Beda orang, beda isting hewani yang tersisa, dan beda pula stimulus yang dapat membangkitkan keliaran dalam dirinya. Kelemahan adalah kelemahan. Apakah itu kecanduan, ketergantungan pada obat-obatan, seks, makanan, rokok atau apa saja. Yang satu terpeleset karena kulit pisang. Yang satu lagi terpeleset karena kulit mangga, atau hanya karena lantainya licin. Mereka semua sama-sama jatuh. Tidak perlu membeda-bedakan antara kulit pisang, kulit mangga, dan lantai yang licin. Seseorang yang kelemahannya makan berlebihan tidak perlu mengkritik orang lain yang kelemahannya menelan pil ekstase. Dua-duanya sama lemah. Untuk itu, dengan penuh kesadaran, keadaan, tempat, atau individu yang dapat menjadi umpan dan memancing insting hewani dalam diri perlu dihindari. *1 Shangrila
Masa kecil Anjani
Anjani yang sedang hamil tua membuka mata setelah mengheningkan cipta beberapa saat. Matanya mengawasi perutnya yang membesar dan sekali-kali terasa adanya tendangan kaki lembut dari calon bayinya. Dalam kebahagiaan, pikirannya menerawang ke masa silam……..
Nampak jelas keceriaan dari tiga anak remaja, kedua kakaknya Subali dan Sugriwa sedang berkejar-kejaran di padang rumput yang hijau, sedang dirinya duduk di bawah pohon tua yang rindang dekat Telaga Madirda. Dirinya membuka ‘cupu’ semacam kotak penyimpan perhiasan pemberian Dewi Windradi, ibunya. Matanya yang indah terbelalak melihat cupu yang terbuka itu menggambarkan isi dunia. tiba-tiba kedua kakaknya datang mendekat, ikut melihat dan berusaha merebut cupu tersebut. Ketiganya rebutan ‘cupu’ tersebut.
Ayahnya, Resi Gotama yang sangat berwibawa mendatangi mereka meminta ‘cupu’ tersebut dan memanggil ibunya. Ibunya nampak pucat ketakutan dan menceritakan bahwa ‘cupu’ tersebut adalah anugerah dari Bathara Surya. Masih jelas dalam ingatannya sewaktu ayahnya berkata, “Isteriku, tidak seharusnya dikau memberikan hal yang berharga kepada anak-anak kecil yang belum paham. Barang berharga pun akan dijadikan mainan belaka. Bukankah saya telah berkali-kali memperingatkan. Sepertinya saya telah berbicara pada patung.” Anak-anakku percayalah padaku, benda ini belum pantas dimiliki kalian semua, biarlah benda ini saya lempar ke Telaga Madirda.”
Kasih sayang seseorang kepada dia yang dikasihinya, kadang membuat orang tersebut memberikan sesuatu yang berharga kepada penerima yang belum memahami nilai barang pemberian tersebut. Inilah kelemahan Dewi Windradi. Seorang Master berkata, “Janganlah kamu memberikan mutiaramu kepada babi, supaya jangan dibuat mainan atau diinjak-injak dengan kakinya.” Seorang Guru selalu memberikan permata kehidupan kepada murid yang sudah matang, seekor babi lebih memilih nasi basi dari pada mutiara, karena kesadarannya masih terpusat pada makanan. Kesadaran kita pun masih terpusat pada materi, sehingga Guru pun merasa belum pantas menganugerahkan permatanya.
Dia melihat ibunya tiba-tiba kaku dan seakan-akan menjadi patung. Kemudian dia ikut kakak-kakaknya lari ke telaga mencari ‘cupu’ yang dilempar ke dalam telaga. Kedua kakaknya menceburkan diri ke dalam telaga sedangkan dia hanya menunggu di tepian telaga. Tanpa sadar dirinya mencuci muka dengan air telaga dan dia kaget merasakan pipinya menebal dan berbulu. Kemudian dia melihat dua kera keluar dari telaga sambil menangis dan suara mereka adalah suara kakak-kakaknya…….
Ayahnya berkata pada mereka, “Semuanya sudah merupakan suratan alam, hal ini harus terjadi, kalian akan menjadi cepat dewasa, kesadaran kalian akan lebih cepat meningkat tetapi perjuangan kalian menjadi lebih keras. Seorang manusia tidak bertindak reaktif, dia akan berpikir dahulu sebelum bertindak. Tidak demikian dengan seekor kera, yang hanya bergerak reaktif mengikuti naluri mengejar barang yang diinginkannya. “
“Semuanya memerlukan perjuangan, memerlukan kesabaran, memerlukan waktu. Ibumu akan kembali normal setelah menjalani tapa beberapa lama. Subali, kau lakukan tapa ‘ngalong’ hidup di atas pepohonan seperti kelelawar dan makan buah-buahan di atas pohon! Sugriwa, kau bertapa ‘ngidang’, hanya makan umbi-umbian dan buah-buahan yang berada dekat dengan tanah! Anjani, kau bertapa ‘ngodok’ di sekitar telaga dan makan apa yang mendekat kepadamu!”
“Kalian belajar mengendalikan diri, dimulai dari mengendalikan fisik makan dan minum. Kemudian sadarilah dirimu, fisikmu, energi hidupmu, mental emosionalmu, intelegensiamu. Anjani, bersyukurlah, sebagai wanita kau sudah memiliki kelembutan. Kodok adalah binatang yang luar biasa. Dia bisa hidup di air dan bisa hidup di darat. Manusia juga hidup di alam kasar ketika jaga. Hidup di alam halus ketika tidur dan bermimpi serta lenyap tak ada sesuatu apa pun ketika tidur lelap.”
“Subali dan Sugriwa, pada suatu saat kalian akan menjadi raja kera, Subali kau akan membantu dunia melenyapkan raksasa berkepala sapi dan berkepala kerbau. Pada suatu saat kau akan berkelahi melawan adikmu dan kalau sudah ada manusia tampan dengan muka bersinar, terimalah kematianmu olehnya, berbahagialah melepaskan raga di tangan titisan Bathara Wisnu.” “Sugriwa, kau harus membantu Raja titisan Wisnu tersebut melenyapkan kaum Raksasa yang merupakan campuran antara manusia dan hewan. Demi evolusi sub human species itu harus punah.”“Anjani, teruslah bertapa sampai mendapatkan suamimu. Anakmu adalah seorang ‘bhakta’ dari Raja titisan Wisnu tersebut. Tugasmu amat mulia melahirkan putra idola alam semesta, nama cucuku ini akan dikenang sepanjang masa.”
Kesadaran Anjani
Kembali Anjani larut dalam perenungan yang dalam: “Aku lahir di dunia ini untuk meningkatkan kesadaranku. Ayahku seorang Resi yang mempunyai ‘mind’ yang kuat sehingga mengetahui rahasia alam, ibuku tidak begitu cerdas, tetapi selalu membuat persembahan dengan Gusti, sampai dikaruniai Gusti cupu manik ‘Astagina’. Aku telah memilih dilahirkan oleh mereka, maka aku yakin, diriku dapat meningkatkan spiritual berdasar kombinasi karakter ayah dan ibuku. Semua karakter kedua orang tuaku yang tidak baik sudah kuputus siklusnya, agar tidak menurun ke generasi penerusku. Itulah tanda bhaktiku sebagai anak”.
Anjani perlahan-lahan berafirmasi: “Kedua orang tuaku mempunyai putra-putri yang gagah dan cantik tetapi bertabiat kera. Walaupun aku sekarang berwajah kera, akan tetapi aku akan melahirkan kera terbaik, kera yang lebih suci daripada manusia tampan yang masih berjiwa raksasa. Biarlah putera yang lahir dari rahimku mengabdi kepada Raja Kebenaran. Terima kasih Gusti atas kemakmuran, kesejahteraan, kasih, kesehatan, ilmu, sentosa yang telah diberikan pada kami. Kami bertindak selaras dengan alam dan alam akan membantu kami.”
“Aku mencintai Bathara Guru, dan Cinta pada Sang Pendaur-Ulang tidak bisa disamakan dengan cinta sesama makhluk. Cintaku pada Bathara Guru tidak mengurangi cintaku pada Kesari, suamiku yang telah pergi ke alam kelanggengan mendahuluiku. Setelah lama hidup bersama Kesari dan belum punya generasi penerus, diriku dan suamiku terus berdoa kepada Bathara Guru, dan pada suatu hari Bathara Guru menganugerahi kami buah mangga yang menyebabkan kehamilanku.”
Segala sesuatu dimulai dengan bertemunya energi Feminin dan Maskulin, Yin dan Yang, yang benihnya berupa sperma dan ovum yang disimbolkan dengan Lingga dan Yoni. Pertemuan sperma dan ovum menghasilkan ovum yang terbuahi, tetapi yang memelihara satu sel inti berkembang menjadi tubuh sempurna dengan jutaan sel adalah kekuatan alam pendaur ulang. Seorang ayah dan ibu hanya menghasilkan sel telur yang telah dibuahi, akan tetapi, fasilitas air ketuban, placenta dan perlengkapannya yang menjaga kehidupan sel telur tersebut adalah fasilitas alam, kekuatan pendaur ulang. Bahkan dalam kloning pun, tetap ada kekuatan misteri yang mengembangbiakkan dan memellihara sel inti. Bathara Guru adalah lambang kekuatan Siwa Sang Pendaur Ulang. Pembuat kloning mengambil sel hidup bukan benda mati dan menghidupkannya. Hidup tetap merupakan misteri.
Kesadaran, pencerahan bukanlah sensasi-sensasi dan aliran-aliran energi yang kau rasakan dalam meditasi. Bahkan bukan pula cahaya-cahaya yang kau anggap ilahi. Segala sesuatu yang masih bisa dirasakan secara lahiriah itu masih bersifat fisik. Kesadaran berarti menyadari Keberadan yang Maha Ada. Sulit untuk dipahami? Memang sulit, dan sesungguhnya tidak perlu dipahami. Kamu harus mengalaminya. Jangan berupaya untuk memahaminya lewat panca indera, lewat pikiran, lewat mind – tidak bisa. Karena, sesungguhnya kamu lebih cepat daripada mereka semua. Kendati demikian, kamu juga tidak bergerak. * 2 Shambala
Anjani merenung, “Diriku begitu larut dalam pemujaan Bathara Guru, sehingga aku pun ingin mempunyai putra yang perkasa, seperti putranya Bathara Guru, Dewa Bayu.” Anjani melahirkan putra Hanuman yang berbulu putih, wajahnya perlahan-lahan kembali menjadi cantik kembali. Anjani menitipkan sang putera kepada adiknya Sugriwa yang menjenguknya dan meneruskan perjalanannya ke alam kelanggengan……..
Ada suatu masa kegelapan di mana kisah dibelokkan, Bathara Guru dikatakan ‘cluthak’, tidak tahan melihat wanita cantik, termasuk saat melihat tubuh Anjani yang indah. Itu hanyalah sebuah usaha untuk merusakkan budaya. Bathara Guru adalah salah satu kekuasaan Gusti dalam hal pendaur-ulangan alam. Benda apakah yang tidak didaur-ulang? Manusiapun setelah menjadi jasad juga akan didaur ulang. Kekuasaan, keperkasaan, kecantikan seseorang pun ada masanya di daur-ulang. Untuk memudahkan para leluhur menggambarkannya dengan patung atau gambar tertentu. Seperti halnya Gusti, kadang disebut berdasar kekuasaannya: Maha Besar, Maha Adil, Maha Pengasih, Maha Bijak. Bedanya hanya para leluhur menggambarkan salah satu kekuasaan dalam gambaran tertentu. Mengenai putra-putra Bathara Guru, menurut kami seperti dapat dijelaskan seperti istilah putra listrik. Lampu, setrika, kipas angin adalah putra-putra listrik. Sejatinya yang bekerja tetap listrik, demikian pula para Dewa, sejatinya yang bekerja adalah Gusti. Demikian menurut pendapat pribadi kami sampai dengan saat ini.
Renungan Hanuman ketika berada di Alengka
Hanuman sudah berada di Kerajaan Alengka. Dia mendapatkan tugas melihat kondisi Dewi Sinta yang ditawan Rahwana, sekaligus melihat situasi dan kondisi Alengka agar pasukan kera Sugriwa, pamannya dapat menemukan kelemahan-kelemahan pasukan raksasa Rahwana.
Dia melihat, dalam masyarakat raksasa juga terdiri dari beberapa kelompok. Selain yang keras dan buas, dia mendengar ada Kumbakarna yang suka bertapa dan tidak suka berperang, ada juga Wibisana yang lembut dan berwujud manusia yang mengedepankan kebenaran. Hanuman sendiri melihat sifat kesatriya pada diri Rahwana yang menghormati Dewi Sinta dan tidak mau memaksakan kehendak terhadap wanita lemah yang berada dalam istananya. Hanuman juga melihat Dewi Sinta yang agak kurus dan selalu bersamadi, “Luar biasa isteri Raja dan Guruku ini,” Hanuman bergumam sendiri.
“Gusti, ternyata sejarah kehidupan dunia ini berjalan rapi. Masing-masing makhluk mempunyai peran tersendiri. Ada yang sadar akan peran yang harus diembannya, ada pula yang tidak sadar, bahkan sampai kematiannya tiba. Masih banyak raksasa yang berpestapora memuaskan nafsunya, padahal dalam beberapa bulan ke depan mereka akan menjadi mayat yang bergelimpangan. Ada pula raksasa yang sadar bahwa jatahnya hidup di dunia tidak lama, dan hanya melakukan kebaikan. Gusti Dewi Sinta pun belum tentu mau kubawa melarikan diri dari Istana. Sudahlah Gusti, aku adalah hamba Sri Rama dan aku akan menjalankan tugas sebaik-baiknya. Dan ingatan dirinya menerawang ke masa silam…….
“Masih terbayang dalam ingatanku ketika Sri Rama menemui pamanku Raja Kera Sugriwa yang juga sedang kesusahan mendapatkan masalah karena salah paham dengan kakaknya Subali. Begitu melihat Sri Rama, diriku menjadi tenang, inilah pemanduku, yang akan membimbing diriku dalam mengarungi kehidupan ini. Bagi diriku, semua kejadian yang kualami berpuncak pada waktu bertemu guru pemanduku, Sri Rama. Diriku dapat merasa bahwa tugas yang diberikan Sri Rama kepadaku, bukan untuk kepentingan Sri Rama, tetapi untuk meningkatkan kesadaran diriku. Semua potensi spiritual yang berada dalam diriku seakan bangkit setelah bertemu Sri Rama, Avatara Titisan Wisnu, Keberadaan yang mewujud sebagai manusia untuk memandu diriku.”
Hanuman paham bahwa dalam menjalankan tugas melenyapkan adharma, seorang avatara selalu memerlukan beberapa murid sebagai teman seperjalanan. Yang diajak master adalah para pemain kawakan yang sudah saatnya naik kelas. Dewi Sinta yang hilang diculik Rahwana hanya ‘jalaran’, penyebab awal hancurnya adharma. Hanuman sadar: “Pada saat ajal tiba tak ada sesuatupun yang membantu, kecuali asma Gusti. Jangan mencari kepastian di dunia, dunia sendiri tidak stabil, tidak pasti. Badan yang kuanggap sebagai aku, berubah setiap saat. Pikiran yang kuanggap aku juga berubah setiap saat. Selama makhluk tidak mau menerima perubahan akan selalu gelisah”.
Kamu hanyalah sebuah alat di tangan Keberadan. Jadilah alat yang efektif, yang efisien. Yang sedang bekerja, sesungguhnya adalah tangan Dia, tangan Allah, Tangan Tuhan. Kamu cukup membuat dirimu lentur. Jangan menjadi keras dan kaku. Selanjutnya, Dia yang menentukan kamu digunakan bagaimana….. * 2 Shambala
Hanuman ingat pesan Sri Rama: “Jangan membanggakan badanmu. Jangan sombong. Tuhan tidak tersanjung oleh pujian manusia, tidak terhina bila tidak dipuji.”
“Menyebut nama Gusti membangkitkan ketuhanan dalam diri. Gusti, hanya engkau yang mampu menjinakkan hewan dalam diriku. Gusti, pertahankan kejinakannya. Bunuh raksasa dalam diriku. Orang yang terlalu cepat dan terlalu sering tergoda adalah orang yang berkeinginan banyak. Ingin uang, surga, kenikmatan dan lain-lainnya. Sedikit demi sedikit sang kala merampas nyawa, tetapi keinginan tetap menggunung”.
Dia ingat kala Sri Rama menyuruh dirinya memakai kain poleng hitam putih Rwabhineda. Saput poleng rwabhineda adalah dua sifat yang bertolak belakang, yakni hitam-putih, baik-buruk, utara-selatan, panjang-pendek, tinggi-rendah yang melambangkan ketegasan dalam ulah spiritual. Sri Rama bercerita tiga ribu tahun yang akan datang, juga akan ada ksatriya seperti dirinya yang memakai pakaian poleng yang sama, dia adalah putra kedua dari keluarga penegak dharma. Bahkan Sri Rama menyampaikan gambar dirinya akan dijadikan simbol pada kereta perang dari adik ksatriya tersebut.
Dalam mimpinya yang kurang begitu jelas, Sri Rama seakan-akan mengatakan dirinya nanti akan termasuk ‘Chiranjiwin’, beberapa makhluk yang dikaruniai usia ribuan tahun. Sri Rama juga menceritakan ‘Chiranjiwin’ yang lain seperti Guru Agastya yang sudah ada sebelum zaman Sri Rama dan nantinya di Dwipantara akan dikenal sebagi Semar. “Biarlah itu bukan urusanku, urusanku adalah menegakkan dharma dan hidupku dan matiku kupersembahkan pada Sri Rama.”
Semar bukan sekadar nama. Semar adalah suatu keadaan – state of being. Dalam bahasa Jawa, Semar merupakan gabungan, singkatan dari dua kata. ‘Se’ atau ‘sengsem’ dan ‘Mar’ atau ‘marsudi’. ‘Sengsem’ berarti ketertarikan, kesenangan, cinta. ‘Marsudi’ berarti ‘mencari’. Jadi, Semar adalah suatu keadaan di mana manusia mulai ‘senang mencari’. Ada yang mencari makanan. Ada yang mencari pasangan. Ada yang mencari kedudukan. Ada yang mencari ketenaran. Setiap manusia yang senang mencari, adalah ‘Manusia Semar’. Setiap bangsa yang senang mencari, adalah ‘Bangsa Semar’. Mau mencari apa saja, terserah. Asal mencari. Asal mencari terus. Dan pada suatu ketika, ‘kualitas pencarian’ kita akan meningkat. Saat ini masih sibuk mencari rumput. Pada suatu ketika dia akan mencari taman bunga. Saat ini masih sibuk mengumpulkan gundu. Pada suatu ketika nanti, dia akan mengumpulkan mutiara. Saat ini masih mengejar bayang-bayang. Kelak akan menyelami Kebenaran. * 3 Shalala
Pembawa peringatan Sri Rama
Hanuman menemui Dewi Sinta dan menceritakan maksud kedatangannya. Hanuman menyerahkan cincin milik Rama dan menyarankan agar Dewi Sinta terbang bersamanya ke hadapan Sri Rama, namun Dewi Sinta menolak. Dewi Sinta paham Sri Rama akan datang ke Alengka untuk menghancurkan adharma. Kemudian Hanuman mohon restu dan pamit kepada Dewi Sinta.
Akhirnya ia dapat ditangkap Indrajit, putra Rahwana dengan senjata ‘Bramastra’, senjata Brahma. Senjata itu melilit tubuh Hanuman. Ketika Rahwana hendak memberikan hukuman mati kepada Hanuman, Wibisana membela Hanuman agar hukumannya diringankan, mengingat Hanuman adalah seorang Duta, seorang ‘Utusan’.
Rahwana tetap berkeputusan untuk memberikan hukuman mati bagi Hanuman. Akan tetapi Hanuman dapat melepaskan diri dari jeratan dan kembali ke hadapan Sri Rama. Sebelum pulang ia memporak-porandakan taman Asoka di istana Rahwana. Ia membunuh ribuan tentara termasuk prajurit pilihan Rahwana.
Kera adalah binatang yang mempunyai sifat, terampil, lincah, sederhana, kuat dan patuh terhadap majikannya, hanya mereka akan kembali ke sifat asalnya ketika berada dalam kelompoknya. Hanuman memahami sifat kera dalam dirinya yang belum sepenuhnya habis. Dan sebelum sifat tersebut habis dia hanya melekatkan diri dengan Sri Rama. Hanuman harus dibayangkan sebagai benih kekuatan kera sakti yang berada di dalam diri, sedangkan Sri Rama adalah pikiran jernih yang berada di dalam diri. Zaman boleh berubah sesuai evolusi, tetapi pikiran manusia tetap meloncat-loncat liar tak keruan seperti kera. Bagaimana pun Pikiran Jernih atau Kebenaran tetap ada dalam diri. Melekat pada Pikiran Jernih dan Kebenaran akan mengkikis sifat ‘kekeraan’ diri.
Terima Kasih Guru. Semua terjadi berkat rahmat-Mu. Jay Gurudev.
Keterangan:
*1 Shangrila : Shangrila, Mengecap Sorga di Dunia, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.
* 2 Shambala : Shambala, Fajar Pencerahan di Lembah Kesadaran, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2000.
* 3 Shalala : Shalala, Merayakan Hidup, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.
http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
Juli 2009.