June 23, 2009

Pengabdian Sepanjang Hayat Bhisma bagi Ibu Pertiwi

Pesan Bhisma kepada Yudistira: Persatuan itu ‘unity’ bukan keseragaman atau ‘uniformity’. Persatuan berarti menerima perbedaan. Kemudian menemukan benang merah yang dapat mempersatukannya. Apa dan siapa pun yang menciderai persatuan dan menyebabkan konflik, ketegangan yang berpotensi memecah belah bangsa adalah Adharma. Dharma memperkuat, mengembangkan persatuan dan keserasian. Anand Krishna.

Persatuan Hastina adalah prioritas hidup Bhisma

Prabu Sentanu yang kehilangan semangat hidup atas meninggalnya sang permaisuri, jatuh cinta terhadap perempuan cantik berbau harum Dewi Durgandini. Dewi Durgandini yang telah berputra Abyasa atas perkawinannya dengan Resi Parasara, hanya mau kawin apabila anak-anaknya kelak menjadi putra mahkota. Sang Prabu Sentanu sangat bingung, yang berhak menjadi putra mahkota adalah Bhisma putranya atas perkawinanannya dengan Dewi Gangga, mendiang permaisurinya, kalaupun Bhisma bersedia mengalah, maka anak keturunan Bhisma tetap akan menuntut haknya, dan akan terjadi perang saudara pada wangsa Kuru. Memikir terlalu dalam, Sang Prabu sakit keras. Sebagai seorang anak yang berbakti, Bhisma mengalah tidak mau menjadi putra mahkota bahkan bersumpah untuk tidak kawin seumur hidup. Demikianlah kecintaan Bhisma terhadap negara Hastina, Ibu Pertiwinya, agar tidak terjadi perang saudara di kemudian hari. Pengorbanan Bhisma yang begitu besar meningkatkan spiritual Bhisma, sehingga dia bisa menentukan kapan saatnya meninggalkan jasadnya di dunia di kemudian hari.

Dewi Durgandini dengan Prabu Sentanu mempunyai dua orang putra, Citragada dan Wicitrawirya. Citragada seorang yang sakti, akan tetapi sombong dan akhirnya mati sebelum kawin. Wicitrawirya seorang yang lemah dan diperkirakan akan kalah dalam sayembara untuk mendapatkan seorang putri raja. Ketika Raja Kasi mengadakan sayembara bagi tiga putrinya, demi pengabdian kepada kerajaan Hastina, Bhisma ikut bertanding, menang dan memboyong ketiga putri untuk diberikan kepada Wicitrawirya. Dewi Ambalika dan Dewi Ambika menerima kondisi tersebut, akan tetapi Dewi Amba menolak. Bhisma telah membunuh kekasih Dewi Amba, sudah seharusnya Bhisma memperistri dia. Bhisma mengatakan bahwa dirinya telah bersumpah tidak akan kawin. Bhisma paham perkawinan dengan Dewi Amba akan membuat masalah bagi Hastina, akan terjadi perpecahan antara putranya dengan putra Wicitrawirya. Bhisma menakut-nakuti Dewi Amba dengan anak panah yang secara tidak sengaja terlepas dan membunuh Dewi Amba. Bhisma tertegun, demi Hastina tanpa sengaja dia telah membunuh seorang putri, Bhisma sadar dia pun akan terbunuh oleh seorang putri juga nantinya.

Pengabdian Bhisma rupanya hampir sia-sia, karena Wicitrawirya pun meninggal sebelum memberikan putra. Dewi Durgandini mohon ampun kepada Yang Maha Kuasa atas kesalahannya dan minta Abyasa putranya dengan Resi Parasara memperistri Dewi Ambalika dan Dewi Ambika untuk sekedar memberikan keturunan. Abyasa patuh terhadap ibunya walau tidak ikhlas memperistri mereka. Abyasa membuat dirinya berwajah mengerikan, sehingga ketika berhubungan suami istri Dewi Ambalika menutup mata, sehingga lahirlah Destaratha yang buta. Sedangkan Dewi Ambika melengoskan leher dan pucat pasi melihat wajah Abyasa yang mengerikan, sehingga lahirlah Pandu yang lehernya miring dan pucat. Dewi Durgandini, kecewa dan minta mereka berhubungan suami istri dengan baik. Dewi Ambalika dan Dewi Ambika mendandani seorang pelayan dengan menutupi mukanya ketika berhubungan suami istri dengan Abyasa. Walaupun Abyasa tahu hal tersebut, dia tidak mau mengecewakan ibunya dan lahirlah Widura. Setelah itu, Abyasa pergi ke gunung Saptaarga meneruskan dharmanya sebagai penulis kitab-kitab tentang ketuhanan.

Bhisma tetap setia melindungi Kerajaan Hastinapura, walaupun seiring dengan perjalanan waktu negara Hastinapura dipimpin oleh kelompok Adharma. Apabila penguasanya bijaksana, Bhisma akan mendukung penuh, akan tetapi bila penguasanya lalim, Bhisma akan berusaha sekuat tenaga untuk mengingatkannya. Baginya yang penting negara Hastina aman sentosa dan sedapat mungkin berjalan di jalan yang benar. Beliau sadar adharma selalu ada. “Adakah seorang diantara kita yang dapat mematikan kegelapan? Tidak. Kegelapan itu abadi adanya. Nyalakan pelita pencerahan diri, dan yang gelap menjadi terang seketika”.

Dalam intrik-intrik perebutan kekuasaan, antara kelompok pro-Destaratha yang buta, ataupun kelompok pro-Pandu yang sakit-sakitan, Bhisma melindungi negara agar negara tetap utuh. Ketika kebijakan Hastina mulai dibelokkan oleh Patih Shakuni, Bhisma tidak mau mengundurkan diri. Apabila ditinggalkannya, negara Hastina akan semakin kacau. Kalau dia mengundurkan diri karena kecewa terhadap Shakuni, keberadaan dia tidak ada manfaatnya bagi Ibu Pertiwi. Usaha diplomasi yang dilakukan Sri Krishna untuk menggagalkan perang Bharatayuda didukung Bhisma, tetapi hasilnya sia-sia juga.

Dilema muncul ketika terjadi perang Bharatayuda, dia akan berada di pihak siapa? Bhisma menenangkan diri, mengheningkan cipta. Aku ini siapa? Aku bukan badanku, bukan pula pikiran dan perasaanku. Aku abadi, keberadaanku di dunia, menghadapi segala permasalahan pelik adalah untuk menyadari jati diriku. Bhisma tahu bahwa Sri Krishna adalah titisan Wisnu. Di dalam dirinya pun terdapat Sri Krishna, sang pikiran jernih. Segalanya berjalan sesuai skenario Sri Krishna. “Sudahlah Krishna, kalau memang diriku harus berperang melawan Pandawa, aku jalani peranku. Aku mohon berkahmu. Aku tidak peduli masyarakat yang mencibirku karena aku memihak Korawa yang jahat. Kalau memang itu bagian dari skenario-Mu, aku ikhlas. Bhaktiku pada Ibu Pertiwi Hastina juga merupakan bhaktiku pada perwujudan dari-Mu juga”.

 

Pertanyaan Yudistira menjelang kematian Bhisma

Dalam keadaan luka-luka terkena puluhan anak panah Srikandi, Resi Bhisma bertahan menunggu saat yang tepat untuk meninggalkan badannya. Pada waktu itu Yudhistira, sulung Pandawa bertanya, “Kakek yang Agung, aku masih bingung, sebenarnya Dharma itu apa? Dan apa perbedaannya dengan Adharma?”

Resi Bhisma menjelaskan, “Segala sesuatu yang menciptakan ketakserasian, perpecahan dan konflik itulah Adharma dan segala yang mengakhiri Adharma adalah Dharma. Apa dan siapa pun yang menciderai persatuan dan menyebabkan konflik, ketegangan yang berpotensi memecah belah bangsa adalah Adharma. Dharma memperkuat, mengembangkan persatuan dan keserasian.”

Pertanyaan selanjutnya, “Kemudian yang menetapkan mana yang Dharma dan mana yang Adharma itu siapa? Bukankah bisa disalah gunakan mereka yang mempunyai ‘interest’, kepentingan pribadi atau kelompok tertentu terhadap politik dan kekuasaan?”

Resi Bhisma menjelaskan, “Untuk menentukan mana Dharma dan mana Adharma, satu-satunya kesaksian yang dibutuhkan adalah kesaksian diri pribadi, kesaksian hati nurani. Hanya orang yang sadar dan percaya secara tulus terhadap kebenaran yang dapat menentukan. Dasar awal perjuangan adalah landasan spiritual, bukan kepentingan keduniawian.”

Bagi Pandawa dengan tuntunan Sri Krishna, berperang melawan Korawa adalah dharma. Bagi Bhisma mempersatukan Ibu Pertiwinya, Hastina adalah dharma, yang akan dipersembahkannya kepada Gusti Yang Maha kuasa sampai nyawanya dicabut di dunia.

 

Pertanyaan Drupadi menjelang kematian Bhisma

Bhisma tidak peduli pandangan dari luar, bahkan pada saat Drupadi, istri Pandawa protes dengan menangis terisak-isak: “Mengapa kakek Bhisma bisa memberikan penjelasan tentang dharma dan adharma kepada Yudistira sedemikian bagusnya, sedangkan sewaktu aku, Drupadi, dipermalukan Korawa, Kakek diam seribu bahasa”.

Bhisma tidak mengatakan bahwa dia tahu Drupadi akan diselamatkan Sri Krishna dan keajaiban yang terjadi diharapkan Bhisma untuk menyadarkan para Korawa. Tidak, dia tidak berkata demikian, akan tetapi Bhisma menjelaskan secara teknis agar mereka yang merubungnya mendapatkan pengetahuan yang mungkin belum diketahui mereka.

Bhisma berkata:”Cucuku Drupadi, aku tahu apa yang menjadi ganjalan hatimu. Selain menunggu posisi matahari yang masih bergerak ke arah selatan sampai tiba waktunya berbalik ke arah utara, dan menunggu konstelasi matahari dan bulan yang paling harmonis, saya juga menunggu waktu enam bulan agar seluruh sel tubuhku berganti. Cucuku, kira-kira enam bulan yang lalu, aku dijamu makan oleh Duryudana, pengaruh makanan tersebut sangat besar. Nuraniku memberontak melihat engkau dipermalukan Dursasana, tetapi pengaruh makanan membuat aku tak berdaya. Darah yang keluar dari anak-anak panah yang menembus diriku, membuatku lebih tenang, selama ini darah yang diproduksi organ tubuh yang tercemar makanan itulah yang membuat aku tak berdaya. Maafkan aku Drupadi”.

Bhisma sepenuhnya sadar bahwa apa pun yang terjadi memang harus demikian. Dirinya bukanlah tubuh fisik, dirinya menghuni tubuh fisik, dan sudah tiba waktunya bagi dirinya untuk meninggalkan tubuh fisik. Bhisma sudah tidak punya keinginan apa pun juga. Hanya karena Yudistira bertanya, dan hanya karena Drupadi ingin mengetahui permasalahan, dia menjelaskan.

Bhisma yang terpanah oleh Srikandi, paham dia tidak akan sembuh. Hutang kematian Dewi Amba telah terbalaskan oleh Srikandi. Akan tetapi dia tetap sadar, bahwa setiap keluhan, kekecewaan yang terbersit dalam pikiran menjelang kematian akan mengakibatkan adanya obsesi yang akan membuatnya lahir kembali. Itulah sebabnya hampir semua kepercayaan mengingatkan untuk menyebut Gusti pada akhir hayat. Setiap saat Bhisma hanya mengingat Sri Krishna, yang menurut keyakinannya adalah perwujudan Ilahi yang lahir ke dunia. Kedatangan Sri Krishna bersama Pandawa membesarkan hatinya. Bhisma pasrah dengan keadaannya, menunggu saat yang amat mulia untuk meninggalkan jasad sambil terus memperhatikan Sri Krishna.

Ketika posisi matahari dan bulan harmonis yaitu pada tanggal 14 Januari 3.000 SM, Bhisma menghembuskan nafas terakhir dengan sebuah senyuman di bibirnya. “Gusti, aku kembali ke sangkan paraning dumadi.” Sri Krishna menutup mata Bhisma dan menyuruh Pandawa mempersiapkan upacara penghormatan terakhir.

Astronomi modern memberitahukan bahwa ada fenomena alam yang disebut ketepatan dari konstelasi bintang. Kita tahu bahwa Bumi berputar melingkar keatas. Karena berputar melingkar seperti spiral, maka titik sumbunya selalu berubah.  Setelah 26.000 tahun seluruh siklus akan berulang. Dari perhitungan astronomi kematian Bhisma adalah pada tanggal 14 Januari dan tahunnya diperkirakan 3.000 Sebelum Masehi. Dan pengetahuan tersebut dikuasai Bhagawan Abiyasa, sehingga dia menuliskannya pada kisah Mahabharata.

Atman yang dimaknai sebagai “AKU”, “SELF”, atau “INGSUN” dalam bahasa leluhur

Dalam bahasa Sanskerta, ada sebuah kata yang sangat sulit diterjemahkan: Atman. Kalian tahu dalam bahasa Inggris kata itu diterjemahkan sebagai Self – Diri. Bagi seorang yang berada pada lapisan kesadaran fisik, Atman adalah badannya. Bagi yang berada pada lapisan kesadaran energi, Atman adalah energinya. Dan energi tidak bisa mati, tidak bisa dibunuh. Jadi, bagi dia badan itulah materi. Bagi orang yang berada pada lapisan kesadaran mental, Atman adalah mind, pikiran. Oleh karena itu mereka selalu mengagung-agungkan kekuatan pikiran. Ada lagi yang menganggap ‘rasa’ atau lapisan emosi sebagai Self Atma. Lapisan ini sudah jauh lebih halus, jauh lebih lembut dari lapisan-lapisan sebelumnya sebagai materi. Bagi dia, ‘Cinta’, ‘Rasa’ adalah kekuatan sejati – energi murni. Lalu ada yang menganggap lapisan intelegensia sebagai Self – Atma. Rasa pun telah mereka lampaui. Bagi dia, badan, energi, pikiran, rasa – semuanya masih bersifat ‘materi’. Bagi dia ‘kesadaran’ itu sendiri merupakan ‘kekuatan’ – energi. Seorang Buddha mengatakan bahwa semua lapisan tadi masih bersifat ‘materi’. Bagi seorang Buddha, Self atau Atma yang identik dengan lapisan-lapisan yang masih bisa dijelaskan harus terlampaui. Bagi dia, ketidakadaan atau kasunyatan adalah kebenaran sejati. Itulah ‘energi’ yang tak terjelaskan. Itulah ‘Kesadaran Murni’ yang tak terungkapkan. Dari buku SHANGRILA, Mengecap Sorga di Dunia, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000 halaman 163.

Manusia biasa akan sulit memahami mereka yang “Aku” nya telah melampaui materi. Manusia pun tetap akan sulit menerima tindakan “dharma” Bhisma yang membantu Korawa berperang melawan Pandawa. Karena kebanyakan manusia masih berada pada lapisan kesadaran fisik. Surga pun masih digambarkan menurut pemahaman fisiknya.

Terima kasih kepada Guru yang telah membebaskan diri kami dari sekat-sekat keyakinan dan kepercayaan.  Selanjutnya, ‘ngelmu kawruh’, pengetahuan tentang Kebenaran harus dinyatakan dalam tindakan penuh “kesadaran” sehari-hari.

Semua terjadi berkat rahmat Guru. Jay Gurudev!

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

Juni 2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone