Adipati Karna sadar bahwa pihak Korawa yang dipilihnya berada di pihak yang salah. Akan tetapi, pada saat negeri Hastina berperang, dia merasa mendapat anugerah untuk mempersembahkan jiwa dan raganya sebagai balas budi terhadap kemuliaan yang telah diterimanya. Karna berperang sepenuh hati demi negara yang selama ini memberikan kehidupan dan kehormatan kepadanya. Yang Maha Kuasa telah memberi kesempatan untuk berbakti terhadap negara, dan anugerah itu diterimanya dengan penuh kebanggaan. Bagi Karna perang ini bukan saat berpikir menang atau kalah, dia larut dalam persembahannya, mati pun dia rela…….
Sri Mangkunegara IV
Figur teladan kedua dalam Serat Tripama karya Sri Mangkunegara IV adalah Adipati Karna. Sri Mangkunegara IV sendiri adalah seorang raja yang bijaksana, yang mampu menggugah semangat warganya untuk berjuang tanpa pamrih demi negara. Beliau pun seorang pengusaha yang handal dengan mendirikan Pabrik Gula di sekitar Surakarta yang merupakan pabrik yang sukses pada zamannya. Beliau meneruskan nasehat Sri Mangkunegara I yang berpesan bahwa setiap warga harus: “Melu handarbeni, melu hangrungkebi, mulat sariro hangroso wani” bagi negaranya. Setiap warga harus bertanggung jawab: merasa memiliki, membela dengan penuh pengorbanan, serta mengadakan intropeksi terhadap tindakan bangsanya.
Pesan Penggagas National Integration Movement (N.I.M), Bapak Anand Krishna
Bagimu, barangkali, sekadar Tanah-Air… Sebidang tanah yang dapat kau jual-belikan, dapat kau gadaikan demi kepingan emas… Dan, air yang tidak perlu kau tahu sumbernya, asal dapat kau minum. Hari ini kau masih memijakkan kakimu di atas tanah ini, besok kau akan memijakkan kakimu di atas tanah yang lain, dan melupakan tanah ini. Hari ini kau masih minum air dari sumur yang satu ini, besok kau bisa memilih sumur yang lain.
Bagiku, Indonesia adalah Ibu Pertiwi. Aku tidak dapat menggadaikan ibu demi surga, demi agama, demi apa saja – apalagi demi kepingan emas yang tak bermakna. Aku lahir “lewat” ibu kandungku, namun yang “melahirkan”ku sesungguhnya Ibu Pertiwi. Bagiku, Dialah Wujud Ilahi yang Nyata sekaligus Tak-Nyata…
Pernah kukatakan sebelumnya, mengabdi kepada-Nya adalah bagian dari Imanku… Sekarang harus kuralat pernyataanku tadi. Mengabdi kepada-Nya, kepada Ibu Pertiwi, itulah imanku, satu-satunya imanku. Itulah agamaku, itulah kepercayaanku.
Engkau yang masih mencari surga, kenikmatan surgawi. Kuucapkan selamat kepadamu. Bagiku, pengabdian kepada Ibu Pertiwi, itulah surga. Itulah kenikmatan yang paling tinggi.
Sembah Sujudku pada-Mu, Ibu Pertiwi..
Bende Mataram, Bende Mataram …
Pertemuan Adipati Karna dengan Dewi Kunti sebelum perang bharatayuda
Ada pertanyaan yang muncul di benak Karna ketika sesosok wanita asing sederhana, agung dan berwibawa menghampiri dirinya saat melaksanakan dewa puja kepada Yang Maha Kuasa dalam salah satu wujud kekuasaan-Nya, Sang Surya, yang mulai terbenam di sungai Gangga. Ada pancaran kehangatan rasa keibuan yang terpancar di wajah wanita itu.
“Hamba adalah Karna, putera dari kusir Adhirata. Hamba duduk di tepi sungai Gangga yang suci ini untuk melakukan dewa puja kepada Sang Surya yang sedang terbenam. Katakan kepada hamba, siapakah gerangan Tuan Putri?” Betapa kagetnya Karna ketika perempuan agung itu berkata, “ Aku adalah wanita yang pertama kali membuat dirimu mengenal cahaya Ilahi yang tengah kau puja itu.”
Karna melanjutkan: “Hamba tidak paham, akan tetapi sinar mata Tuan Putri begitu meluluhkan hati hamba bagaikan ciuman sinar matahari di pagi hari yang mencairkan salju di puncak gunung Himalaya, dan suara Tuan Putri memunculkan sebuah kesedihan gelap di dalam diri hamba yang nampaknya akan dapat benar-benar membuka rahasia ingatan hamba yang terdahulu. Katakan padaku, wahai Tuan Putri, misteri apakah yang menyelubungi diri Tuan Putri?”
Dan Dewi Kunti pun menceritakan kisah kelahiran Karna…………………..
Kemudian Karna melihat bahwa tubuh Dewi Kunti bergetar, kedua belah matanya yang mempesona itu melelehkan air mata, tatkala mendengar perkataan dari dirinya: “Kalau pun Tuan Putri adalah ibu hamba, dan Prabu Yudistira, Raden Bhima dan Raden Arjuna adalah adik-adik hamba, maka hamba tidak akan mau dikategorikan sebagai ‘pencuri’ yang telah menikmati kehidupan dan kehormatan tanpa mengembalikan sesuatu……..”
Karna dapat merasakan betapa tercabik-cabiknya hati ibunya, melihat putranya takut menerima kenyataan bahwa sang ibu adalah seorang putri bangsawan yang terhormat. Kalaupun sang putra dapat menerima sebagai ibunya, dia tetap akan berperang melawan negara ibunya karena tidak mau disebut sebagai ‘pencuri’. Mungkin ibunya belum jelas benar tentang makna ‘pencuri’….. Biarlah, alam akan memberikan penjelasan pada waktunya. Baginya dia telah bersuara, dan sementara ini sudah cukup………
Konon, setelah perang usai, Arjuna, adiknya, menyampaikan kepada ibunya penjelasan tentang Bhagavad Gita yang diperolehnya dari Sri Krishna. Dalam Bhagawad Gita Percakapan Ketiga, Karma Yoga, Sri Krishna bersabda: “Alam ini memberi apa yang kau inginkan sebagai pengganti persembahanmu. Tetapi bagi yang menikmati pemberian alam tanpa mengembalikan sesuatu, akan dipertimbangkan sebagi seorang ‘pencuri’. Ia yang berkarya dengan semangat persembahan menikmati hasilnya, dengan cara demikian ia terbebaskan dari semua kejahatan. Mereka yang mementingkan diri sendiri, dengan cara demikian mereka memperoleh ketakmurnian”. *1 Bhagavad Gita
Dalam pertemuan yang membekas dalam di sanubarinya, Karna mendengar ibunya berkata pelan, “Putraku, aku telah mendengar bisikan Sri Krishna dalam mimpiku, aku melihat kedua putraku sedang berperang tanding mewakili dua belah pihak, mayat begelimpangan di sekeliling medan pertempuran. Aku melihat diriku berada di sanggar pamujan sendirian, dan dalam mimpi tersebut, aku begitu tabah, “Aku telah serahkan semuanya kepada Sri Krishna. Kalau ini merupakan pembayaran karmaku, aku terima Krishna. Aku pasrah terhadap-Mu.”
“Wahai putraku, aku telah menjalani garis hidupku, garis yang sebetulnya kubuat sendiri di masa-masa lalu, dan aku bangga mempunyai peran besar dalam Skenario Agung ini. Aku bangga padamu putraku. Pesanku, apa pun kesalahan yang telah kamu perbuat, kamu tetap diberi kesempatan untuk memperbaikinya. Perbaikilah segera, tidak perlu menunggu memperbaikinya di kehidupan kemudian.”
Dan, kedua mata Karna basah oleh air mata yang mengalir deras, kala nelihat putri anggun itu pergi meninggalkannya. Diperhatikannya punggung sang putri yang menjauh pelan-pelan. “Gusti, aku bangga, ternyata aku putra dari seorang Ibu Agung. Apalagi yang harus kulakukan kecuali memperbaiki kesalahanku dan membela Ibu Pertiwi…..”.
Benaknya menerawang pada para sahabatnya, kaum Korawa, Shakuni yang licik, Drona yang pendendam, Duryudana yang mau menang sendiri, Burisrawa yang menggunakan kekerasan untuk mencapai keinginannya, Prabu Drestarastra yang memanjakan putra dan kelompoknya. “Bangsaku sedang mengalami krisis intelegensia, hanya menuruti nafsu angkara yang dipimpin pikiran yang belum jernih, yang hanya mau menang sendiri.” “Lamun keruh ti girang komo ka hilirna, kalau yang di hulu, pemimpin keruh, bagaimana lagi masyarakat bawah.”
Bangsa kita saat ini sedang mengalami krisis intelegensia, krisis “budhi”, krisis kesadaran. Ada yang berintelegensia tinggi dan bisa menerima perbedaan, tetapi ada juga yang berintelegensia sangat rendah, sehingga tidak bisa menerima perbedaan. Mereka ingin menyeragamkan segala sesuatu. Akibatnya, kita berada di ambang disintegrasi. Jalan keluarnya hanya satu: yang berintelegensia rendah meningkatkan intelegensia diri. Atau yang berintelegensia tinggi turun ke bawah. Bergabung dengan mereka yang berintelegensia rendah. Perbedaan keduanya cukup jelas, mind atau mano selalu melihat dualitas; intelegensia atau budhi selalu melihat kesatuan. Sebetulnya, budhi juga melihat perbedaan, tapi ia melihat kesatuan di balik perbedaan. Sementara ‘mind’ hanya melihat perbedaan. Budhi melihat isi; mano melihat kulit.*2. Atma Bodha
Putra dari Dewi Kunti
Seekor induk ayam, bertelor, bertapa mengerami telor-telornya, dengan hening, sabar dan penuh kasih menunggu menetasnya mereka. Setelah menetas, sang induk melindungi, mengajari anak-anaknya mencari makan sampai mereka bisa hidup mandiri.
Seorang ibu mempersiapkan jiwa danraganya agar sel telurnya dibuahi. Selanjutnya telur yang menjadi sel induk tersebut, dipelihara dalam rahim yang kokoh dan difasilitasi untuk menggandakan diri, berkembang menjadi calon bayi, dan dibawa kemanapun juga selama sembilan bulan sepuluh hari. Setelah sang bayi lahir, diberinya makan dari air susunya, diajarinya bicara dengan penuh kesabaran, bahkan terus menerus didoakannya sampai akhir hayat nya.
Seorang penulis, pematung, penggubah lagu, bahkan seorang CEO Perusahaan juga merenung lama untuk ‘melahirkan’ karya-karyanya dan memolesnya agar menjadi karya yang indah, bermanfaat, agar dapat dinikmati masyarakat luas. Kasih Ibu berada dalam diri setiap manusia, setiap hewan, setiap tumbuhan, setiap sel dan pada seluruh alam semesta. Melahirkan, mengungkapkan pikiran dengan tindakan, menghasilkan karya, melindungi dan memeliharanya dengan tulus, dengan penuh kasih adalah sifat kasih ibu dalam diri setiap manusia.
Cerita Dewi Kunti membuat benak Karna bergolak, dan tiba-tiba dalam benaknya, terbayang diri sang ibu pada saat masih remaja……….. Sebagai seorang remaja, keingintahuan Dewi Kunti teramat besar. Dewi Kunti ingin tahu keampuhan mantra yang dihadiahkan Resi Durwasa kepadanya. Dewi Kunti memperhatikan Sang Surya, dia paham bahwa semua makhluk di bumi hanya hidup berkat adanya Sang Surya. Tanpa adanya Sang Surya, semua makhluk di bumi ini akan punah. Dewi Kunti merapal mantra pemberian Resi Durwasa dan mengakses kekuatan matahari, dan dia kaget akan hasilnya, ternyata rahimnya diberkahi seorang putra dari Sang Surya. Sebagai seorang ibu dadakan, Dewi Kunti berada dalam dilema, memilih menjaga nama baik kerajaan dan orang tuanya atau memelihara Sang Putra.
Dewi Kunti Berdoa kepada Yang Maha Kuasa: “Duh Gusti, kami telah melakukan kesalahan, kami memahami tentang hukum sebab akibat, kami akan membayar kesalahan tindakan kami ini di kemudian hari. Akan tetapi dengan tingkat kesadaran kami pada saat ini, kami mohon Gusti memberikan jalan keluar, agar kami tidak merepotkan kedua orang tua kami dan juga agar kerajaan ini tidak terkena fitnah. Hamba rela memikul akibat ini sendiri, Gusti”.
Alkisah doa Sang Dewi terkabulkan. Bila pada saat ini keluarnya bayi bisa lewat bedah sesar, maka pada saat itu sang bayi putra Kunti dikeluarkan lewat karna, telinga. Sang Putri melahirkan seorang putra yang sejak lahir telah mengenakan anting-anting dan baju pelindung. Dewi Kunti meletakkan bayinya di dalam keranjang, dilarung, dibiarkan mengikuti aliran Kali Gangga.
Bisikan selanjutnya dapat didengar lewat hati nurani Dewi Kunti:”Kau harus mempersiapkan mental dan syaraf-syarafmu, kau akan mengalami penderitaan yang luar biasa akibat tindakanmu. Akan tetapi kau tidak akan sendiri, kau akan ditemani putra-putramu dalam menyelesaikan hutang piutang karma serupa. Pakailah pikiran jernih! Bersama putra-putramu nanti pedomanilah salah seorang keponakanmu, yang merupakan titisan Batara Wisnu, dialah yang menjadi pikiran jernih dalam jiwamu.”
Karna terhenyak, itulah sebabnya, Sang Ibu hanya mengalami pergolakan sebentar. Apa yang menjadi beban sudah diserahkan kepada sang Guru, Krishna. Semuanya sudah dipasrahkan, hanya tinggal mengikuti petunjuk Guru. Betapa bahagianya ibunya yang sudah dapat menyerahkan segalanya pada Sang Guru. Krishna menurut Ibunya adalah perwujudan Gusti yang membimbingnya. Arjuna dan seluruh Pandawa adalah murid Krishna. Karna membandingkan Krishna dengan Guru Drona dan patih Shakuni, dan amat beda jauh……. “Biarlah itu semua masa laluku. Dalam darahku ada darah Dewi Kunti, Bhakta Sri Krishna. Sri Krishna yang wajahnya berkilau cemerlang. Sifat Sang Surya pun kumiliki, selama ini aku lupa jati diriku. Aku terperangkap dengan permainan otakku. Semoga virus kesadaran yang terbawa ibu dapat mengubah diriku.”
Para avatar, para nabi, para mesias, para buddha tidak “jatuh seperti Anda. Mereka “turun” dengan penuh kesadaran. Karena itu, wajah mereka berkilau cemerlang. Karena itu, berada dekat seorang avatar saja sudah cukup. Anda akan ketularan virus kesadaran. Tidak bisa tidak. Virus kesadaran yang ditularkan oleh seorang avatar ibarat benih yang ia tanam dalam jiwa Anda. Seterusnya, Anda masih harus menyiraminya dan memupukinya. Jika tidak, biji itu tidak akan tumbuh sehat. Bahkan bisa tidak tumbuh sama sekali. Anda harus mempersiapkan lahan diri, sehinga biji kesadaran bisa tumbuh subur. *2 Atma Bodha
Pertarungan Karna melawan Arjuna
Adipati Karna sadar bahwa pihak Korawa yang dipilihnya berada di pihak yang salah. Akan tetapi, pada saat negeri Hastina berperang, dia merasa mendapat anugerah untuk mempersembahkan jiwa dan raganya sebagai balas budi terhadap kemuliaan yang telah diterimanya. Karna berperang sepenuh hati demi negara yang selama ini memberikan kehidupan dan kehormatan kepadanya. Yang Maha Kuasa telah memberi kesempatan untuk berbakti terhadap negara, dan anugerah itu diterimanya dengan penuh kebanggaan. Bagi Karna perang ini bukan saat berpikir menang atau kalah, dia larut dalam persembahannya, mati pun dia rela…….
Ego pribadi telah dilepaskan oleh Karna. Untuk menang berperang-tanding melawan Arjuna, Karna mempunyai sebuah senjata andalan panah Kuntawijayadanu, panah sakti bak peluru kendali yang tidak pernah meleset dari sasarannya. Ketika Kresna menyuruh Gatotkaca menyerang pihak Korawa, Karna bisa saja mengikuti egonya yang mau menang perang-tanding melawan Arjuna, sehingga tidak memakai senjata andalannya.
Tetapi Karna telah mengalahkan egonya, melihat pasukannya kewalahan menghadapi Gatotkaca, senjata andalannya direlakan demi pasukannya, dan senjata andalannya dapat menewaskan Gatotkaca.
Bagi orang awam, tanpa senjata andalan Kuntawijayadanu, Karna akan kalah dari Arjuna. Akan tetapi bagi Karna pribadi, dia telah menang perang melawan egonya. Dia telah mengikuti dharma ksatriya untuk membela prajurit-prajuritnya dan dia rela dengan konsekuensi kekalahan dan kematiannya. “Yang akan mati hanya tubuhku, diriku, rohku tidak mati, aku akan menunggu untuk mendapatkan tubuh baru untuk memperbaiki evolusiku.”
“Kuakui aku pernah menjadi seorang kstriya yang angkuh dan egois, akan tetapi sekarang bukan saatnya memikir menang atau kalah, aku telah larut dalam persembahan bagi Ibu Pertiwi, aku membela Ibu Pertiwi sampai titik darah yang penghabisan.”……. Dan Karna gugur kena panah Arjuna, putra sang ibu kandungnya.
Pesan Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia
“…..tatkala saya masih muda, saya telah gambarkan negara yang akan datang dan tanah air yang akan datang, tanah air yang kita pijak buminya itu, saya gambarkan sebagai ibu kita. Ibu, oleh karena itu kita berkata Ibu Pertiwi. Ibu, dan kita menyebutkan negara kita pada zaman dahulu Mataram. Ibu….. Dan kita pun sekarang berkata, bukan saja Mataram, tetapi Ibu Pertiwi, Ibu kita. Kita berkewajiban jikalau benar-benar kita mencintai Ibu kita ini, kita harus menyumbang pada Ibu kita. Di dalam ucapan-ucapan saya tatkala saya masih muda, saya berkata, kita semua berkewajiban untuk menyumbangkan bunga , bunga untuk mempercantik konde, sanggulnya Ibu kita ini. Harus, semuanya harus menyumbangkan bunga kepada sanggul kita punya Ibu. Engkau bisa menyumbangkan apa? Engkau bisa sumbangkan melati? Berilah melati! Engkau bisa menyumbangkan apa? Bisa menumbangkan mawar? Berilah mawar! Engkau bisa menyumbangkan apa? Bisa menyumbangkan kenanga? Berilah kenanga! *3 Bagimu Ibu Pertiwi
Semoga putra-putri Ibu Pertiwi dapat mengikuti para teladan yang berani berkorban demi Ibu Pertiwi.
Terima kasih Guru. Semua terjadi berkat rahmat Guru.
Jay Gurudev!
Keterangan:
*1 Bhagavad Gita : Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan, PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.
*2 Atma Bodha : ATMA BODHA Menggapai Kebenaran Sejati Kesadaran Murni dan Kebahagiaan Kekal, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.
*3 Bagimu Ibu Pertiwi : Bagimu Ibu Pertiwi, Realisasi Nilai-Nilai Luhur Bhagavad Gita Demi Kebangkitan Jiwa Indonesia, Anand Krishna, One Earth Media, 2005.
http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
Juli 2009.