nafsu sudah menjadi tenang maka datanglah Rama, Titisan Wisnu yang akan membimbing kehidupan spiritualnya lebih lanjut. Rama sendiri digambarkan beraura keemasan seperti sinar sang surya yang melampaui semua warna.

Sri Mangkunegara IV dalam Serat Tripama mengambil keteladanan Kumbakarna dalam membela Ibu Pertiwi sebagai ksatriya kedua dari tiga ksatriya teladan.

Kumbakarna bertapa

Sejak awal Kumbakarna menyadari keraksasaan dalam dirinya, dia tidak setuju dengan cara-cara kakaknya, Rahwana yang selalu mengedepankan nafsu angkara murka untuk mendapatkan segalanya. Dia juga tidak setuju dengan penculikan Dewi Sinta isteri Sri Rama. Hanya kemalasannya untuk mengingatkan kakaknya berulang kali, membuat dia pergi bertapa di gunung. Bagi dia lebih baik tidur daripada menyaksikan ulah ‘adharma’ kakak kandungnya.

Hidup dalam rahim ibu selama lebih dari sembilan bulan, hidup dalam kegelapan itu, merupakan pengalaman yang tidak pernah pernah terlupakan oleh manusia. Setelah dilahirkan sampai ajal tiba, hidup manusia sebenarnya merupakan proses pencarian yang panjang. Apa pula yang dicarinya, kalau bukan kegelapan itu? Kenapa demikian? Karena, dalam kegelapan itu, ia pernah merasa begitu aman, begitu nyaman. Dalam kegelapan itu, ia merasakan kehangatan kasih ibu. Dalam kegelapan dan keheningan itu, ia pernah merasa begitu tenang, begitu tenteram, begitu damai, begitu bahagia. Wedhatama Bagi Orang Modern, Anand Krishna, Gramedia Pustaka, 1999 halaman xiii.

Selama Kumbakarna mencari di luar, dia tidak pernah mendapatkannya. Memang cahaya dapat membuat hidup dia sedikit lebih nyaman, tetapi hanya itu saja. Tidak lebih dari itu. Kumbakarna mencari kebahagiaan dalam kegelapan dan kehemingan jiwanya sendiri. Beberapa kali, dia memejamkan mata dan merasakan betapa indahnya kegelapan itu. Apa yang terjadi, sewaktu seseorang berada dalam keadaan tidur? Dia diselimuti oleh kegelapan dan esoknya dia begitu segar. Kegelapan akan menyegarkan jiwa. Kegelapan akan menyegarkan batin.

Konon diceritakan Kumbakarna tidur selama enam bulan dan bangun satu hari menyantap apa pun yang ada di dekatnya. Beberapa saat lagi mungkin Kumbakarna akan mendapatkan kesadaran dan akan dapat melanjutkan kehidupan sehari-hari seperti biasa dalam keadaan tetap tenang. Ketenangan yang dinamis, ketenangan dalam kesibukan berkarya, seperti ketenangan yang dirasakan penumpang pesawat jet di angkasa yang tenang walau semua mesinnya sibuk berkarya. Sebentar lagi sebenarnya dia akan mencapai keadaan nafsu yang tenang, sifat alami ‘satvik’.

Tapa sebetulnya berarti “latihan-latihan untuk mengendalikan diri”. Jadi seorang Tapasvi atau “praktisi tapa” adalah seseorang yang telah berhasil mengendalikan dirinya. Yang bisa disebut tapa bukanlah latihan-latihan untuk mengembangkan tenaga dalam. Bukan juga latihan-latihan untuk menambah kewaskitaan Anda. Menambah atau mengembangkan berarti Anda masih “mengejar” sesuatu. Anda belum tenang, Anda masih gelisah. Berarti Anda belum ber-tapa. Tapa juga berarti “disiplin”. Kendati latihannya sudah benar, tujuannya pun sudah betul—untuk mengendalikan diri—jika Anda tidak melakukannya secara teratur, Anda belum ber-tapa. Hari ini latihan untuk mengendalikan diri, besok tidak. Lusa latihan lagi, lalu berhenti lagi. Ini pun belum bisa disebut tapa. Latihan untuk mengendalikan diri secara teratur, itulah tapa. Berlatih untuk mengendalikan diri pada setiap saat, itulah tapa. ATMA BODHA Menggapai Kebenaran Sejati Kesadaran Murni dan Kebahagiaan Kekal, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001 halaman 22.

Hari itu Kumbakarna dibangunkan secara paksa oleh para prajurit Alengka, dan diminta menghadap kakaknya, Rahwana. Dalam usahanya menyelamatkan isterinya Dewi Sinta yang disandera di Alengka oleh Rahwana, Sri Rama yang merupakan titisan Wisnu bersama Laksmana dibantu Balatentara kera yang dipimpin Sugriwa dan Hanuman menyerang kerajaan Alengka.

Bagi Kumbakarna, dia telah dikaruniai kesempatan untuk berbuat mulia demi ibu pertiwi, bahkan kalau pun dia mati dia akan terbunuh oleh tangan titisan Wisnu. Negaranya yang selama ini menghidupi dia dan para leluhurnya diserang oleh pasukan kera. Dalam tapanya kemarin, samar-samar dia mendapatkan mimpi tentang dua bersaudara Jaya dan Wijaya sang raksasa kembar penjaga gerbang Istana Wisnu di Vaikuntha…… ‘Past Life’………

 

Penjaga Gerbang Istana Dua Raksasa Dwarapala

Dua penjaga Raksasa Dwarapala di depan istana dalam Gunungan Wayang Kulit, juga selalu terdapat dalam dua sosok arca di depan gerbang istana. Dua raksasa yang bernama Jaya dan Wijaya juga diabadikan sebagai nama pegunungan di Papua sebagai pintu gerbang Indonesia di sebelah timur.

Mereka adalah penjaga gerbang setia di Vaikuntha, Istana Wisnu. Dikisahkan Wisnu ingin suasana tak terganggu saat berdua dengan istrinya Lakshmi. Jaya dan Wijaya diinstruksikan untuk tidak mengizinkan semua pengunjung masuk. Empat tamu dipimpin Resi Sanaka telah mempunyai janji untuk bertemu dengan Wisnu, akan tetapi Jaya dan Wijaya menolak mereka masuk ke dalam istana. Resi Sanaka marah dan memberi kutukan bahwa ke dua raksasa penjaga tersebut akan turun di dunia dan lahir dua belas kali sebagai musuh Wisnu, Majikan yang diagungkan mereka.

Sesaat setelah selesainya kejadian tersebut, Wisnu datang dan mengatakan bahwa mereka berdua cukup lahir tiga kali sebagai musuh Wisnu dan akan kembali lagi bersama Wisnu. Jaya dan Wijaya pertama kali lahir sebagai Hiranyaksha yang dibunuh Varaha dan Hiranyakashipu yang dibunuh oleh Prahlada sebagai titisan Wisnu.  Jaya dan Wijaya kemudian mengambil kelahiran kedua sebagai Rahwana dan Kumbakarna, yang akan terbunuh oleh Sri Rama sebagai titisan Wisnu. Di masa yang akan datang, Jaya dan Wijaya lahir sebagai Shishupala dan Dantavakra dan dibunuh oleh Wisnu yang menitis sebagai Sri Krishna.

 

Kematian Kumbakarna

Malam sebelum berangkat berperang Kumbakarna merenung dalam-dalam. Dalam keadaan setengah tidur setengah sadar dalam tapanya dia mendapat penjelasan tentang ‘mokhsa’. Gambaran Kumbakarna sesuai dengan gambaran dalam buku ATMA BODHA Menggapai Kebenaran Sejati Kesadaran Murni dan Kebahagiaan Kekal, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001. “Moksha bukanlah sesuatu yang terjadi pada saat kematian atau setelah kematian. Moksha harus terjadi sekarang dan saat ini juga. Pada saat kematian, mau tidak mau roh harus meninggalkan badan. Dia kena gusur. Bagi dia tidak ada pilihan lain, kecuali meninggalkan badan. Itu bukan moksha. Anda masih hidup, masih memiliki badan, tetapi tidak terikat dengan badan—itulah moksha.  Dan, tidak terikat dengan badan berarti tidak terikat dengan segala macam hubungan yang ada karena badan. Anda mencintai anggota keluarga, bukan karena mereka anak Anda atau pasangan Anda atau orang tua Anda atau saudara Anda, tetapi karena mereka juga berasal dari Sumber Ilahi yang sama. Kita semua adalah saudara kandung. Kesadaran seperti ini akan membebaskan Anda dari permusuhan dan pertikaian. Inilah moksha.

“Jangan menganggap dirimu rendah, jangan menganggap dirimu tinggi.’ Just be yourself’. Jadilah dirimu. Itu saja. Tidak perlu meniru orang. Dan ‘menjadi diri sendiri’ itulah moksha—kebebasan! Kesadaran diri atau ‘menjadi diri sendiri’ merupakan sisi lain moksha atau kebebasan. Yang menyadari dirinya akan menjadi bebas. Yang bebas akan menyadari dirinya….. Dalam ayat ini, Shri Shankara sedang berupaya untuk meyakinkan bahwa sesungguhnya kita bukan budak. Sesungguhnya tidak ada rantai yang mengikat kaki dan tangan kita. Tidak ada yang membelenggu kita. Bahwasanya pikiran kita sedang mengada-ada. Sadarlah!”

Kumbakarna memakai pakaian berwarna putih berangkat berperang dengan hati yang mantap. “Wahai Ibu Pertiwi, putramu membelamu!” Puluhan ribu kera dibinasakannya. Sugriwa sang raja kera dipukulnya sampai pingsan dan Hanuman sempat kerepotan dibuatnya. Nalurinya, intelegensianya mengatakan mungkin perang ini merupakan skenario jagad untuk menghabiskan golongan para raksasa yang merupakan generasi dari hasil hubungan manusia dengan hewan, sehingga hanya para manusialah nantinya yang mengelola jagad ini.

“Semua leluhurku bisa hidup karena dihidupi bumi pertiwi. Makanan, minuman, napas yang kuhirup, pakaian, peralatan, tempat tinggalku dan bahan-bahannya semuanya disediakan oleh bumi pertiwi. Disamping ibu genetikku yang melahirkanku, ibu pertiwilah yang menyediakan segala keperluan hidupku. Sekarang ibu pertiwiku, Ibu leluhurku dijarah orang. Dan, aku tidak rela. Aku akan berjuang demi ibu pertiwiku sampai hembusan nafas yang terakhir. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan mulia berbhakti demi ibu pertiwi. Mati pun aku rela, ibu”…… Dan beberapa panah Sri Rama membinasakannya. Menjelang kematiannyapun dia memilih tubuhnya jatuh ke depan menjatuhi ratusan kera musuh ibu pertiwinya. Setelah Kumbakarna mati, Sri Rama pun mengadakan upacara penghormatan atas kematiannya sebagai pahlawan bagi negerinya.

Ketika akhirnya Rahwana mati dan kerajaan Alengka tidak dianeksasi oleh Sri Rama dan mahkota kerajaan diberikan kepada Gunawan Wibisana, Kumbakarna di alam ruh tersenyum lega, “Terima kasih Gusti, tinggal sekali lagi aku memusuhi-Mu dan aku akan kembali bersama-Mu, Gustiku selalu berperang demi kebenaran bukan demi perebutan wilayah atau harta benda duniawi.”

Terima kasih Guru. Semua terjadi berkat rahmat Guru.

Jay Gurudev!

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

Juni 2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone