December 15, 2009

Mutiara Kehidupan: Cindelaras dan Jatidiri Sebuah Bangsa

Para cendekiawan, para pakar agama, selalu berbicara tentang keseimbangan. Entah itu keseimbangan antara lahiriah dan batiniah, atau antara badan dan roh. Seorang sufi tidak akan bicara tentang keseimbangan. Setidaknya, seorang Rumi tidak akan bicara tentang keseimbangan. Keseimbangan apa? Secara ilmiah terbukti sudah bahwa antara materi dan energi tidak ada keseimbangan, karena sesungguhnya materi dan energi tidak berbeda. Hanya beda wujud saja, intinya sama. Lalu keseimbangan apa pula yang harus dibicarakan antara lahiriah dan batiniah, antara badan dan roh? Untuk memasuki kesadaran batiniah, kesadaran lahiriah harus ditinggalkan. Mau mempertahankan “uap”; air harus dimasak sampai mendidih. Air itu sendiri harus “menguap”. Anda tidak bisa mempertahankan (keseimbangan) dua-duanya. Kendati demikian, dalam uap juga ada air. Itu sebabnya, Yesus menasihati kita agar mengejar Kerajaan Allah terlebih dahulu. Segala sesuatu yang lain, akan kita peroleh dengan sendirinya, karena dalam kerajaan Allah – segalanya ada. Saat ini, kita mengejar satuan. Kadang pensil, kadang pena. Kadang penghapus, kadang papan tulis. Carilah Si Penjual, Si Pemilik Toko, dan Dia akan memberikan segala sesuatu kepada anda. Tidak perlu mencari satu per satu. Buang waktu. *1 Masnawi Buku Kedua halaman 51

 

Kisah Cindelaras

 

Seorang ibu kembali bercerita kepada putrinya yang berangkat remaja tentang kisah Cindelaras.

 

Raden Putra adalah raja Kerajaan Jenggala yang mempunyai permaisuri yang baik hati dan seorang selir yang amat jelita. Sang selir merasa lebih cantik daripada permaisuri dan dia berniat menjatuhkan martabat sang permaisuri. Apalagi ketika dia mendapat informasi bahwa sang permaisuri sedang hamil. Setelah sang putra lahir maka kedudukan sang permaisuri sebagai bunda putra mahkota akan semakin kuat.

 

 

Seorang tabib kepercayaan sang raja dapat dipengaruhi dan diajak melakukan konspirasi. Sang selir berpura-pura sakit parah, dan sang tabib mengatakan bahwa ada seseorang yang iri kepada sang selir dan menaruh racun dalam makanannya. Ketika sang tabib mengatakan bahwa sang permaisuri yang melakukan kejahatan, sang raja percaya kepada sang tabib dan memerintahkan patih kerajaan untuk membunuhnya di tengah hutan.

 

Sang patih paham tentang kelicikan sang selir, sehingga tidak membunuh sang permaisuri bahkan menitipkan sang permaisuri kepada seorang janda yang tinggal di tengah hutan. Sang patih kemudian melapor bahwa sang permaisuri telah dibunuhnya.

 

Setelah beberapa bulan di tengah hutan, lahirlah seorang putra yang tampan dan cerdas yang diberi nama Cindelaras. Sang putra dapat bersahabat dengan para binatang di hutan. Pada suatu hari seekor rajawali menjatuhkan sebutir telur yang kemudian diletakkan di “petarangan” tempat seekor ayam betina sedang mengerami telur-telurnya. Telur sang rajawali ternyata menjadi anak ayam yang kuat berbeda dengan anak-anak ayam lainnya.  Cindelaras memelihara ayam jantan yang kuat. Kokok ayam jantan tersebut seperti suara yang berbunyi, “Kukuruyuuuuuk…. Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah alas (rimba), rumahnya beratap daun klaras (kelapa) ayahnya bernama Raden Putra……”

 

Mendengar kokok ayam jantan tersebut, sang ibu menceritakan asal-usul mengapa mereka sampai hidup di tengah rimba. Mendengar cerita sang ibu, Cindelaras bertekad ke istana dan mohon izin untuk berangkat ke istana dengan membawa ayam jantannya. Dalam perjalanan, beberapa penduduk menantang adu ayam jantan dengan ayam Cindelaras, dan selalu saja ayam jantan Cindelaras keluar sebagai pemenang.

 

Berita tentang kehebatan ayam Cindelaras tersebar dengan cepat, dan sampai kepada Raden Putra, sang raja. Raden Putra menyuruh para hulubalangnya mengundang Cindelaras. Melihat Cindelaras yang tampan dan santun dengan wajah yang bersinar, sang raja langsung bersimpati. Sang raja mengajak Cindelaras mengadakan taruhan adu ayam jantan sang raja dengan ayam Cindelaras. Bila Cindelaras menang, separuh harta kekayaan sang raja akan diberikan kepada Cindelaras, akan tetapi bila ayam jantan Cindelaras yang kalah maka dia akan menjadi pembantu di istana, bertugas memelihara ayam-ayam jantan sang raja.

 

Dua ayam jantan bertarung dengan hebat, semua hulubalang dan masyarakat melihat pertarungan sengit tersebut. Setelah bertarung beberapa lama, ayam Cindelaras berhasil menaklukkan ayam sang raja. Para penonton bersorak-sorai dan tiba-tiba sang ayam  berkokok, “Kukuruyuuuuuk…. Tuanku Cindelaras, rumahnya di tengah alas, rumahnya beratap daun klaras, ayahnya bernama Raden Putra……” Sang ayam jantan berkokok beberapa kali dengan bunyi serupa.

 

Raden Putra terperanjat dan bertanya, “Siapakah kau anak remaja?” Cindelaras menjawab, “Hamba Cindelaras Paduka, ibu hamba adalah permaisuri Paduka yang dibuang ke tengah rimba pada saat hamba berada dalam kandungan.”

 

Bersamaan dengan itu, sang patih menghadap sang raja dan segera menceritakan peristiwa saat dia tidak membunuh sang permaisuri yang ternyata tengah hamil. Dari hasil penyelidikannya ternyata sang selir dan tabib kerajaan telah berkomplot untuk menyingkirkan sang permaisuri. Sang raja memeluk sang putra dan memintanya mengantar sang raja bersama para hulubalang menjemput sang permaisuri. Selir dan sang tabib sudah melarikan diri dari istana dan mengembara jauh agar tidak dikejar para prajurit sang raja.

 

Akhirnya sang permaisuri hidup berbahagia dengan sang raja beserta Cindelaras yang diangkat sebagai putra mahkota.

 

Cindelaras kembali ke jatidiri

 

Sang remaja putri bertanya, “Bunda, apakah Bunda akan memaknai bahwa sang raja adalah Gusti, sedangkan selir beserta tabib yang bersekongkol adalah pikiran dan panca indera yang berusaha menjauhkan sang permaisuri dari sang raja? Sang patih adalah hati nurani, yang dalam keadaan terpojok, tetap berusaha menyelamatkan manusia? Bukankah sang Sutradara Agung adalah Gusti, Dia yang menyuruh membawa manusia ke hutan belantara dunia, akan tetapi dia pula yang memanggil kembali lewat para utusan-Nya? Sang Sutradara adalah “beyond mind”, tak dapat dipikirkan dengan keterbatasan otak kita. Kita hanya dapat merasakan –Nya pada saat kita sadar dan dalam suasana penuh kasih?”

 

Sang Ibu menjawab, “Demikian menurut pemahaman pribadi bunda. Pemahaman adalah pribadi, orang lain hanya dapat menarik pelajaran dari suatu kisah dengan pemahamannya masing-masing. Bagi saya, Sang Raja sudah tahu bahwa sang patih tidak akan membunuh sang ibu, dan sang putra perlu lahir di belantara, agar dapat memahami belantara dunia. Dia akan dapat memimpin suatu kerajaan dengan bijak setelah mengetahui permasalahan secara komprehensif.”

Cindelaras setelah remaja menyadari jatidirinya, dan dia bertekad untuk kembali menjadi putra sang raja. Dia mempunyai “Icha Shakti, Power of Will”, hasrat menyala-nyala untuk menuju Sang Raja. Cindelaras juga mempunyai kesadaran, “Gyaana Shakti, Power of Knowingness”, kesadaran bahwa dirinya adalah putra sang raja. Selanjutnya Cindelaras melaksanakannya dengan tindakan sehari-hari, “Kriya Shakti,Power of Action”, sehingga dia mendapatkan sarana ayam jantan aduan untuk bertemu dengan Sang Raja.

 

PestaAllah

 

 

Sang Ibu berkata kepada sang remaja putri, “Anakku, Cindelaras tidak suka hidup di hutan belantara, dia sudah diberitahu dirinya keturunan raja, dia berusaha sungguh-sungguh mencari sang raja dan berhasrat ikut hidup bersamanya. Kita para manusia sudah diberitahu bahwa kita putra Sang Raja, bahwa potensi keilahian dalam diri, diri sejati kita suci dan berkeilahian, tetapi kita tidak mencari keilahian, kita mencari kebahagiaan dalam rimba belantara dunia, kita hidup dengan pikiran, mencari kebahagiaan di hutan belantara, lupa kesejatian kita. Kita telah diundang datang ke Pesta Allah, hanya Cindelaras yang berangkat, kita-kita adalah Cindelaras yang sudah merasa berbahagia hidup di belantara dunia, saling rebut, saling jegal, padahal di Pesta Allah segalanya berkelimpahan.”

 

Rumi seperti dikisahkan Bapak Anand Krishna dalam buku Masnawi Buku Kedua menceritakan hal yang indah tentang Pesta Allah, sedangkan kita yang berkesadaran restoran, menampik undangan Pesta Allah. Berikut ini kami petik dari buku tersebut.

 

Tidak ikut dalam Pesta-Nya berarti tidak menerima undangan-Nya. Bukan karena anda tidak dikirimi undangan, tetapi karena anda memilih untuk tidak menerimanya. Kalaupun menerima undangan-Nya, anda tidak menghadiri Pesta-Nya. Menghadiri Pesta Dia berarti tidak memikirkan “soal dapur” lagi. Untuk apa memikirkan “soal dapur”? Bukanlah Dia telah mengundang anda untuk makan di Rumah-Nya? Menghadiri Pesta Dia berarti tidak mengurusi “makanan”. Untuk apa mengurusi “makanan”? Bukanlah Dia telah mengurus semuanya? *1 Masnawi Buku Kedua halaman 62

 

Sementara ini kita masih ber-“kesadaran-restoran”. Masih membedakan antara “Mie Cina” dan “Mie Jawa”. Mau ini, tidak mau itu. Mau itu, tidak mau ini. Dengan “kesadaran-restoran” seperti itu, kita tidak bisa menghadiri Pesta-Nya. Di Pesta, kemauan Dia haruslah menjadi kemauan kita. Apa pun yang dia suguhkan kita terima. Seseorang pernah menanggapi saya, “Kalau begitu, saya pilih ber-‘kesadaran-restoran’ saja. Saya bisa memilih. Di Pesta-Nya tidak ada pilihan.” Demikianlah adanya. Mereka yang masih ber-“kesadaran-restoran” akan menolak undangan -Nya. “Untuk apa?”, pikir mereka. “Entah di sana ada makanan kesukaanku atau tidak, lebih baik makan di restoran saja.” *1 Masnawi Buku Kedua halaman 62

 

Tidak ada yang bisa mendesak anda untuk melampaui “kesadaran-restoran” dan berpesta bersama Dia. Para nabi, para mesias, para avatar dan para buddha hanya bisa merayu anda, “Restoran yang kau datangi itu tidak ada apa-apanya. Di Pesta Dia semuanya berkelimpahan. Daftar makanan di restoran yang kau datangi itu masih belum apa-apa. Di Pesta Dia lebih banyak macam makanan.” Anda tidak percaya. Anda minta bukti, “Coba, perlihatkan daftar makanan Pesta Dia. Aku mau periksa dulu, mana yang lebih lengkap.” Sudah diundang untuk menghadiri pesta, bukannya berterima kasih. Malah mau melihat daftar makanannya terlebih dahulu. Para rasul pun bingung, tetapi karena kasih mereka terhadap anda, maka “turunlah” Al-Qur’an, Alkitab, Zend Avesta, Dhammapada, dan Veda. *1 Masnawi Buku Kedua halaman 62

 

Anda masih saja ragu-ragu, “Tetapi bagaimana mempercayai kalian? ‘Restoran-Dunia’ ini sudah sering aku kunjungi. Aku tahu persis, apa saja yang mereka sajikan. Lagipula, rasa makanan di sini sudah pas banget dengan selera lidahku.” Mereka tidak putus asa dan masih saja merayu, “Itu sebabnya, engkau harus sekali-kali mencoba yang lain. Sudah terlalu lama di dunia, jiwamu sudah karatan. Seleramu sudah rusak. Yakinilah kami, karena dulunya kami pun persis seperti kalian. Jiwa kami pun sudah karatan, selera kami pun sudah rusak. Kemudian, kami menerima undangan Dia dan mendatangi Pesta-Nya. Ternyata, ah, ah, ah..!” *1 Masnawi Buku Kedua halaman 62

 

Lebih dari itu, mereka pun tidak bisa menjelaskan. Di balik “Ah” ada apa sudah tidak dapat dijelaskan lewat kata-kata. Kemudian, ada pemberani yang maju ke depan, “Rasul Allah, ajaklah aku ke Pesta-Nya. Aku meyakini engkau. Aku meyakini kata-katamu.” Pemberani seperti inilah yang disebut seorang Muslim. Seseorang yang menerima ajakan Rasul Allah dan menghadiri Pesta Allah, seseorang yang menerima Kehendak Allah! Mereka yang masih mempertahankan “kesadaran-restoran” adalah kafir. Mereka tidak menerima ajakan para rasul. para nabi, para wali, para mesias, para avatar dan para buddha. Mereka tidak menghadiri Pesta Allah. *1 Masnawi Buku Kedua halaman 62

 

Sang remaja putri berkata, “Terima kasih Bunda, terima kasih Guru yang telah memberi panduan yang sangat jelas, mengingatkan jatidiri kita yang suci, dan kami masih saja terbelenggu dalam rimba dunia.” Namaste, kami bersujud kepada Dia yang berada dalam wujud-Mu.”

 

Jatidiri sebuah bangsa

 

Sang remaja putri kembali bertanya, “Bunda, bagaimana bunda memaknai jatidiri bangsa? Apakah kita telah lupa jatidiri bangsa kita dan tidak seperti Cindelaras yang menyadari jatidirinya?”

Sang ibu menjawab,“Terima kasih putriku, dalam setiap manusia Indonesia terdapat DNA yang unik tetapi ada benang merah yang mempersatukannya.”

Dalam buku Genom, Kisah Species Manusia oleh Matt Ridley terbitan Gramedia 2005, disebutkan bahwa Genom Manusia – seperangkat lengkap gen manusia – hadir dalam paket berisi dua puluh tiga pasangan kromosom yang terpisah-pisah. Penulis Buku tersebut membayangkan genom manusia sebagai semacam otobiografi yang tertulis dengan sendirinya – berupa sebuah catatan, dalam bahasa genetis, tentang semua nasib yang pernah dialaminya dan temuan-temuan yang telah diraihnya, yang kemudian menjadi simpul-simpul sejarah species  kita serta nenek moyangnya sejak pertama kehidupan di jagad raya. Genom telah menjadi semacam otobiografi untuk species kita yang merekam kejadian-kejadian penting sesuai dengan keadaan sebenarnya. Kalau genom dibayangkan sebagai buku, maka buku ini berisi 23 Bab, tiap Bab berisi beberapa ribu Gen. Buku ini berisi 1 Milyar kata, atau kira-kira 5.000 buku dengan tebal 400-an halaman.

Dalam DNA kita terdapat catatan pengalaman leluhur-leluhur kita zaman Sriwijaya, zaman Majapahit dan genetik bawaan dari pembangun Candi Monumental Borobudur, bahkan zaman-zaman sebelumnya. Zaman dulu dan zaman sekarang ini adalah satu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan. Perilaku manusia saat dewasa terkait erat dengan perilaku dia sewaktu kecilnya. Sebuah kontinuitas yang melekat. Kearifan kita sudah ada sejak zaman dahulu.

Kita perlu mengkoreksi klasifikasi sejarah yang mengkotak-kotakkan Sejarah Bangsa menjadi Zaman Pra Hindu, Zaman Hindu, Zaman Islam, Zaman Penjajahan dan seterusnya. Genetik kita saat ini ada kaitannya dengan masa lalu, tidak dapat dipisah-pisahkan atas dasar kepercayaan yang dianut pada beberapa masa.

Seorang yang meninggalkan agama asalnya dan memeluk agama lain, menjadi lebih fanatik. Karena, ia merasa perlu membuktikan bahwa pilihannya tepat. Ada rekaman tentang kepercayaan masa lalu dalam DNA kita, kemudian ada rekaman baru tentang apa yang kita percayai sekarang…. Dan, kita harus membuktikan bahwa tindakan kita sudah betul. Maka, kita pun menjadi lebih fanatik. Kita, bangsa Indonesia, punya masalah yang berat sekali. Selama 600 tahun terakhir, kita sudah pindah agama tiga sampai empat kali. Dan DNA kita membawa semua memori ini. Jadi, kita menjadi fanatik. Yang Hindu fanatik, Buddha fanatik, Kristen fanatik, Katolik fanatik, Islam fanatik, karena kita lupa kita punya jati diri. Jati diri kita ada, peradaban kita juga sudah ada jauh sebelum agama-agama tadi masuk Nusantara. *2 Tsunami halaman 133

Bung Karno pada tanggal 16 Juni 1958 berpidato yang petikannya sebagai berikut: “Masyarakat Indonesia ini boleh saya gambarkan dengan saf-safan. Saf ini di atas itu, di atas saf itu saf lagi. Saya melihat macam-macam saf. Saf Pra-Hindu, yang pada waktu itu kita bangsa yang telah berkultur dan bercita-cita. Berkultur sudah, beragama sudah, hanya agamanya lain dengan agama sekarang, bercita-cita sudah. Jangan kira bahwa kita pada jaman Pra-Hindu adalah bangsa yang biadab… Saya lantas gogo – gogo itu seperti orang mencari ikan, di lubang kepiting – sedalam-dalamnya sampai menembus jaman imperialis, menembus Zaman Islam, menembus Zaman Hindu, masuk ke dalam Zaman Pra-Hindu. Jadi saya menolak perkataan bahwa kurang dalam penggalian saya. Dalam pada saya menggali-gali, menyelami saf-saf ini, saban-saban saya bertemu dengan: kali ini, ini yang menonjol, lain kali itu yang lebih menonjol. Lima hal inilah: Ketuhanan, Kebangsaan, Perkemanusiaan, Kedaulatan Rakyat, Keadilan Sosial. Saya lantas berkata, kalau ini saya pakai sebagai dasar statis dan Leitstar dinamis, insya Allah, seluruh rakyat Indonesia bisa menerima, dan di atas dasar meja statis dan Leistar dinamis itu rakyat Indonesia seluruhnya bisa bersatu-padu”.

 

Selanjutnya, Ki Hajar Dewantara mengartikan Budaya Nusantara adalah unggulan-unggulan dari setiap budaya yang kemudian digodog, dimasak, dan ditemukan saripatinya yaitu Pancasila. Silahkan kita beragama apapun juga. Akan tetapi sekali-kali jangan mengimport budaya asing. Para Founding Fathers telah mempunyai kebijaksanaan yang selaras dengan penemuan pemetaan genom. Kita melihat bangsa Jepang, Korea, India, dan lain-lainnya, mereka semua menghargai budaya mereka dan mereka semua maju.

 

Sekarang sudah terbukti dari penemuan di Bali beberapa waktu yang lalu yang membuktikan bahwa DNA kita ada gen khas Indonesia. Gen-nya gen khas Indonesia. Kita memiliki suatu dasar yang kuat sekali, dasar ini jangan sampai terlupakan. Kalau DNA kita sekarang dipetakan, kita memiliki DNA, memiliki benang merah yang mempertemukan kita semua. DNA Khas Indonesia.

 

Secara genetik dapat ditelusuri bahwa kita, sebagai orang Indonesia, sudah punya peradaban sejak lama. Kalau kita terus-menerus mengadopsi mentah-mentah peradaban India, Arab, Cina atau peradaban Barat, maka akan terjadi konflik dalam diri kita. Kita punya peradaban yang sudah kuno sekali. Kalau peradaban itu mirip dengan Arab, maka itu soal lain. Mirip dengan India, itu juga soal lain. Tapi kita punya peradaban sendiri. Kita punya PR yang luar biasa, kalau mau menciptakan kedamaian kita harus kembali ke jati diri kita. Kita boleh beragama Islam, kita boleh beragama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, but we are Indonesians. Kita orang Indonesia, kita punya jati-diri, kita punya peradaban yang sangat tinggi. Mari kita menggali kembali. *2 Tsunami halaman 133

 

 

Terima Kasih Bung Karno, Terima Kasih Guru yang mengingatkan kita tentang jatidiri sebuah bangsa. Bende Mataram. Sembah Sujudku bagi Ibu Pertiwi.

 

*1 Masnawi  Masnawi Buku Kedua Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki Pintu Gerbang Kebenaran, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2000.

*2 Tsunami Tsunami Membaca Ayat Ayat Allah dari Tragedi Tsunami, Anand Krishna dan teman-teman, One Earth Media, 2006.

Informasi buku silahkan menghubungi

http://booksindonesia.com/id/

Ikut Temu Pembaca Buku-Buku Bapak Anand Krishna?

Setiap Jum’at pukul 19.00 WIB di Jalan Dworowati 33 Kratonan Surakarta.

Situs artikel terkait

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Desember 2009.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone