Dalam usia paruh baya, kami menyaksikan banyak pemuda terjun ke masyarakat demi tujuan mulia, tetapi karena belum mempeoleh Kesadaran mereka terserimpet godaan dan melenceng dari tujuan semula. Ada juga yang berhasrat mendapatkan Kesadaran dulu, mengabaikan ketidak-adilan yang terjadi di sekitar, tetapi sampai Yamadipati menjemput, mereka belum mendapat Kesadaran juga. Pilihan kami telah jelasmeng ikuti Guru yang sudah turun gunung.
Kehidupan sepasang insan tua di Istana Hastina
Semua putra-putra Destarastra telah mengalami pralaya. Dia buta, akan tetapi para keponakannya baik hati, dia dan istrinya memperoleh kehidupan terhormat di istana. Para Pandawa adalah ksatriya yang berbudi, mereka telah melupakan kesalahan paman mereka di masa lalu, sangat berbeda dengan putra-putranya sendiri yang selalu menempatkan hawa nafsu sebagai landasan tindakan mereka.
Dia sangat berterima kasih pada Dewi Gandhari, sang isteri. Sejak perkawinan mereka , sang isteri telah menutup matanya dengan kain. Pelayannya pernah berkata bahwa kedua mata Dewi Gandhari telah lengket. Syaraf-syaraf matanya yang tidak digunakan sudah mengalami penurunan fungsi. Sudah menjadi buta sungguhan. Dan Dewi Gandhari tidak menyadarinya. Setiap habis mandi penutup matanya selalu diganti. Dan tak ada secercah keinginan pun untuk melihat barang sesuatu. Seorang istri yang amat setia. Yang telah menyatu dengan diri suaminya. Pikirannya hanya pada Destarastra. Bila dia sedih, istrinya pun sedih. Sepasang orang tua aneh yang menjadi bahan perbincangan seluruh kraton. Bhima yang kasar pun selalu tunduk begitu melihat mereka berdua berjalan dipandu pelayan mereka, dan menyapa dengan lembut. Tidak ada satu pun warga istana yang cemburu pada mereka dan semuanya melihat sepasang insan tua tersebut dengan penuh kasih sayang.
Bertemu dengan Sri Krishna
Tetapi Malam itu, tatkala isterinya sedang tidur lelap, Destarastra tertatih-tatih turun dari tempat tidur dan meminta pelayan yang siap di luar pintunya untuk mendatangi Sri Krishna yang sedang berkunjung dan bermalam di Hastina.
Ketika kembali ke peraduan, dia masih teringat kejadian luar biasa yang baru saja dialaminya. Tadi dia memohon penjelasan Sri Krishna, mengapa dia yang buta kehilangan 100 putra-putranya dalam perang Baratayudha. Melalui kekuatannya, Sri Krishna, membuat Destarastra mampu menyaksikan masa lalunya. Pada masa tersebut, di lima puluh kehidupan sebelumnya, dia sebagai seorang pemburu membunuh anak-anak burung di sebuah hutan, dan juga membutakan mata burung-burung dewasa dengan asap bara apinya. Dia kemudian bertanya lagi kepada Sri Krishna, mengapa harus menunggu 50 kelahiran, baru karma-karmanya terbalas. Jawaban Sri Krishna adalah karena untuk mendapatkan 100 orang putra harus menjalani berbagai kehidupan dan karma-karma yang baik dahulu, dan itu memerlukan masa yang amat lama, melalui berbagai karma-karma yang tertunda. Jadi sebenarnya tidak seorang pun yang dapat melarikan diri dari hukum karma yang serba kompleks namun sesuai kehendak Keberadaan, Yang Maha Adil, Abadi dan Pasti.
Dalam perenungannya yang dalam, dia tak sadar bahwa sang istri telah bangun. Dan menunggunya yang tengah merenung dengan sabar. Destarastra sadar istrinya telah bangun dan dia membayangkan gurat-gurat di kulit istrinya yang mestinya telah menandakan ketuaan, rambut ikalnya mestinya sebagian sudah memutih. Dia sendiri tidak tahu apakah dia bisa hidup tanpa sang istri. Dan dia pun jujur mengatakan peristiwa dirinya dengan Sri Krishna.
Pembicaraan sepasang insan tua tersebut kita dengarkan dalam suasana batin Buku Soul Quest, Pengembaraan Jiwa dari Kematian Menuju Keabadian, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2004.
‘Mind’ adalah halangan dari perjalanan batin
Suamiku tercinta, aku sudah mengabdikan diri padamu, apa pun yang kau rasakan dapat kurasakan. Ingatkah suamiku akan nasehat Ayahanda Abiyasa pada waktu dulu sebelum perang? “Perjalanan adalah Tuhan, kejadian adalah Tuhan. Semua ini Tuhan. Akan tetapi ada sebuah tempat di mana tidak ada Tuhan? Ya, ada. Ya dan tempat itu adalah ‘mind’ manusia. ‘Mind’ bisa menerima Tuhan, bisa juga menolaknya. Ia bisa menempatkan Tuhan begitu jauh, bisa pula mendekatkan-Nya. ‘Mind’ adalah bagian kekuatan Tuhan yang membuatmu statis berada dalam satu tingkat kesadaran. Dan tingkatan itu bisa keduniawian, keilahian, bisa juga bersifat seperti malaikat dan bisa juga bersifat kebinatangan. ‘Mind’ adalah halangan dari perjalanan batin. ‘Mind’ membuatmu berjalan di tempat.” Dengan lirih Dewi Gandhari meneruskan, “Dulu kita belum paham, akan tetapi segala penderitaan yang kita alami ini, membuat kita dapat memahami ucapan Ayahanda Abiyasa yang juga disebut Sang Krishna Dwipayana.” “Dalam darahmu ada warisan genetik dari Ayahanda Abiyasa yang bijak, ada warisan genetik dari Kakek Resi Parasara yang suci. Kesucian ada dalam dirimu, suamiku! Mari kita lampaui ‘mind’!”
“Benar isteriku, belahan jiwaku, yang aku tak sanggup menanggung penderitaan ini tanpa dekapan jiwamu, “Mind itu tidak pernah bisa diam di satu tempat. Ia bergerak sepanjang waktu. Seperti seekor ternak yang diikat pada sebauh pohon. Jika tali ikatannya panjang, ternak itu bisa berlarian ke sana kemari dan tak menyadari ikatannya. Kebebasan geraknya dibatasi oleh panjang tali ikatannya. Dan pohon yang digunakan untuk mengikat ternak itu adalah “pohon Tuhan”. Saya pernah menolak Tuhan. Ya, karena tali pengikatnya panjang dan saya dulu tak bisa melihat pohon di mana saya diikat.”
Dewi Gandhari berbisik lirih, “Beberapa hari lagi saudaramu lain ibu, Widura akan datang. Ajak dia bicara empat mata. Dia telah lama mengasingkan diri dan dia tak mau melihat pertempuran antara kedua belah pihak keponakannya. Kenapa keponakannya, cucu-cucu dari Abiyasa yang bijak dapat saling bertempur?” “Kita masih ingat bahwa Widura kala itu minta Duryudana agar jangan berperang. Dan dia dipermalukan anak kita di depan orang banyak, dikatakan bahwa setiap garam dalam makanan Widura berasal dari raja, mengapa tidak menurut padanya. Dan, Widura langsung meletakkan busur panahnya dan pergi meninggalkan Hastina tanpa seucap kata pun.”
Bertemu dengan Widura
Tiga hari setelah Widura menginap di Hastina dan saling melepaskan kerinduan dengan seluruh kerabat, malam itu Widura mengajak bicara empat mata dengan Destarastra.
“Kakanda, dikau telah dijelaskan Sri Krishna tentang karma, dan saya ingatkan. Kakanda sangat beruntung bertemu langsung dengan wujud keilahian. Hal demikian jauh bermakna daripada sebuah ‘dharsan’. Saya telah melihat secercah sinar di wajahmu, mari saya jelaskan sedikit tentang ‘dharsan’.
“Pertemuan dengan seorang suci bukanlah pertemuan biasa. Pertemuan itu adalah ‘darshan’ atau ‘melihat sekilas’ kesucian yang ada dalam diri kita melalui Sang Master. Seorang Guru bagai sebuah cermin di mana seorang pengikut dapat melihat dirinya sendiri, wajah “asli”-nya sendiri. Seorang Master adalah masa depan muridnya dan seorang murid adalah masa lalu seorang Master dan mereka bertemu, menyatu di saat ini, dalam kekinian. Itulah sebabnya kehadiran seorang Master adalah berkah yang langka.”
“Kakanda, dalam dirimu juga ada potensi Sri Krishna, kau telah melihat Sri Krishna, berarti kau telah melihat potensi Dia yang ada dalam dirimu. Mari kita kembangkan benih potensi itu.
“Keberadaan itu seperti stasiun radio. Bertahun-tahun kakanda berada pada gelombang radio. Tidak setiap saat, hanya di saat kakanda berada pada gelombang yang sama dengan Sri Krishna. Dan ketika kakanda tidak sedang berada pada gelombang itu, kakanda telah tersambung dengan ‘mind’, pikiran kakanda. Dan pikiran berbicara dari memorinya. Ia memiliki kosa-kata sendiri. Ia memiliki bahasa, tepatnya bahasa-bahasa dan pola-polanya sendiri. “Radio” yang kita dengar punya banyak stasiun, banyak channel. Jumlah frekuensinya tak terhitung. Jadi seseorang yang mengaku mendengar suara Tuhan sebenarnya telah berada di salah satu dari frekuensi-frekuensi itu. Berada pada channel gelombang frekuensi tertentu seseorang bisa mendengar pesan kekerasan. Seseorang bahkan bisa tergerak untuk membunuh dan terbunuh atas nama agama. Berada di channel yang berfrekuensi gelombang yang lain seseorang bisa mendengar pesan cinta, perdamaian, keharmonisan, dan pengorbanan. “
“Adinda telah pergi ke tempat-tempat suci sampai suatu saat adinda mendengar tentang pembasmian keluarga kakanda. Seperti pembasmian hutan bambu oleh api dan api tersebut berasal dari gesekan bambu sendiri. Adinda sudah sangat berkurang keterikatannya, tetapi tetap tersentuh juga. Di Yamuna adinda bertemu Udawa yang mengirim adinda ke ashram Maitreya dan belajar di sana.”
“Adinda masih mempunyai tugas Ilahi. Bertemu kakanda adalah misi hidup adinda sebelum melepaskan tubuh tua ini. Adinda sudah tidak mempunyai keinginan yang lain lagi.”
“Kakanda, tinggalkan semua kenyamanan semu ini dan pergilah ke hutan. Sang Kala berjalan cepat ke arah kita. Tidak ada kata yang yang dapat membujuk Sang Kala untuk membatalkan tugasnya. Kenyamanan istana ini bagaimana pun akan ditinggalkan kakanda juga. Waktu kita sangat pendek, jangan mengikuti mereka yang masih muda usia.
Sungai kehidupan
Destarastra tertunduk dalam-dalam, semangatnya muncul kembali, wajahnya bersinar-sinar mendapat pencerahan Ilahi. Widura juga mengambil tamsil sungai kotor yang mungkin lebih sesuai dengan gambaran kondisi Ciliwung saat ini.
“Sungai kehidupanmu memang kotor, juga sempit. Tapi itu pun sungai juga. Kau melihat kotorannya. Kau melihat airnya yang kehitaman, tapi kau tak melihat sungai yang mengalir………. Jangan lupa, bersih atau kotor, sungai kehidupanmu jauh lebih dekat dengan laut. Ia lebih beruntung dari sungai pegunungan yang indah dan jernih. Memang bersih dan para perawan pun tidak ragu berendam di dalamnya, tetapi perjalanannya masih panjang. Begitu juga denganmu. Ya, kau semakin dekat dengan tujuanmu. Kau tak bisa lebih dekat dengan Tuhan. Tuhan tak pernah menjauh darimu. Tuhan tidak berada di akhir perjalananmu. Perjalanan inilah Tuhan. Takdirlah yang menuntunmu ke tujuanmu.” “Sebagai orang lanjut usia, kita harus memilih jalan tercepat, jalan bhakti, semua pikiran, ucapan dan tindakan hanya bagi Dia. Sisa hidup ini hanya bagi Dia semata.”
Destarastra minta ijin berbicara pada istrinya dan tidak lama kemudian, malam itu juga mereka bertiga meninggalkan Hastina. Keesokan harinya istana Hastina geger, mereka kehilangan sepasang orang tua yang sudah menyatu dalam kehidupan mereka. Narada datang dan berkata pada Yudistira. “Mereka akan berada di asrama para resi di tempat pertemuan tujuh sungai. Beberapa minggu lagi, Destarastra akan melepaskan jasadnya dan Dewi Gandari akan membakar diri di asrama menyusul suaminya. Setelah kejadian tersebut, Widura akan melanjutkan perjalanan menuju Badarikasrama dan melepaskan jasadnya di sana!”
Terima kasih Guru. Semua terjadi berkat rahmat Guru.
Jay Gurudev!
http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
Juni 2009.