July 13, 2009

Pasopati , Senjata Andalan Arjuna sebagai Penakluk Hewan Dalam Diri

Manusia bukanlah “sesuatu” yang biasa. la adalah hasil dari evolusi panjang yang terjadi dalam alam yang tidak diketahui ujung serta pangkalnya; semesta yang tiada awal dan tiada pula akhirnya. Bukan sekadar kepekaan yang harus dimiliki manusia. la juga harus sadar akan jati dirinya sebagai manusia, sebagai makhluk yang bertanggung jawab untuk memperindah bumi ini, dan oleh karenanya peka terhadap segala sesuatu yang mengotori atau dapat mengotorinya. Ya, sadar dan peka. Itulah takdir manusia. *1 Neo Psyhic Awareness

Kakawin Arjuna Wiwaha

Pada awal abad ke 11, Mpu Kanwa menulis Kakawin Arjuna Wiwaha diperuntukkan bagi Sri Baginda Prabu Airlangga. Tulisan yang sangat halus dan penuh makna ini layaknya seperti ketika Sri Krishna memberi pelajaran kepada Arjuna dalam Bhagavad Gita. Pemahaman Kakawin Arjunawiwaha itu sangat penting sebagai persiapan Sang Prabu Airlangga yang berusaha mempersatukan Jawadwipa. Karena itu di dalam karya agung ini, pemeran utamanya bukan Dewa, tetapi Ksatria Arjuna sebagai gambaran Sang Prabu Airlangga sendiri.

Sang Arjuna dapat menghayati hukum alam semesta dan memahami dharmanya, peran dirinya dalam kehidupan ini. Dharmanya adalah memulihkan ketertiban dunia. Dan tugas tersebut sejalan dengan pelepasan dirinya dari ikatan duniawi, menuju kebahagiaan sejati. Arjuna memahami petunjuk Sang Guru Sejati: “Kebebasan sejati diperoleh ketika Arjuna bebas dari keinginan mencapai kebebasan.” Kebebasan sejati menyeluruh terjadi ketika “aku” dan “kamu” berakhir. Arjuna hanya menjalankan Dharma sepenuh hati, tidak lagi memikirkan tujuan lain, termasuk untuk mendapatkan kebebasan sejati, moksa. Prabu Airlangga perlu memahami dharmanya sebagai seorang raja yang mempunyai peran untuk menegakkan kebenaran dan membuat persatuan bangsa. Tugasnya hanya menegakkan kebenaran dan membuat persatuan bangsa, itu saja, hasilnya bagaimana tidak menjadi beban baginya, yang penting melakukan tugas dan larut dalam dharmanya……

Mpu Kanwa juga berusaha agar Sang Prabu Airlangga selalu meningkatkan kesadaran, lebih menghaluskan rasa.

Tidak berarti bahwa otak tidak perlu diasah. Tidak berarti bahwa ilmu tak berguna. Otak tetap harus diasah. Kegunaan ilmu juga tidak dapat dipungkiri. Keduanya perlu dan dibutuhkan. Asal kita tidak lupa bahwa bukan hanya itu yang menjadi kebutuhan kita, bila kita ingin menjadi pribadi yang utuh. Pengolahan otak dan penimbaan ilmu harus diimbangi dengan penghalusan rasa. Jangan sampai kita mengabaikan peran intuisi yang timbul dari rasa yang halus. Kemampuan untuk “mengenal fakta” datang dari ilmu. Kepekaan untuk “melihat kebenaran” berasal dari rasa. Keduanya dibutuhkan. Yang satu tidak dapat dikorbankan atau diabaikan demi yang lain. Walaupun demikian, bila saya harus memilih di antara keduanya, saya akan tetap memilih rasa, karena rasa yang berkembang pada akhirnya akan membuka bagi saya semua pintu ilmu. *1 Neo Psyhic Awareness

 

Tapa Arjuna dalam Kakawin Arjuna Wiwaha

Dikisahkan bahwa Arjuna bertapa karena kesadarannya sebagai ksatriya, dia ingin melakukan dharma kewajibannya di tengah masyarakat. Dia merupakan lambang pemimpin yang sanggup mengorbankan jiwa, raga dan harta bendanya demi negaranya. Dalam tapanya Arjuna diuji apakah tapanya demi ambisi pribadi atau benar-benar demi pengabdian murni.

Tujuh bidadari utusan Bathara Indra dengan kecantikan tak tertandingi menggoda Arjuna yang sedang bertapa di gunung Indrakila. Namun demikian oleh karena Arjuna telah berhasil mencapai  keteguhan hati,  maka ia tidak terganggu oleh godaan para bidadari jelita tersebut.

Selanjutnya Bathara Indra sendiri yang menguji apakah Arjuna benar-benar seorang ksatria yang penuh keyakinan, ataukah seseorang ‘resi’ yang melarikan diri dari keduniawian. Bathara Indra menyamar sebagai seorang resi tua yang memperolok dan menggugah rasa kesatriaan Arjuna. Ia muncul dalam bentuk seorang resi yg menghardik Arjuna, bahwa dengan segala tapa bratanya Arjuna belum mencapai kesempurnaan, karena sebetulnya Arjuna hanya mengejar pembebasan dirinya sendiri, ‘ego-spiritualis’. Dengan teguh Arjuna menjawab, bahwa tujuannya bukanlah untuk keselamatan diri, juga bukan untuk kepentingan keluarga Pandawa, melainkan untuk menyelamatkan kebenaran dalam peperangan akhir antara dharma melawan adharma. Demi dharmanya itu Arjuna berani menghadapi apa saja, bahkan kematian sekalipun akan dihadapinya.

Resi tua tersebut kembali wujudnya sebagai Bathara Indra. Bathara Indra berbahagia, karena telah menemukan seorang ksatria berbudi luhur yang akan mampu menghadapi Niwatakawaca, Raksasa Angkara Murka yang mengancam Kahyangan, Istana para Dewa.

Ujian berikutnya adalah Mamang Murka, raksasa utusan Prabu Niwatakawaca yang berwujud babi hutan raksasa yang menyerangnya dengan ganas. Akhirnya babi hutan tersebut mati dipanah oleh Arjuna. Persoalan timbul, karena babi hutan tersebut mati karena dua buah anak panah. Ternyata ada seorang ksatriya yang juga membidikkan anak panah ke babi hutan tersebut. Sudah selayaknya, Arjuna yang bertarung keras, berperang tanding penuh luka dengan babi hutan, dan akhirnya berhasil membunuh mati hewan tersebut, merasa lebih berjasa dari pada seorang ksatriya asing tanpa perkelahian sebelumnya yang langsung memanah babi hutan tersebut.

Sang Ksatriya mengajak berperang tanding, mengadu kesaktian. Akan tetapi, bagi Arjuna, nama bukan menjadi masalah, siapapun yang mendapatkan nama dan berhak mendapat karunia bukan menjadi pertimbangan Arjuna. “Wahai Ksatria, kalau kamu merasa berhak sebagai pembunuh Mamang Murka, dan mau melaporkan ke Kahyangan silakan. Bagiku, ada adharma yang mati sudah memadai, itu bentuk kasihku terhadap kebenaran”.  Arjuna ingat nasehat Sang Guru Sejati: “Kasih tidak mengharapkan imbalan. Kasih itu sendiri adalah imbalan. Kebahagiaan yang kau peroleh saat mengasihi itulah imbalan kasih”. *SMS Wisdom Anand Krishna

Sang Ksatriya merasa dipermalukan dengan pernyataan Arjuna yang menohok kecongkakannya, dan menyerang Arjuna sehingga terjadilah perang tanding yang luar biasa. Akhirnya baju perang Arjuna hancur, akan tetapi Arjuna berhasil mendekap kedua kaki musuhnya, sehingga musuhnya terjatuh dan perkelahian terhenti. Tiba-tiba ksatriya tersebut berubah wujudnya menjadi Bathara Guru.

Bathara Guru sangat terkesan atas kerendahan hati Sang Arjuna. Arjuna telah lulus ujian akhir dan oleh Bathara Guru, Kuasa Pengajar Sejati, diberi hadiah seperangkat senjata panah bernama Pasopati. Pashu, Pasu adalah hewan, sehingga Pasopati adalah Raja Hewan, julukan bagi Bathara Guru. Pasopati adalah senjata andalan untuk menaklukkan sifat kehewanan dalam diri. Senjata bagi mereka yang sudah ‘sadar’ akan adanya hewan di dalam diri dan mampu menaklukkannya.

Mpu Kanwa berusaha Sang Prabu Airlangga memiliki mind yang berkesadaran.

 

Mind berkesadaran

Lalu, apa yang terjadi bila pikiran atau mind sudah terlampaui? Apa yang dilakukan oleh mereka, yang konon sudah berkesadaran? Pertama: Apa yang terjadi? Mereka terbebaskan dari pengendalian “oleh” mind. Mereka keluar dari “penjara” mind; Kedua: Apa yang mereka lakukan? Mereka mengamati mind; mereka mengamati keadaan penjara di mana mereka ditahan selama ini. Karena itu, mereka dapat melihat dengan jelas dan jernih keadaan “diri” mereka. Mereka dapat memahami “sebab” atau “alasan” perilaku mereka selama ini. Kemudian, berdasarkan penglihatan dan pemahaman yang baru itu, mereka pun dapat “mengubah” keadaan; dapat melakukan transformasi atau perombakan total. Mereka dapat memperbaharui mind mereka. Mereka dapat menciptakan mind yang baru, mind berkesadaran. *1 Neo Psyhic Awareness

Ya, mind berkesadaran—itulah hasil akhir latihan—latihan  yang diberikan dalam buku ini. Itulah Psychic Awareness, Kesadaran yang meluas dan merangkul. Itulah Mind ciptaan kita sendiri, sesuai dengan kesadaran kita sendiri. Selama ini kita hidup dengan mind ciptaan orang, ciptaan masyarakat, ciptaan orangtua, ciptaan keadaan dan lingkungan di mana kita lahir dan tumbuh. Sekarang, saatnya kita memproklamasikan kemerdekaan diri. Kita tidak dapat mengubah keadaan di luar, tidak dapat mengubah masyarakat di sekitar, bila diri kira belum berubah. Perubahan diri dulu, baru perubahan keadaan di luar. *1 Neo Psyhic Awareness

 

Panah Pasopati

Dalam evolusinya yang panjang, sifat hewani masih ada dalam diri manusia. Pashu atau pasu adalah hewan yang sudah jinak. Kesadaran hewani dari tingkat kasar sampai sangat halus masih ada dalam diri manusia. Pertama: nafsu rendah, anjing kalau jalan menundukkan kepala, mencari-cari makanan, demikian juga manusia yang masih mengikuti nafsu rendah; Kedua: Ragu-ragu, hewan selalu mencium dulu sebelum makan, manusia yang cium baju sebelum dipakai, (cium wine sebelum diminum?).  Hewan selalu dalam keraguan demikian juga manusia yang masih mempunyai sifat hewani; Ketiga: takut, hewan takut kepada hal yang baru; Keempat: egois, hewan secara alami mendahulukan dirinya; Kelima: bersifat menjijikkan, keterikatan pada bau badan, tidak suka dimandikan. Bila bau badan saja belum disadari, apalagi bau pikiran dan perasaan; Keenam: memikirkan keluarga, mendahulukan keluarga daripada dharma; Ketujuh: terikat pada kebiasaan dan tradisi; Kedelapan: keterikatan pada yang sejenis. Mereka yang mengutamakan, kelompoknya, bangsanya, sukunya, keyakinannya, masih memiliki sedikit sifat kehewanan belum sepenuhnya menjadi manusia.

Ya, manusia bukanlah “sesuatu” yang biasa. la adalah hasil dari evolusi panjang yang terjadi dalam alam yang tidak diketahui ujung serta pangkalnya; semesta yang tiada awal dan tiada pula akhirnya. Bukan sekadar kepekaan yang harus dimiliki manusia. la juga harus sadar akan jati dirinya sebagai manusia, sebagai makhluk yang bertanggung jawab untuk memperindah bumi ini, dan oleh karenanya peka terhadap segala sesuatu yang mengotori atau dapat mengotorinya. Ya, sadar dan peka. Itulah takdir manusia. Bila sekadar kepekaan, makhluk-makhluk lain pun memilikinya… “sudah” memilikinya dari sono. Mereka tidak perlu melakukan upaya apa pun untuk itu. Perhatikan burung. Sebelum bertelur, mereka membuat sarang. Untuk itu, mereka “memilih” pohon di mana mereka akan membuat sarang. Pohon “pilihan” itu hampir dapat dipastikan tidak akan kena petir. Kenapa bisa begitu? Karena setiap pohon mengeluarkan gelombang elektro-magnetis yang dapat dideteksi oleh burung. Mereka juga dapat “merasakan” intensitasnya, sehingga dengan mudah mereka menghindari gelombang yang dapat mengundang petir. *1 Neo Psyhic Awareness

Manusia tidak bisa bebas sepenuhnya dari instink hewani. Bagaimana bisa bebas sepenuhnya? Bebas dari sifat-sifat ini, ya berarti mati. Kita tidak bisa bebas dari hewan di dalam diri, tetapi bisa menjaga kejinakannya. Sadarlah selalu oleh karena itu berarti kendalikan hewan di dalam diri. Janganlah engkau terkendali olehnya. *2 Bhaja Govindam

Seorang meditator pun masih memiliki sifat-sifat hewani. Itu tidak dapat dihindari. Yang dapat dia lakukan hanya satu. Dan penjinakan bukanlah sesuatu yang Anda lakukan satu kali saja. Penjinakan adalah proses sepanjang usia, seumur hidup. Jangan kira sekali terjinakkan hewan di dalam diri menjadi jinak untuk selamanya. Tidak demikian. Hewan-hewan buas nafsu, keserakahan, kebencian, kemunafikan, dan lain sebagainya—termasuk boss mereka, majikan mereka yaitu gugusan pikiran yang kita sebut mind—membutuhkan pengawasan ketat sepanjang hari, sepanjang malam… sepanjang tahun..sepanjang hidup. *2 Bhaja Govindam

Arjuna telah mempunyai senjata Pasopati, penjinak hewan di dalam diri. Kesadaran Arjuna sudah melampaui kesadaran hewani.

Berada pada tingkat kesadaran ini, kita baru mengambil langkah pertama dalam hal memanusiakan diri. Kasih merupakan sifat manusia. .. Kasih mampu menyaring sifat-sifat hewani kita. Berada pada tingkat kasih, Anda sudah tidak bisa menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang lain. Anda tidak bisa merugikan orang lain demi keuntungan pribadi. *3 Kundalini Yoga

 

Prabu Niwata Kawaca

Jauh berbeda dengan Arjuna, pembawaan Sang Prabu Niwatakawaca sebagai raksasa sakti penuh dengan hawa napsu keangkara-murkaan. Dalam keangkuhan dan kesombongan dirinya Sang Raksasa berniat untuk menghancurkan kahyangan dan menundukkan para dewa. Seseorang yang merasa sangat berkuasa, segala kehendaknya harus terpenuhi, sebetulnya dia tengah melawan kahyangan, pusatnya kekuasaan suci yang berada di hati nurani. Walaupun orangnya mungkin sopan dan lemah lembut, apabila  bertindak meninggalkan hati nurani, oleh leluhur kita digambarkan sebagai Raja Raksasa yang melawan kahyangan, pusatnya kekuasaan sejati yang bersemayam dalam hati nurani.

Prabu Niwatakawaca dianugerahi  kesaktian dan tidak  akan  mati di tangan Dewa dan Raksasa. ‘Mind’, ego yang serakah tidak dapat ditundukkan dengan kebaikan dan ancaman dari ego individu lainnya. Yang dapat mengalahkannya hanya Sang Arjuna yang suka bertapa, mengendalikan diri dan mempunyai senjata penakluk kehewanan diri yang sakti. Hanya pengendalian diri, kesabaran dan pemahaman tentang sifat kehewanan diri yang dapat mengalahkan ‘mind’, ego yang serakah dan penuh kecongkakan.

Sang Niwatakawaca adalah makhluk pashu yang pasha, terikat oleh maya, ilusi dunia. Dalam keangkaramurkaannya ia ingin menghancurkan kahyangan, menundukan Bhatara Indra, Kuasa Kebenaran dan merebut Dewi Suprabha, Cahaya Ilahi. Rajas, keangkaramurkaan napsu dan tamas, kegelapan batin yang menyelimuti jiwanya gagal untuk memperoleh Suprabha, Cahaya Ilahi.

Bagaimanapun, Prabu Niwatakawaca tidak tahan terhadap bujuk rayu Dewi Suprabha, sehingga terpancinglah keluar rahasia kelemahan dirinya yang terdapat  di ujung  lidahnya. Bagaimana pun cahaya ilahi tetap berusaha untuk mencari kelemahan ‘mind’, ego yang serakah. Dan akhirnya ketahuan juga bahwa kelemahan Raksasa ‘Mind’ Niwatakawaca adalah di ujung lidahnya.

Rasa makanan sudah terbentuk di lidah. Lidah yang hanya selalu makan yang enak saja, akan sulit menerima rasa makanan yang kurang enak. Keterikatan paling nyata bagi manusia dewasa adalah selera makanan. Orang dewasa yang terbiasa makan nasi gudeg yang manis akan sulit menerima masakan India yang penuh rempah-rempah. Lain halnya dengan anak kecil yang keterikatannya terhadap pola tertentu belum addiktif. Kesadaran tentang keterikatan lidah, bisa berkembang terhadap keterikatan duniawi lainnya. Hanya Arjuna, pikiran jernih yang bisa mengendalikan diri dan sabar dalam menghadapi semua permasalahan hidup dapat mematikan ‘mind’, yang dalam hal ini dimulai dari pemahaman tentang keterikatan terhadap lidah.

Dalam hal pembicaraan yang menggunakan mulut dan lidah, ‘mind’ dapat terbentur-bentur ketika lidahnya sering menyakiti orang banyak. Kesadaran bahwa lidah dapat membuat banyak masalah, membuat pikiran jernih muncul untuk mengendalikan lidah. Dan ‘mind’ pun dapat dikalahkan.

 

Arjuna Wiwaha

Dengan bantuan Dewi Suprabha, maka Arjuna dapat mengetahui kelemahan Prabu Niwatakawaca yaitu dilidahnya. Dalam perang tanding, Arjuna sengaja jatuh berguling-guling yang membuat Prabu Niwatakawaca tertawa terbahak-bahak. Pada waktu kegirangan tersebut, lidahnya nampak dan segera dieksekusi dengan anak panah Pasopati oleh Arjuna.

Selanjutnya, Arjuna kembali ke kahyangan untuk merayakan kemenangannya melawan Prabu Niwatakawaca. Arjuna pun menerima karunia untuk melaksanakan wiwaha, pernikahan dengan ketujuh bidadari termasuk Dewi Suprabha yang  pernah menggodanya pada waktu dia bertapa. Setelah berada di kahyangan selama tujuh purnama, kembalilah Arjuna ke alam Ngarcapada untuk berkumpul dengan saudara-saudaranya.

Kembalinya Arjuna ke Dunia Ngarcapada, dimaksudkan Mpu Kanwa sebagai kembalinya Prabu Airlangga meneruskan dharmanya setelah dia menemukan jati dirinya sebagai Arjuna.

Mpu Kanwa memberi petunjuk kepada Prabu Airlangga untuk melakukan semua tindakan yang dilakukan Arjuna. Dan, setelah Prabu Airlangga menemukan jati dirinya, maka tugas, dharmanya di dunia akan dapat diselesaikan dengan penuh kesadaran.

Arjuna mendapatkan tujuh bidadari dan turun ke Ngarcapada. Ada yang menggambarkan sebagai seorang Maitreya yang turun dengan penuh tawa dari Gunung Kesadaran dengan baju telanjang dan membawa arak. Seorang suci turun ke dunia setelah ‘mencapai ke langit ketujuh’. Seorang yogi yang kesadarannya berada di cakra ketujuh. Seorang yang ‘telah terjaga’ turun ke dunia sehingga harus menurunkan kesadaran di kualitas ‘buddhi’ agar bisa berkomunikasi dengan manusia. Intinya adalah seorang yang telah ‘Cerah’ turun ke dunia mengubah keadaan.

Cerah dulu baru berdharma-bakti? Sampai akhir hayat pun belum tentu ‘Cerah’ atau mencapai puncak kesadaran. Berdharma-bhakti dulu sebelum mencapai puncak kesadaran? Banyak yang terbukti dalam perjalanan sering melenceng dari tujuan semula, karena belum bertindak penuh kesadaran…… Para Master pun mempunyai pendapat berbeda tentang hal ini.

Bagi kami lebih baik mengikuti Guru yang telah ‘turun gunung’, terus berkarya dan terus meningkatkan kesadaran……. Jalan itu adalah jalan yang telah diambil para leluhur. Setiap raja dan para pemimpin pun sejak dulu selalu mempunyai Guru……..

Semoga putra-putri Nusantara ingat akan kearifan leluhurnya dan berbhakti pada Ibu Pertiwi.

Terima Kasih Guru. Semua berkat rahmat Guru.

Keterangan:

*1 Neo Psyhic Awareness :           Neo Psyhic Awareness, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2005.

*2 Bhaja Govindam :                   BHAJA GOVINDAM Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara,

                                                                        Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2004.

*3 Kundalini Yoga :                      KUNDALINI YOGA, dalam hidup sehari-hari, Anand Krishna, PT. Gramedia            Pustaka Utama, 1999.

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

Juli 2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone