December 10, 2009

Mutiara Kehidupan: Ande Ande Lumut, Antara Hukum Rimba dan Ajaran Leluhur

Berada pada tingkat Bhoutik, kesadaran fisik, kita tidak bisa melepaskan diri kita sepenuhnya dari tarikan-tarikan hawa nafsu. Kita masih terobsesi oleh keduniawian. Berada pada tingkat Daivik, kesadaran psikis, energi, seseorang mulai melihat persamaan antara segala sesuatu yang kelihatannya berbeda. Bentuk fisik kita berbeda, tetapi proses pernapasan kita sama. Bumi di mana kita berpijak huga sama. Berada pada tingkat ini, kita akan sangat terbuka. Sudah tidak perlu pindah agama lagi. Kita bisa mempelajari setiap agama tanpa harus meninggalkan agama kita sendiri. Pada tingkat ini, cinta mulai bersemi. Kita akan mencintai sesama makhluk, bukan hanya sesama manusia. Kita mulai sadar bahwa segala sesuatu itu ciptaan Tuhan yang satu dan sama. Yang terakhir adalah kesadaran Adhyatmika. Lapisan kesadaran ini akan membuat kita semakin dekat dengan Tuhan, dengan alam semesta. Tingkat ini hanya dapat dirasakan, tidak adapat dijelaskan…. Menurut Sri Mangkunagoro, sruning brata kataman wahyu dyatmika: dengan latihan-latihan tertentu, Anda akan menerima wahyu yang berasal dari kesadaran Adhyatmika. Berarti, Anda akan dituntun oleh kesadasran Anda sendiri. *1 Wedhatama halaman 73

 

Kisah Ande-Ande Lumut

 

Seorang Ibu bercerita kepada anak gadisnya, “Kemarin bunda bercerita tentang preya dan shreya, pilihan antara kemuliaan dan kenikmatan instant. Sekarang bunda akan bercerita tentang kearifan para leluhur kita yang rasanya lebih dekat dengan jiwa Bhagawad Gita daripada pendekatan hukum rimba ala Machiaveli maupun Sun Tzu yang dilakukan secara membabi buta. Keberhasilan dengan menghalalkan segala akan menerima akibatnya di kemudian hari atau di kelahiran mendatang, karena di dunia ini ada hukum alam yang berjalan sangat rapi. Yang mati itu hanya fisik, raga seseorang, tidak dengan jiwanya yang harus mempertanggungkan semua perbuatannya di kemudian nanti. Bhagawad Gita lebih dekat dengan nurani, sedangkan penggunaan hukum rimba berfokus pada pikiran yang menghalalkan segala macam cara untuk memperoleh keinginannya.   

 

Raja Jenggala dan Raja Kediri ingin mempererat persaudaraan antara dua kerajaan. Kebetulan Panji Asmarabangun pangeran dari Jenggala sudah bersahabat dengan Dewi Sekartaji putri dari Kediri sejak kecil. Sehingga kedua raja sepakat mereka akan dinikahkan karena sang pangeran dan sang putri pun saling mencintai.

 

Keputusan Raja Kediri untuk menikahkan Dewi Sekartaji, sang putri dengan Panji Asmarabangun membuat Padukasari, istri kedua baginda raja gundah, karena dia ingin menikahkan putrinya Intansari dengan Panji Asmarabangun. Dia paham putra dari perkawinan tersebut dapat menjadi raja dari dua kerajaan yang menyatu. Padukasari kemudian menculik Dewi Sekartaji beserta Dewi Candrawulan, ibunya, dan mereka disandera dan disembunyikan di rumah di tepi hutan.

 

Pada saat Panji Asmarabangun datang untuk meminang, dia sangat kecewa, karena Dewi Sekartaji raib tak ketahuan rimbanya. Permintaan Padukasari agar dia menikah dengan Intan Sari ditolaknya, dan dia segera pergi mengembara mencari kabar sang kekasih hati, Dewi Sekartaji.

 

Sementara itu Dewi Candrawulan berhasil mengirim surat kepada baginda raja lewat merpati sehingga ibu dan anak tersebut dapat dibebaskan. Padukasari dan Intan Sari ketahuan belangnya dan melarikan diri, tak ada kabarnya lagi. Dewi Sekartaji diberitahu bahwa sang pangeran sudah tidak berada di istana dan konon tengah mengembara mencari dirinya.  Dewi Sekartaji punj langsung ke luar istana mengembara mencari kabar tentang sang kekasih hati.

