Kesalahan paling besar yang dilakukan Gajah Mada, menurut Mpu Tantular, adalah penerimaannya terhadap kebhinekaan, keberagaman tanpa memperhatikan benang merah yang mempersatukan manikam-manikam yang beda dalam untaian kalung manis nan indah. Keadaan kita saat ini tidak jauh berbeda. Banyak yang dapat menerima kebhinekaan, keberagaman atau pluralitas, namun sebatas penerimaan saja. Bagaimana menindaklanjuti penerimaan itu dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari tak terpikirkan.
Kebhinekaan, keberagaman dan pluralitas yang tidak bertujuan satu dan sama tidak berguna. Ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” adalah half-truth. Anda dapat merayakan kebhinekaan dengan penggalan ini, tetapi tidak dapat menggunakannya demi tujuan yang lebih mulia. Untuk itu, penggalan berikut dari Bhinneka Tunggal Ika mesti diperhatikan: “Tan Hana Dharma Mangrwa” – Tak Ada Dualitas dalam Dharma, dalam Kebijakan yang Melandasi setiap Karya bagi Negara dan Bhakti bagi Ibu Pertiwi. Selain kebijakan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, mesti menjunjung tinggi kearifan lokal. Manusia Indonesia harus tetap menjadi Manusia Indonesia, bukan fotokopian Arab, China, India atau Eropa. *1 Sutasoma halaman 32
Wahyu Cakraningrat
Pada masa akhir Majapahit terlihat adanya kebhinnekaan, keberagaman keyakinan dalam masyarakat, akan tetapi benang merah yang mengikatnya kurang kuat, keberagaman tersebut belum tertuju ke arah persatuan dan kesatuan. Kemelut yang berkepanjangan dalam perebutan kekuasaan, membuat masyarakat memimpikan suatu raja yang kuat yang dapat menerima keberagaman dan mengikatnya dengan persatuan dan kesatuan untuk menyejahterakan bangsa dengan mengedepankan jati diri bangsa.
Istilah “Agama Ageming Aji” oleh Sri Mangkunagara IV bisa diterjemahkan bahwa agama sebagai pakaian yang merupakan tuntunan untuk bisa mengungkapkan jati diri. Bisa juga dimaknai bahwa agama adalah sarana untuk mengungkapkan jati diri. Titik fokusnya adalah jati diri. Masyarakat dapat menerima pakaian apa pun akan tetapi semestinya tetap yang dapat mengungkapkan jati diri. Dan semua pakaian pada dasarnya memang sarana untuk mengungkapkan jati diri. Dalam pelaksanaannyalah pakaian bisa dipakai bukan untuk mengungkap jati diri namun untuk memperoleh kekuasaan duniawi. Raja yang mengungkapkan jati diri adalah raja yang diimpikan masyarakat.
Seorang remaja putri bertanya, “Bunda! Bunda pernah janji bercerita tentang wahyu cakraningrat yang diterima Raden Abimanyu, sehingga dia menurunkan putra Raden Parikesit, Sang Maharaja Hastina. Apakah ada legenda mengenai wahyu di Nusantara yang Bunda ketahui?” Sang ibu menjawab, “Mungkin banyak legenda, akan tetapi Bunda akan bercerita tentang legenda wahyu raja-raja Mataram.”
Wahyu Cakraningrat adalah wahyu ‘wijining ratu’, wahyu benih pewaris raja. Alkisah banyak pemuda mencari Wahyu Cakraningrat agar keturunannya dapat menjadi Maharaja. Disebutkan ada tiga pemuda yang mencari Wahyu Cakraningrat: Raden Abimanyu, putra Raden Arjuna dengan Dewi Wara Subadra; Raden Samba Wisnubratha, putra Prabu Kresna dengan Dewi Jembawati; dan Raden Lesmana Mandrakumara, putra Prabu Suyudana dengan Dewi Banowati.
Ketiganya bertapa di Alas Krendhawahana, sebuah hutan ‘gung liwang liwung, gawat keliwat-liwat, janma mara janma mati, sato mara sato mati’, daerah angker tempat Bathari Durga bersemayam, makhluk apa pun yang masuk akan mati.
Pada suatu tengah malam, terlihat seberkas sinar yang sangat terang berkeliling di atas Alas Krendhawahana. Konon sinar itu adalah Wahyu Cakraningrat yang tengah mencari ‘wadah’, pemuda yang sanggup menerimanya. Pertama-tama, Wahyu Cakraningrat “masuk” ke dalam diri Lesmana Mandrakumara. Merasa kemasukan wahyu, ia pun menyudahi tapanya. Dia sangat girang dan berpesta pora merayakannya bersama para prajurit Korawa. Mereka mabok kelezatan makanan dan minuman. Tingkat kesadaran Lesmana Mandrakumara masih di cakra bawah, cakra makan minum, sehingga sang wahyu cakraningrat tidak dapat bertahan lama. Hawa nafsu makan dan minum Lesmana Mandrakumara membuat suasana panas dan sang wahyu pergi ke luar.
Selanjutnya, Wahyu Cakraningrat “masuk” ke dalam diri Samba Wisnubratha. Merasa kemasukan wahyu, dia pun menyudahi tapanya. Bathari Durga tidak berkenan dengan hal tersebut dan mengubah dirinya menjadi bidadari yang cantik jelita. Dia pun menggoda Samba. Samba Wisnubratha terpengaruh dan tergoda. Dia pun mencumbu dan memperlakukan si wanita itu layaknya istri sendiri. Akibatnya sangat fatal, Wahyu Cakraningrat yang berada dalam tubuhnya seketika keluar dan melesat, mencari wadah lain. Pusat kesadaran Samba masih di cakra seks, energinya masih cair dan selalu bergerak ke bawah menuju cakra kedua.
Kemudian Wahyu Cakraningrat “masuk” ke dalam tubuh Abimanyu. Merasa kemasukan wahyu, ksatria putra Raden Arjuna ini pun merasa sangat bersyukur kepada Gusti. Mengetahui momongannya kemasukan wahyu, Semar pun mewanti-wanti agar Abimanyu semakin berhati-hati.
Semar adalah pemandu manusia yang bijak, yang mengikuti perintahnya akan selamat. Ketika bidadari jelmaan Bathari Durga menggodanya, Abimanyu pun selalu menghindar meskipun si wanita terus-menerus mengejarnya. Melihat momongannya dalam kesulitan, Semar segera membantu. Dia menghajar sang bidadari habis-habisan. Tiba-tiba, si wanita cantik itu berubah wujud aslinya sebagai Bathari Durga yang bersegera mohon maaf dan menghilang.
Semar menasehati, “Raden Abimanyu, ‘momongan’-ku, hormatilah Kebenaran Jati Diri-mu, jangan kau merendahkan Diri Sejati-mu dengan harta, tahta dan wanita yang hanya menyamankan pancaindra dan pikiran secara sementara. Begitu kau terpesona dan terikat dengan duniawi itu kau telah menduakan Gusti. Gusti Kebenaran Abadi kau bandingkan dengan ilusi duniawi, hal tersebut termasuk tersesat dari Jalan Kebenaran. Banyak manusia yang setiap saat mohon petunjuk agar diberikan jalan yang benar, jalan yang diridhoi, jalan yang tidak tersesat. Tetapi yang diinginkan mereka keduniawian dan bukan Gustinya sendiri, mereka menduakan Gusti. Bahkan Gusti pun hanya digunakan sebagai alat untuk mencari keduniawian. Apakah itu tidak berarti kesenangan egonya dijadikan Tuhan?
Manusia bisa menggunakan kelebihan anugerah yang diberikan kepadanya, untuk membuat hidup lebih nyaman, akan tetapi perlu melepaskan diri dari rasa keterikatan. Keterikatan pada sesuatu yang tidak abadi.
Kebutuhan makan berkaitan dengan Chakra Pertama, Lapisan Kesadaran Pertama. Kemudian, kebutuhan seks berkaitan dengan Chakra Kedua, Lapisan Kesadaran Kedua. Dan, kebutuhan tidur dan rasa nyaman berkaitan dengan Chakra Ketiga, Lapisan Kesadaran Ketiga. Dalam teks-teks kuno di Timur, tiga lapisan kesadaran awal ini memang dikaitkan dengan instink hewani. Dalam bahasa para bijak jaman dulu, binatang pun memiliki tiga chakra awal tersebut. Baru Chakra Keempat, Lapisan Kesadaran Cinta, yang merupakan inti kemanusiaan dalam diri manusia. Chakra kelima sampai dengan ketujuh dikaitkan dengan Keilahian. Jadi tiga lapisan pertama bersifat hewani. Lapisan keempat bersifat manusiawi. Dan lapisan kelima sampai dengan ketujuh bersifat Ilahi. *2 Medis dan Meditasi halaman 24
Menurunkan Raja-Raja Mataram
Bagi para leluhur, bukan hanya kesiapan diri yang menyebabkan wahyu turun, adalah Kehendak Ilahi, Ridho Keberadaan yang menyebabkan setiap peristiwa dapat terjadi.
Alkisah di masa pemerintahan Kerajaan Pajang tersebutlah dua orang kakak-beradik, Ki Ageng Giring sang kakak dan Ki Ageng Pemanahan sang adik. Pada suatu hari, dalam suatu petapaannya, Ki Ageng Giring mendapatkan “petunjuk” berwujud sebuah degan, kelapa muda. Barang siapa meminum air degan tersebut sekali tenggak maka anak turunnya akan menjadi raja-raja besar di tanah Jawa. Ki Ageng Giring mengambil degan tersebut dari pohon dan meletakkan di dapur kemudian pergi ke ladang dengan maksud setelah bekerja keras ia akan merasa kehausan dan mampu menghabiskan air degan tersebut dengan sekali teguk.
Sementara itu, Ki Ageng Pemanahan rindu dengan kakaknya. Ia berjalan kaki berkilo-kilometer jauhnya hanya untuk bertemu dengan sang kakak. Setiba di tujuan, Ki Ageng Pemanahan tidak menemukan kakaknya di rumah. Namun, ia memperhatikan sebuah degan di dapur. Dalam keadaan sangat kehausan, Ki Ageng Pemanahan meminum degan tersebut sampai habis dalam sekali teguk.
Ki Ageng Giring pulang bekerja melihat degan sudah tidak ada dan yang ada hanya Ki Ageng Pemanahan. Kemudian dia menceritakan “petunjuk” yang didapatnya. Ki Ageng Pemanahan mohon maaf dan berdoa seandainya petunjuk tersebut menjadi kenyataan, semoga keturunan Ki Ageng Giring ikut bersama dalam mengemban tugas kepemimpinan di tanah Jawa. Konon setelah tujuh generasi, Keturunan Ki Ageng Giring memegang kekuasaan. Bagaimana pun setelah tujuh generasi, sebetulnya sang raja telah mempunyai darah garis keturunan dari mereka berdua.
Setelah kematian tubuh, subconscious mind yang tidak ikut mati dan akan lahir kembali itu mengalami proses “pengolahan”. Dan “pengolahan” tersebut dilakukan oleh super conscious mind. Berarti, lapisan super conscious mind pun sudah ada dalam diri setiap orang. Ada lapisan mind, dan subconscious mind dan super conscious mind. Setiap lapisan sudah ada. Berkembang atau belum itu soal lain. Tetapi, sudah ada. Selama ini, lapisan super conscious mind berfungsi seperti accu mobil, dibutuhkan untuk start pertama. Setelah start, energi selanjutnya diperoleh dari bensin. Jika masih mau lahir kembali, super conscious mind sama pentingnya, bahkan mungkin jauh lebih penting, daripada subconscious mind. Tanpa super conscious mind, siapa yang akan mengelola dan menyimpan subconscious mind, lalu meneruskannya dalam tubuh lain? Tetapi, jika tidak mau lahir kembali, super conscious mind pun harus dilampaui. Dan harus dilampaui ketika kita masih “hidup”, masih ber-“tubuh”. *2 Medis dan Meditasi halaman 94
“Medan Energi Bio-Electric Subconscious Mind” yang tidak ikut mati membentuk synap-synap asli dalam otak bayi yang baru lahir. Demikian, otak bayi mewarisi informasi, keinginan, dan obsesi yang tersimpan dalam “Medan Energi Bio-Electric Subconscious Mind” tersebut. Selanjutnya, terbentuk pula bagian-bagian tubuh lainnya sebagai pelengkap pelaksana. Bahkan, “Medan Energi Bio-Electric Subconscious Mind” bisa memilih tempat dan situasi, di mana tersedia stimulus-stimulus sesuai dengan yang dibutuhkannya. *2 Medis dan Meditasi halaman 95
Orang tua yang menginginkan keturunan yang baik perlu mempersiapkan diri mereka dengan mengendalikan nafsu dan pikirannya setiap hari. Orang tua perlu menjaga kesucian hati mereka. Sehingga ada nasehat selama hamil kedua orang tua jangan membunuh hewan. Artinya kedua calon orang tua sejak nikah sudah melakukan tindakan penuh kasih dan berbudi luhur agar mendapat anak keturunan yang baik.
Raga seseorang mengalami kelahiran berkembang menua dan mati, akan tetapi tidak demikian dengan ruh atau mind-nya. Ruh atau mind yang masih mempunyai obsesi-obsesi keduniawian akan mencari tubuh untuk melanjutkan evolusi dan menyelesaikan obsesinya. Para Suci mempertahankan mind-nya dengan mengajar para murid untuk meningkatkan kesadaran mereka. Konon, bila seorang suci masih mempunyai obsesi menjadi wahana besar bagi murid-muridnya untuk mendapatkan pencerahan, masih ingin meningkatkan kesadaran para muridnya, maka dia pun akan lahir kembali. Ruh atau mind akan mencari orang tua dan lingkungan yang sesuai dengan obsesi dan evolusinya. Atas ridho Keberadaan, pasangan orang tua yang menyiapkan lahan bagi bersemainya benih putra-putri yang perkasa akan mendapatkan benih yang sesuai.
Devaki dan Vasudeva
“Putriku dengarkanlah cerita tentang Devaki dan Vasudeva, orang tua Sri Krishna.”
“Devaki adalah yang paling suci di antara wanita. Dalam kehidupan dahulu, dia dilahirkan dalam keturunan Svayambu Manu, bernama Prsni. Pada saat tersebut, Vasudewa bernama Sutapa. Mereka diperintahkan untuk melakukan tapa penuh pengabdian. Pikiran mereka terfokus pada Gusti. Mereka tidak minta moksha tetapi ingin melahirkan Gusti yang mewujud sebagai putra mereka. Putra Prsni selanjutnya dikenal sebagai Prsnigarbha dan menjadi terkenal karena kualitas kesuciannya.”
“Kemudian mereka lahir lagi sebagai Kasyapa dan Aditi, dan lahirlah Gusti sebagai Upendra yang terkenal dengan nama Vamana. Sang penakluk Bali. Yang ketiga kali Gusti dilahirkan sebagai Sri Krishna, putra mereka, saat mereka sebagai Devaki dan Vasudeva. Pada saatnya nanti, Sri Krishna berkata pada sang bunda, “Jika bunda tidak melihat bentuk sejatiku, maka bunda akan terlibat lagi dalam maya dan tidak dapat mencapai moksha. Setelah melihat wujud sejatiku, bunda akan menyadari bahwa aku adalah Brahman. Dan, setelah kelahiran ini bunda akan moksha.”
Sebagian masyarakat yakin bahwa wahyu adalah wujud kelimpahan anugerah Gusti kepada seseorang. Sehingga orang yang ‘kewahyon’, mendapat wahyu dikatakan hidupnya sejahtera secara lahir dan batin. Wahyu dimaknai sebagai tanda perubahan seseorang yang mengarah kepada kebaikan, kesuksesan, dan kemasyhuran yang berguna bagi masyarakat. Perubahan tersebut merupakan hasil dari sebuah ‘laku’, olah batin. Ketika batin seseorang bergerak dengan dibarengi laku, maka akan menimbulkan energi berkekuatan magnet yang dapat menarik energi alam semesta.
Terbunuhnya Arya Penangsang oleh Sutawijaya
“Putriku, tidak sepenuhnya kisah tentang Arya Penangsang itu benar. Akan tetapi kita tetap dapat menarik hikmah dari karakter Arya Penangsang yang digambarkan dalam kisah-kisah tersebut. Gambaran Arya Penangsang tersebut mewakili diri kita yang belum terkendali, menjadi budak nafsu amarah, dan melakukan tindakan apa saja demi hasratnya. Arya Penangsang mengirim pembunuh-pembunuh gelap, teroris-teroris untuk membunuh musuh-musuhnya.”
Alam bawah sadar kita masih terpengaruh naluri hewani. Itu sebabnya kita tidak segan-segan mencelakakan orang lain, demi kepentingan diri. Kita harus melanjutkan perjalanan kita. Berada pada tingkat ini pun, sebenarnya kita belum manusiawi. Berbadan manusia, tetapi belum cukup manusiawi. Bukan hanya kenyamanan diri, kita juga harus bisa memikirkan kenyamanan orang lain. Untuk itu kita harus meningkatkan kesadaran kita sedikit lagi. *3 Kundalini Yoga halaman 89
Celakanya, sejak lahir, keinginan untuk membunuh pun sudah ada dalam otak manusia. Percaya atau tidak percaya sama teori Darwin somehow kita mewarisi insting hewani seperti itu dari evolusi panjang. Itu sebabnya, lewat meditasi kitajustru membersihkan otak. Deconditioning dalam bahasa meditasi, dan detoksifikasi dalam bahasa media—dua-duanya sama dan untuk memperbaiki kualitas otak. Kualitas otak tidak bisa diperbaiki dengan apa yang disebut “optimalisasi” otak. Tidak bisa dengan sekadar membaca buku atau diberi perintah, “Janganlah kau membunuh”. Keinginan untuk membunuh dan perangkat otak yang dapat mewujudkan keinginan itu harus diolah sedemikian rupa, sehingga keinginan untuk membunuh lenyap, dan perangkat lunak otak pun bersih dari program bunuh-membunuh. Kemudian, pemicu-pemicu dari luar pun tak mampu memicu kita untuk melakukan pembunuhan. *4 Bhaja Govindam halaman 60
Bagaimana seseorang bisa menjadi teroris? Karena insting-insting hewani di dalam dirinya dipertahankan. Tidak ada upaya untuk membersihkannya. Kisah-kisah yang disuguhkan kepadanya lebih banyak bercerita tentang permusuhan, pertengkaran dan kebencian antar kelompok, “Mereka adalah penjahat, dari dulu juga demikian. Coba buka bukumu, baca, ada kan cerita tentang kejahatan mereka.” Oleh karena itu bisa saja seseorang bersumpah bahwa dia tidak terlibat dalam aksi teror. Mungkin dia pun tidak sadar bahwa pendidikan yang diberikannya kepada anak-anak kecil di asramanya sudah cukup untuk mencetak teroris. *4 Bhaja Govindam halaman 62
Arya Penangsang membuat saluran air melingkari Jipang Panolan dan dihubungkan dengan Bengawan Solo. Karena pada sore hari air Bengawan Solo pasang maka air di saluran juga mengalami pasang. Oleh karena itu saluran tersebut dikenal dengan nama Bengawan Sore. Konon Sunan Kudus memberi mantra pada sungai tersebut agar musuh yang menyerang dengan menyeberangi sungai tersebut akan kehilangan kesaktiannya.
Sebetulnya Arya Penangsang sudah tidak berhak mengklaim tahta Demak kepada Sultan Hadiwijaya, karena Pajang adalah sebuah kerajaan tersendiri. Akan tetapi dendamnya kepada putera dan menantu Sultan Trenggana belum pupus. Dia kembali mengirim pembunuh gelap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, mengulangi keberhasilan pembunuhan terhadap Sunan Prawata. Akan tetapi pembunuhan tersebut tidak berhasil.
Dikisahkan Sunan Kalijaga memohon kepada Sunan Kudus agar para sepuh, Wali, Ulama dapat menempatkan diri sebagai orang tua. Tidak perlu ikut campur dalam urusan “rumah tangga” anak-anak. Biarkanlah Arya Penangsang dan Hadiwijaya menyelesaikan persoalanya sendiri. Dan yang sepuh sebagai pengamat. Sunattulah akan berlaku bagi mereka berdua, ‘Sing becik ketitik sing ala ketara’, yang benar dan yang tidak benar akan kelihatan. Wali lebih baik mensyi’arkan agama tanpa menggunakan kekuasaan. Urusan tata negara sebaiknya dilakukan oleh ahlinya masing-masing. Wali adalah ahli da’wah bukan ahli tata negara. Jangan sampai para Wali terpecah belah karena berpihak kepada salah satu diantara mereka. Apa kata rakyat jelata, jika melihat para Wali ‘udreg-udregan’, sibuk berkelahi sendiri.
Dikisahkan Sunan Kudus sebagai Hakim Agung Kasultanan Demak, mengundang Sultan untuk datang ke Kudus mendinginkan suasana. Pada saat pertemuan itu terjadi perang mulut antara Arya Penangsang dan Sultan Hadiwijaya dan mereka saling menghunus keris. Konon Sunan Kudus berteriak: “Apa-apaan kalian! Penangsang cepat sarungkan senjatamu, dan masalahmu akan selesai!” Arya Penangsang patuh dan menyarungkan keris ‘Setan Kober’nya. Setelah pertemuan usai, konon Sunan Kudus menyayangkan Arya Penangsang, maksud Sunan Kudus adalah menyarungkan keris ke tubuh Sultan Hadiwijaya dan masalah akan selesai.
Konon Sultan Hadiwijaya sungkan berperang langsung dengan kerabat sediri, maka beliau mengadakan sayembara, siapa saja yang bisa membunuh Arya Penangsang akan diberi hadiah tanah perdikan. Tersebutlah saudara-saudara angkat Sultan, Ki Ageng Pemanahan, Ki Pejawi dan Ki Juru Mertani yang merupakan cucu Ki Ageng Sela mengikuti sayembara tersebut. Bahkan Danang Sutawijaya, putera Ki Ageng Pemanahan, yang juga merupakan putra angkat Sultan juga ikut berjuang membantu ayahandanya.
Dikisahkan Ki Juru Mertani menyeberang sungai dan memotong telinga tukang rumput perawat kuda Gagak Rimang dan menulis tantangan bahwa Arya Penangsang diajak berduel. Arya Penangsang yang konon sedang berpuasa 40 hari dan belum selesai, terprovokasi dan dengan tubuh yang belum fit segera naik kuda Gagak Rimang menuju ke sungai. Para prajuritnya tergopoh-gopoh mengikutinya.
Danang Sutawijaya, menantang di seberang sungai menaiki kuda betina yang sedang diamuk berahi. Konon kuda Gagak Rimang menjadi tidak terkendali dan menyeberang Sungai Bengawan Sore, dan pagar pengaman yang dibuat Sunan Kudus dibobol sendiri oleh Arya Penangsang. Saat mau naik tebing sungai Gagak Rimang tak terkendali, dan kala Arya penangsang sibuk mengendalikan kudanya, Sutawijaya menombak dengan Kyai Plered, sehingga Arya Penangsang terluka. Terjatuh dari kuda, Arya Penangsang menyarungkan ususnya yang keluar pada gagang keris dan mereka berkelahi. Sutawijaya terdesak, dan Ki Juru Mertani berteriak, “Arya Penangsang bunuh saja Sutawijaya!” Dan kembali Arya Penangsang terprovokasi, menarik keris yang bahkan memotong ususnya sendiri sehingga Arya Penangsang terjatuh dan meninggal dunia.
Konon pada saat penganten pria nikah dan memakai pakaian adat Jawa, kerisnya dikalungi bunga melati, sebagai peringatan agar bisa mengendalikan amarah tidak seperti Arya Penangsang.
Kebenaran cerita mengenai Arya Penangsang memang sulit dibuktikan karena, siapa yang menang bisa membuat sebuah versi cerita. Bahkan ada kemungkinan juga bahwa kisah tersebut dibesar-besarkan oleh penjajah agar terjadi konflik dalam masyarakat. Demikian juga tentang kisah Sutawijaya, ada berbagai versi. Ada yang mengatakan Sutawijaya adalah lembu peteng, alias putra gelap Sultan Hadiwijaya, ada juga yang mengatakan dia dikawinkan dengan salah satu putrinya. Yang jelas dia beserta Ayahandanya, Ki Ageng Pemanahan diberi tanah Mentaok yang akhirnya terkenal dengan tanah Mataram. Sedangkan Ki Penjawi diberi tanah di Pati. Pada akhirnya Sutawijaya menjadi Raja Mataram pertama yang menurunkan raja-raja Mataram berikutnya.
Mengendalikan instink hewani
Manusia perlu mengandalikan sifat hewani dalam diri.
Manusia tidak bisa bebas sepenuhnya dari instink hewani. Bagaimana bisa bebas sepenuhnya? Bebas dari sifat-sifat ini, ya berarti mati. Kita tidak bisa bebas dari hewan di dalam diri, tetapi bisa menjaga kejinakannya. Sadarlah selalu oleh karena itu berarti kendalikan hewan di dalam diri. Janganlah engkau terkendali olehnya. *4 Bhaja Govindam halaman 23
Manusia juga perlu mengendalikan nafsu akan kekuasaan.
Orang yang gila akan kekuasaan akan selalu berlomba. Ia ingin menjadi nomer satu dan demi tercapainya keinginan itu, ia akan selalu melibatkan dirinya dalam perlombaan. Ia lebih mirip kuda-kuda yang digunakan di pacuan kuda. Jangan jadi binatang, jadilah manusia. Perlombaan, persaingan – semuanya itu sifat-sifat hewani. Manusia memiliki harga diri; ia cukup mempercayai dirinya sendiri. Ia tidak usah terlibat dalam perlombaan. Setiap manusia unik, tidak ada satu pun manusia yang persis sama seperti orang lain. Ia tidak perlu melibatkan dirinya dalam perlombaan untuk membuktikan keunggulannya. *5 Bhagavad Gita halaman 15
Negeri kita melahirkan sekian banyak teroris bahkan menjadi pengekspor ke negara tetangga, karena menurunnya kesadaran kita secara kolektif. Terorisme lahir dari kekerasan, dan kekerasan adalah ciri khas kesadaran rendah, kesadaran hewani, kesadaran lymbic. Terorisme adalah sifat hewani di dalam diri manusia. Terorisme atau kekerasan adalah sifat hewani yang tersisa di dalam diri manusia. Bila tidak diolah dan diubah menjadi kasih dan kelembutan, sia-sialah wujud manusia pemberian semesta kepada kita. Kita mengkhianati kepercayaannya, bila setelah memperoleh busana manusia pun masih tetap berkesadaran sama seperti hewan. Kita lahir dengan potensi sebagai manusia, tetapi kita tak pernah menjadi manusia bila potensi tersebut tidak dikembangkan. *6 Neo Psyhic Awareness halaman 167
Selama pancaindra dikuasai pikiran, dikuasai oleh apa yang disebut ‘upaadhi’ atau conditioning, maka Kebenaran akan tampak terbagi-bagi, terpecah-belah. Tampak banyak, padahal satu adanya. Upaadhi berarti “program” yang sudah berubah menjadi kebiasaan. Dari kecil kita diprogram untuk mempercayai kebenaran tentang berbagai hal. Beranjak dewasa, kita mulai kritis. Banyak hal tidak masuk akal, tetapi kita sudah terlanjur diprogram untuk mempercayainya. Karena itu terjadilah konflik di dalam diri. Banyak orang terperangkap dalam permainan lama: menolak conditioning lama, masuk conditioning baru pun akan membuat kita tetap jauh dari Kebenaran. Awan delusi tetaplah awan delusi. Lama atau baru sama saja. Pertikaian terjadi karena kegagalan kita melihat Langit Kebenaran. Kita memperhatikan awan melulu. Shankara sedang mengajak kita untuk menanatap Langit Kebenaran. Tak terbagi, tak terpecah-belah. Utuh dan Satu. *7 Atma Bodha halaman 70
“Putriku, seseorang yang tidak naik kelas, harus mengulang pelajaran yang sama dan dia harus dapat menyelesaikan hal-hal yang membuat tidak lulus, sehingga dia dapat naik kelas. Bangsa kita juga harus mengulangi sejarah, kejadian-kejadian serupa dan berjuang untuk lulus sehingga naik kelas. Demikian juga tingkat kesadaran tidak naik, bila kita belum lulus dari suatu masalah. Perhatikan siklus kehidupan dalam keluarga, seorang anak yang berani melawan orang tuanya, sewaktu dia menjadi orang tua akan dilawan anaknya. Sampai seorang anak sadar untuk memutus siklus tersebut dan naik kelas. Demikian menurut Bunda cara belajar sejarah.”
“Terima kasih Bunda, Terima Kasih Guru yang telah membangkitkan semangat untuk mempelajari sejarah leluhur. Namaste! Bende Mataram, Sembah Sujudku bagi Ibu Pertiwi.”
*1 Sutasoma Sandi Sutasoma Menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2007.
*2 Medis dan Meditasi Medis & Meditasi, Anand Krishna dan Dr. B. Setiawan, Gramedia Pustaka Utama, 2001.
*3 Kundalini Yoga Kundalini Yoga, dalam hidup sehari-hari, Anand Krishna, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999.
*4 Bhaja Govindam Bhaja Govindam Nyanyian Kebijaksanaan Sang Mahaguru Shankara, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2004.
*5 Bhagavad Gita Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama 2002.
*6 Neo Psyhic Awareness Neo Psyhic Awareness, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2005.
*7 Atma Bodha Atma Bodha Menggapai Kebenaran Sejati Kesadaran Murni dan Kebahagiaan Kekal, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Informasi buku silahkan menghubungi
http://booksindonesia.com/id/
Situs artikel terkait
http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
Desember 2009.