 

Dewi Sekartaji akhirnya bekerja pada seorang janda dengan dua putri cantik yang genit bernama Kleting Merah dan Kleting Biru. Oleh si janda Dewi Sekartaji diangkat menjadi anak tiri dan diberi nama Klething Kuning. Hampir semua pekerjaan rumah dibebankan kepada Klething Kuning, sedangkan Klething merah dan Klething Biru kerjanya hanya ongkang-ongkang dan bersolek. Klething Kuning mengerjakan semuanya tanpa mengeluh, walau sering dianiaya dan diperdaya oleh kedua saudara tirinya.

 

Pada suatu hari terdengar kabar bahwa ada seorang perempuan tua dengan putra jejaka yang yang sangat tampan sedang mencari jodoh. Sang jejaka dikenal dengan nama Ande-Ande Lumut. Klething Merah dan Klething Biru berminat mendapatkan suami sang jejaka tampan dan segera mengajak Klething Kuning untuk pergi bersama guna membawakan buntalan berisi bekal perjalanan dan agar membantu mereka dalam perjalanan ke rumah sang jejaka.

 

Agar sang jejaka tidak tertarik dengan Klething kuning, maka dia diminta memakai pakaian kumal dan wajahnya dilumuri jelaga hitam. Mereka bertiga berangkat menuju ke dusun sang jejaka. Dewi Sekartaji ikut bergembira siapa tahu dia mendapat kabar tentang Pangeran Panji Asmarabangun.

 

Dalam perjalanan, mereka terhadang oleh sungai yang deras dan mereka tidak dapat menyeberang. Tiba-tiba datanglah Yuyu Kangkang, sang kepiting raksasa yang mau menyeberangkan mereka asal mereka bersedia dicium olehnya. Dalam kekhawatiran bahwa mereka dapat didahului oleh gadis-gadis  lain, maka Klething Merah dan Klething Biru menyanggupinya dan mereka  naik di atas punggung sang kepiting ke seberang sungai bersama bekal perjalanannya. Sang Kepiting ogah-ogahan menawari Klething Kuning, karena berpakaian jelek dan penuh jelaga di mukanya. Demikian juga Klething Kuning tak mau menyerahkan pipinya untuk dicium siapa pun. Hanya Panji Asmarabangun yang diperbolehkannya.

 

Klething Kuning mengeluarkan lidi dan dipukulkannya ke air sungai dan keajaiban pun terjadi. Sungai menjadi kering dan dia dapat menyeberangi dengan mudah. Kala Klething merah dan Klething biru sampai di rumah sang perempuan tua, Ande-Ande Lumut menolak mereka, dia dapat merasakan bau kepiting di tubuh mereka, dan sang perjaka tahu kebiasaan sang kepiting untuk meminta upah cium kepada wanita yang ditolongnya. Kala sang perjaka melihat Klething Kuning datang dengan baju jelek dan jelaga di wajahnya, dia mencium wangi sang kekasih dan dia minta dikawinkan dengan sang gadis. Singkat cerita ketahuan bahwa Panji Asmarabangun menyaru sebagai Ande-ande Lumut, sedangkan Dewi Sekartaji menyaru sebagai Klething Kuning. Mereka segera ke istana dan melangsungkan pernikahan.

 

Hukum rimba keserakahan bagi mereka dengan tingkat kesadaran jasmani

 

Hawa nafsu, keterikatan, ketertarikan beserta konco-konconya… merekalah penduduk asli dunia. Mereka tidak senang dengan kehadiran Kasih, sebagai sesuatu yang asing. Hawa nafsu menjadikan kita penduduk dunia yang baik. Hawa nafsu menjadikan diri kita Hamba Tuhan yang sukses, sering muncul di televisi dan memilki banyak penggemar. Hawa nafsu menjadikan kita pemuka sekaligus pengusaha sukses dan bebas keluar-masuk istana. Hawa nafsu menjadikan diri kita pengejar surga, ahli surga, atau apa saja sebutannya. Hawa nafsu menjadikan kita seorang “praktisi agama” andalan di mata dunia. Hawa nafsu tak akan menjadikan kita seorang kekasih, karena para kekasih tidak mengejar surga; mereka tidak senang keluar masuk istana. *2 Ishq Ibadat halaman 28 

Padukasari, sang istri kedua raja masih berada dalam tingkat kesadaran fisik jasmani. Dia belum sadar adanya pitutur para leluhur bahwa ‘siapa yang menanam biji harus siap menuai buahnya di kemudian hari’. Pikirannya masih pendek, dia menggunakan segala macam cara untuk menyingkirkan Dewi Sekartaji. Dia tak pernah menyadari, hubungan silaturahmi kedua kerajaan sangat tergantung kepada kehidupan rumah tangga persatuan antara Kediri dan Jenggala. Dia tidak melihat kelemahan Intan Sari yang egois yang dapat menyebabkan ikon rumah tangga persatuan dua kerajaan bisa menjadi kurang harmonis.

 

Dewi Sekartaji tidak suka memelihara burung dalam sangkar, akan tetapi suka memberikan makanan kepada burung-burung yang hinggap di taman keputren. Ada seekor burung merpati yang selalu rutin datang. Biyung Emban yang ‘momong’ Dewi Sekartaji sejak kecil, menulis surat yang diikat ke kaki merpati yang jinak tersebut dan diminta membaui pakaian sang putri. Merpati tersebut kemudian terbang dan menemukan Dewi Sekartaji di tepi hutan yang segera membuat surat balasan lewat merpati tersebut. Sang Biyung Emban menerima surat balasan dan lapor kepada sang raja dan tindakan jahat Padukasari terbongkar.

 

Klething Merah dan Klething Biru juga melakukan hal yang sama. Mereka memperalat Klething Kuning dan membuat jelek penampilannya.  Mereka juga menghalalkan segala cara termasuk dicium Yuyu Kangkang. Mereka menggunakan pikirannya yang menggunakan segala cara demi memperoleh keinginannya. Para leluhur selalu mengakhiri bahwa kebaikan akan selalu menang.

 

Ada yang terlupakan yaitu “perempuan tua” ibu angkat Ande-Ande Lumut. Dia telah paham bahwa Panji Asmarabangun serius mencari pasangan sejatinya. Maka dialah yang meminta Ande-Ande Lumut mengadakan sayembara mencari istri. Ande-Ande Lumut tunduk akan kebijakan sang ibu angkat. Kala seseorang serius meniti ke dalam diri, akan muncul utusan Ilahi untuk memandu kehidupannya yang bertindak sebagai Guru. Sang Guru mengingatkan manusia untuk tidak hanya bersyukur atas segala kejadian, akan tetapi mengingatkan adanya tangan-tangan Ilahi yang membantunya. Semuanya dapat terjadi hanya karena ridho-Nya.

 

Antara Sun Tzu, Bhagavad Gita dan Kearifan Leluhur

 

Sun Tzu mewakili manusia primordial, da mana satu-satunya hukum yang berlaku adalah “fight or flight”, melawan untuk keluar sebagai pemenang atau takut dan melarikan diri dari medan perang, menghindari peperangan. Hukum ini membuat manusia kuno, manusia zaman batu dan besi , menjadi keras, alot. Ya, otot-ototnya menjadi kuat, karena ia sering menggunakannya. Ia mesti menggunakannya. Ia harus menaklukkan binatang-binatang di hutan demi keberlangsungan hidupnya. Ia harus bmembunuh demi keselamatannya. *3 The Gita Management halaman 3

 

Sun Tzu adalah nabi bagi para Hitler dan Napoleon, bagi para Genghis Khan dan Alexander, bagi para penguasa yang menempatkan kekuasaan di atas segalanya. SunTzu bisa berdiri berhadapan dengan Machiavelli. Di sana-sini, mereka boleh berseberangan – tetapi pada dasarnya mereka sama. Mereka berdiri di atas landasan yang sama. *3 The Gita Of Management halaman 4

 

Di lain pihak, Leluhur kita mempunyai pedoman bahwa ‘Sopo sing nandur wiji bakal ngundhuh’, barangsiapa yang menanam benih akan menuai buah tanaman tindakannya. Bagi yang berada pada kesadaran jasmani, bertindak dengan segala cara tuntunan Sun Tzu adalah semacam menanam benih, sehingga hasil akhir kemenangan adalah buah yang wajar dari sebuah tindakan yang penuh perhitungan.

 

Akan tetapi tidak demikian, Leluhur kita mempunyai istilah ‘panen wohing panggawe’, menuai buah akibat tanaman tindakan. Semua proses tindakan pun merupakan benih-benih tanaman yang akan mendatangkan hasil di belakang hari. Proses yang penuh tipu muslihat mungkin mendatangkan keberhasilan dalam jangka relatif singkat. Akan tetapi, tindakan penuh tipu muslihat akan mendatangkan akibat tersendiri dalam jangka panjang. Manusia perlu mempertimbangkan semua pikiran, ucapan dan tindakannya sehingga tidak akan kecewa ketika tiba saatnya menuai hasilnya di kemudian nanti. Oleh karena itu kearifan para Leluhur kita lebih mendekati kearifan Sri Krishna dalam Bhagavad Gita, ajaran Zen maupu Tao. Setiap pikiran, ucapan dan tindakan kita adalah sebuah benih yang akan mendatangkan buah kepada kita pada suatu saat kemudian.

 

Bagi Sun Tzu, kemenangan harus menjadi tujuan utama. Memenangi peperangan menyangkut disiplin pantang mundur. Hasil akhir kemenangan sebagai tujuan. Manajemen yang diambil berdasarkan sasaran akhir kemenangan. Dalam kalimat yang lebih tegas, yang penting menang walau dengan segala macam cara. Kiranya sudah jelas kebijakan Sun Tzu, landasan perang bagi dia adalah tipu muslihat. Seorang pengikut Sun Tzu tidak akan memarahi anaknya yang suka menyontek saat ujian. Itu adalah kemahiran dia. Anaknya akan dimarahi dia jika tertangkap, karena hal itu menunjukkan kelalaiannya. Pertanyaannya adalah, apakah hal ini sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada di Nusantara?

 

Dalam Bhagavad Gita, kebijaksanaan Sri Krishna lebih terfokus pada proses,  pada pikiran, ucapan dan tindakan, bukan pada hasil. Manajemen berdasar proses. Demikian pula jiwa Zen dalam manajemen “Kaizen” Yang berfokus pada proses yang menghasilkan Total Quality Management. Kalau dalam setiap proses disadari masing-masing akibat yang akan terjadi, dengan membuat cheklist tindakan yang “benar”, maka hasil akhir adalah keniscayaan yang akan terjadi sebagai akibat dari semua proses tindakan. Dalam menghadapi hidup ini, yang penting adalah menyadari setiap proses, setiap pikiran, ucapan dan tindakan yang dilakukan, apa pun hasilnya akan datang kepada manusia sebagai akibat dari proses yang telah dijalaninya. Budaya Nusantara lebih selaras dengan kebijakan Sri Krishna. Yang penting adalah karya, karma, perbuatan bukan hasil akhir yang berupa materi. Leluhur kita mempunyai semboyan Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, tidak memikirkan hasil akhir  dari keinginannya, tetapi giat berkarya dengan semangat persembahan. Hasil sudah merupakan keniscayaan sebagai akibat dari tindakan yang dijalani.

 

Jalur pengabdian Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji

 

Sang remaja putri bertanya kepada ibunya, “Bunda, bagaimana Bunda mengaplikasikan kisah Ande-Ande Lumut dalam diri kita?  Bahwa karakter Ande-Ande Lumut dan Klething Kuning pun ada potensinya dalam diri kita?” “Baik anakku, coba pelajari buku Atmabodha di rak perpustakaan bunda!”, jawab sang ibu kepada sang remaja putri.

 

Memasuki alam meditasi lewat Jalur Pengabdian berarti melakoni 4 hal utama yang merupakan suatu kesatuan :

1.      kemampuan untuk menerima ketidakadilan,

2.      kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan,

3.      berhenti mengejar sesuatu, dan

4.      menerjemahkan dharma atau kebajikan dalam hidup sehari-hari. *4 Bodhidharma halaman 34

 

Baik Panji Asmarabangun maupun Dewi Sekartaji dapat menerima ketidakadilan yang menimpa mereka.

Dalam sekian banyak masa kehidupan sebelumnya, aku telah berpaling dari hal-hal yang penting dan terikat pada hal-hal sepele yang tidak berarti…… aku telah berkelana melewati segala bentuk kehidupan…… mengamuk tanpa alasan, dan bersalah atas kemunduran diri. Sekarang, walau tidak berbuat salah aku masih harus bertanggung jawab atas perbuatanku yang lalu. Baik manusia maupun malaikat tak dapat memastikan kapan aku menerima ganjaran dari perbuatanku sendiri. Aku menerimanya dengan lapang dada, dan tanpa keluh kesah akan ketidakadilan. *4 Bodhidharma halaman 43

 

Baik Panji Asmarabangun maupun Dewi Sekartaji mampu untuk menyesuaikan diri dengan keadaan.

 

Sebagai makhluk hidup, kita semua terkendali oleh keadaan, belum dapat mengendalikan diri. Keadaan pula yang menentukan pengalaman suka dan duka. Rezeki, penghargaan, ketenaran, atau pengalaman lain yang kita peroleh dalam hidup ini, semata-mata karena perbuatan kita di masa lalu, karena keadaan masa lalu. Bila keadan berubah, pengalaman kita pun berakhir, berubah. Kenapa membesar-besarkan pengalaman itu? Keberhasilan dan kegagalan tergantung pada keadaan, namun “kesadaran”mu tidak tergantung pada sesuatu pun. Ia tidak mengalami pasang-surut. Mereka yang tidak terpengaruh oleh angin kenikmatan, oleh hawa nafsu, memasuki alam meditasi dengan mudah. *4 Bodhidharma halaman 55

 

Baik Panji Asmarabangun maupun Dewi Sekartaji berhenti mengejar sesuatu.

 

Warga dunia ini umumnya hidup dalam ketidaksadaran. Mereka selalu mengharapkan sesuatu, mengejar sesuatu. Hanya segelintir orang bijak yang “terjaga”, sadar, kemudian tidak lagi mengikuti kebiasaan umum. Kesadaran diri mereka tidak terpengaruh oleh keadaan di luar diri yang berubah terus. Yang terpengaruh oleh perubahan itu hanya badan mereka, fisik mereka. Keberadaan sekitarmu sesungguhnya tidak memiliki bobot. Tidak ada sesuatu apapun yang berarti di dalamnya, lalu apa yang harus dikejar? Suka dan duka silih berganti. *4 Bodhidharma halaman 68

 

Bukan “tidak mencari”, “tetapi tidak mengejar”. Kadang pencarian tidak bisa dihindari. Mereka mencari, tetapi sambil mencari mereka menerjemahkan dharma dalam kehidupan sehari-hari.

 

Baik Panji Asmarabangun maupun Dewi Sekartaji menerjemahkan Dharma atau kebajikan dalam hidup sehari-hari. Sadar akan Kebenaran bahwa pada hakikatnya Keberadaan suci adanya – itulah Dharma. Dan, sadar akan ketiadaan di balik Keberadaan – itulah Kebenaran. Tak ada lagi ketidakterikatan dan keterikatan; tak ada pula subyek dan obyek.

Sadar akan hakikat yang tak pernah berkurang, mereka senantiasa siap sedia untuk menyerahkan jiwa, raga serta harta tanpa penyesalan maupun rasa angkuh sebagi pemberi atau penerima. Sambil melakoni Dharma dan mempertahankan kesadaran diri, mereka memberi tanpa pamrih; berbagi tanpa keterikatan membantu tanpa pilih kasih. Demikian, mereka memuliakan Jalan menuju Pencerahan. *4 Bodhidharma halaman 83

 

Mereka memperoleh pencerahan yang digambarkan dengan pertemuan mereka.

 

Sang remaja putri berucap, “Terima Kasih Bunda, Terima Kasih Gusti. Gusti telah mengutus Guru memandu Bunda sehingga dapat memberikan kisah yang bermakna bagi kehidupan ananda. Namaste. Bende Mataram, sembah sujudku bagi Bunda Pertiwi.”

 

*1 Wedhatama                 Wedhatama Bagi Orang Modern, Anand Krishna, Gramedia Pustaka, 1999.

*2 Ishq Ibadat                   ISHQ IBAADAT Bila Cinta Berubah Menjadi Ibadah, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2005.

*3 The Gita Management          The Gita Of Management, Panduan bagi eksekutif muda berwawasan modern, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2007.

*4 Bodhidharma               Bodhidharma, Kata Awal Adalah Kata Akhir, Anand Krishna, Gramedia Pustaka, 2005.

 

Informasi buku silahkan menghubungi

http://booksindonesia.com/id/

Situs artikel terkait

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Desember 2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone