January 22, 2010

Bhinneka Tunggal Ika Mengukuhkan Persatuan Ajaran Para Suci

Setelah peristiwa 30 September 1965, kala itu para orang tua dan muda-mudi takut dikatakan tidak beragama, sehingga mereka banyak yang mulai mendatangi tempat-tempat ibadah sesuai keyakinan masing-masing. Putra-putri kecil mereka juga diperkenalkan dengan keyakinan orang tuanya sejak kecil. Bahkan banyak yang disekolahkan pada tempat-tempat pendidikan yang dikelola berdasarkan keyakinan tertentu. Tiga puluh tahun telah berlalu dan putra-putri dari orang-orang tua tersebut telah dewasa dan telah terbentuk pola dalam pikirannya hanya keyakinan mereka yang benar.

Anak-anak kecil tersebut sudah menjadi orang tua dan kemudian mempunyai putra-putri yang sejak kecil sudah dididik sesuai keyakinan  mereka. Sejak usia kecil, anak-anak kita sudah didik untuk memperhatikan perbedaan, bukan melihat kesatuan di balik perbedaan. Bhinneka tunggal Ika hanya merupakan slogan saja. Demikian yang terjadi dan banyak anggota masyarakat yang merasa berbeda dengan anggota masyarakat yang lain.

Bila kita ingin melihat Indonesia bersatu, maka kita harus mulai dari anak-anak kita agar dapat  melihat kesatuan di balik perbedaan. Bila tidak, disintegrasi sudah di ambang mata.

Keunikan manusia

 

Alam tidak mengenal “pengulangan”. Tidak ada dua pohon yang bentuknya persis sama. Tidak ada manusia yang wajah dan perilakunya persis sama. Segala sesuatu dalam alam ini sangat “unik”. Bayangkan, jika alam ini saja sudah unik, bagaimana dengan Ia yang disebut-sebut sebagai Penguasa Alam Raya. Aalam Panaah? Keunikan dalam alam ini merupakan bagian kecil dari Keunikan Ia Yang Maha Unik Ada-Nya. *1 Surah Terakhir halaman 49

Enam milyar penduduk dunia mempunyai wajah yang berbeda. Orang kembar pun tetap mempunyai perbedaan yang mungkin hanya diketehui orang-orang yang dekat dengan mereka.

Tiap orang dari kita adalah unik. Ya benar. Tetapi jangan biarkan keunikan ini memisahkan kita. Marilah kita selalu ingat bahwa pada intinya kita semua satu. Marilah kita rayakan keunikan individual kita. *2 The Gospel of MJ halaman 71

Akan tetapi perbedaan tersebut sebetulnya berasal dari yang satu. Seluruh alam ini terdiri dari kombinasi lima elemen alam. Kadar dari air, api, udara, tanah dan ruang bisa berbeda, akan tetapi elemen dasarnya sama. Bahkan kelima elemen tersebut pada dasarnya adalah energi dengan kerapatan berbeda. Nampak wujudnya berbeda akan tetapi pada hakikatnya semuanya adalah energi. Nampak berbeda, esensinya satu jua.

Kemanusiaan itu bukan hitam atau putih, atau keduanya. Kemanusiaan adalah satu. Anak adalah anugrah alam, keajaiban dan misteri. “Goresan” DNA berbeda, jika kita menilik cukup jauh ke belakang, kita akan temukan kita semua berasal dari satu sumber yang sama. Atom itu satu. Energi juga satu. Sumber segala kehidupan adalah satu. Perbedaan kita adalah geografis. Perbedaan biologis. Tetapi bukan perbedaan yang prinsipil. Pada dasarnya, kita semua satu. Jadi, kembali lagi pada kita. Bagaimana cara pandang kita? Apakah kita menyadari esensi yang satu dan sama, atau kita hanya melihat perbedaan-perbedaan di permukaan?  *2 The Gospel of MJ halaman 70

Energi ke-Tunggal Ika-an

 

Para leluhur memberi nasehat, bahwa sebatang anak panah boleh saja sakti, akan tetapi tanpa energi kuat yang mendorongnya, selepas dari busur anak panah akan cepat terkulai dan tidak mengenai sasaran.

Bhinneka Tunggal Ika adalah senjata sakti penemuan para leluhur kita, akan tetapi Bhinneka Tunggal Ika sering dimaknai sebagai “berbeda-beda namun tetap satu jua”. Pengakuan akan adanya perbedaan, apabila tidak ditindak-lanjuti akan membuat keterpisahan. Sebenarnya lebih tepat dimaknai, “nampaknya berbeda, akan tetapi esensinya sama”. Perbedaan hanya pada wujud luarnya akan tetapi esensinya satu. Ada fokus atau tujuan bersatu. Kalau kita peka, kita dapat merasakan bahwa kedua pandangan tersebut memiliki energinya berbeda, pandangan terakhir lebih mempersatukan.

Mungkin itulah sebabnya Mpu Tantular menambahkan Bhinneka Tunggal Ika dengan kalimat Tan Hana Dharma Mangrwa. Tidak ada Dharma yang mendua, semuanya satu jua untuk memfokuskan pada rasa persatuan.

Kesalahan paling besar yang dilakukan Gajah Mada, menurut Mpu Tantular, adalah penerimaannya terhadap kebhinekaan, keberagaman tanpa memperhatikan benang merah yang mempersatukan manikam-manikam yang beda dalam untaian kalung manis nan indah. Keadaan kita saat ini tidak jauh berbeda. Banyak yang dapat menerima kebhinekaan, keberagaman atau pluralitas, namun sebatas penerimaan saja. Bagaimana menindaklanjuti penerimaan itu dan mengaitkannya dengan kehidupan sehari-hari tak terpikirkan.

Kebhinekaan, keberagaman dan pluralitas yang tidak bertujuan satu dan sama tidak berguna. Ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika” adalah “half-truth”. Anda dapat merayakan kebhinekaan dengan penggalan ini, tetapi tidak dapat menggunakannya demi tujuan yang lebih mulia. Untuk itu, penggalan berikut dari Bhinneka Tunggal Ika mesti diperhatikan: “Tan Hana Dharma Mangrwa” – Tak Ada Dualitas dalam Dharma, dalam Kebijakan yang Melandasi setiap Karya bagi Negara dan Bhakti bagi Ibu Pertiwi. Selain kebijakan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, mesti menjunjung tinggi kearifan lokal. Manusia Indonesia harus tetap menjadi  Manusia Indonesia, bukan fotokopian Arab, China, India atau Eropa. *3 Sutasoma halaman 32

Pandangan para sufi, para yogi, para bijak tentang kesatuan

Seorang sufi bebas dari kotak-kotak keyakinan, dia tidak mengidentifikasikan diri mereka dalam kotak-kotak kelompok duniawi. Dia mengkaitkannya dengan keilahian sehingga ada keuniversalan dalam diri manusia.

Seorang Sofie dalam bahasa Yunani, atau Sufi dalam bahasa Arab, adalah seseorang yang tersesat dalam Senandung Agung. Seorang Sufi menjadi satu dengan Nyanyian, dengan Sang Agung. Jiwa Sufi adalah jiwa universal, jiwa Tuhan. Bangkitnya jiwa semacam itu berarti juga kebangkitan ketuhanan di dalam diri. *2 The Gospel of MJ halaman 14

Bangkitnya Jiwa Sufi di dalam diri adalah hal paling berbahaya yang dapat terjadi dalam diri seorang manusia. Sufi adalah mahluk-mahluk yang sudah bertransformasi. Mungkin mirip kita, tetapi tidaklah sama dengan kita. Mereka berbeda. Kita mengidentifikasikan diri dengan masyarakat, akademi, institusi, agama, dan hal lainnya. Kita mengidentifikasikan diri kita dengan benda, materi. Para Sufi mengidentifikasikan diri dengan dengan hal-hal di luar jangkauan materi, esensi materi yaitu energi murni. Kita hidup dalam kotak-kotak sosial. Para Sufi hidup di luar kotak-kotak tersebut. Kita takut hidup di luar kotak kecil kita. Para Sufi malah akan sesak nafas di dalam kotak-kotak itu. *2 The Gospel of MJ halaman 18

 

Permukaan permata memang memiliki banyak sisi, dan setiap sisi menambah keindahannya. Para saintis, para ilmuwan melihat permukaan yang indah itu. Mereka terpesona. Setiap sisi melahirkan satu cabang ilmu. Dan setiap cabang ilmu diminati oleh sekian banyak orang. Sebaliknya, seorang mistik, seorang yogi, seorang sufi memasuki “inti” permata itu sendiri dan menemukan “Yang Satu Itu”.  *4 Paramhansa halaman xxiii

Bhinneka Tunggal Ika selaras dengan pandangan para sufi tentang keuniversalan yang bebas dari kotak-kotak kecil kelompok manusia. Pandangan para sufi, para bijak, para yogi adalah pandangan holistik, pandangan kesatuan, sedangkan pandangan mereka yang terkotak-kotak adalah pandangan individualistik.

Dari individualistik menuju holistik, inilah perjalanan yang harus kita tempuh bersama. Agama-agama kita pun awalnya mengajak kita untuk melakukan perjalanan yang sama. Al-Qur’an mengajak kita untuk melihat Wajah Allah di mana-mana, dan melayani sesama manusia. Injil menasehati kita untuk mencintai sesama sebagaimana kita mencintai Tuhan. Veda merumuskan bahwa Tuhan meliputi Alam Semesta. Dhammapada, Avesta, Guru Granth, semua kitab suci mengatakan hal yang sama. Mereka yang masih terkendali oleh insting hewani tidak mampu melihat kebenaran secara holistik. *5 Otak pemimpin kita halaman 71

Universalitas Wahyu

 

Berikut ini kami petik tulisan dalam *1 Surah Terakhir halaman 124

Biarkan saya bicara. Biarkan saya memberikan pandangan saya tentang apa yang anda sebut “wahyu”. Anda tidak perlu sependapat, tidak perlu menerimanya. Silakan menolak saya. Tetapi 50 tahun kemudian, generasi penerus anda, cucu dan cicit anda akan menerima pandangan ini. Saya sedang bicara 50 tahun sebelum waktunya, karena sudah tidak tahan lagi melihat ketololan manusia. Tolol tetapi angkuh! Sepertinya la sudah hebat. Sepertinya ia adalah makhluk terpilih. Tidak ada yang melebihi dia. Jika pandangan anda tidak berubah, Tuhan yang anda sembah, Allah yang anda puja, tidak dapat disebut Maha Pengasih dan Maha Penyayang lagi. Jelas-jelas la pilih kasih. Sekarang terserah anda, mau anda apa? Memperluas wawasan, pandangan dan pemahaman tentang Tuhan, atau menyatakan bahwa la tidak Maha Pengasih, la tidak Maha Penyayang. la Mengasihi manusia di atas segala makhluknya yang lain. *1 Surah Terakhir halaman 124

“Wahyu” adalah getaran-getaran Ilahi. Seperti siaran radio. Gelombang radio ada di mana-mana. Siaran dari setiap setasiun dari seluruh dunia berada dalam ruangan di mana anda berada saat ini. Bahkan, berada dalam setiap ruangan, di setiap tempat, di manapun anda pernah ada, dan akan berada. Untuk menerima siaran-siaran itu, yang dibutuhkan adalah sebuah receiver, alat penerima-radio. Nah, sekarang tergantung betapa canggihnya alat penerima anda. Semakin canggih radio yang anda miliki, semakin banyak siaran yang dapat anda terima. Anehnya, semakin pendek gelombang radio, semakin luas jangkauannya. Short wave bisa menerima siaran dari manca negara, tetapi FM dan AM hanya bisa menerima siaran dalam negeri. *1 Surah Terakhir halaman 124

Sesuai dengan gambaran itu, mari kembali kepada apa yang kita sebut “wahyu”. “Wahyu” adalah Getaran-Getaran Ilahi yang bergelombang amat sangat pendek. Semakin dalam anda meniti diri sendiri, semakin jelas penerimaan anda. Karena itu, mereka yang sibuk mengejar ilmu pengetahuan dari luar diri – yang “ber-gelombang panjang” – tidak pernah menerima wahyu. Yang menerima siapa? Muhammad, seorang yatim piatu, seorang pedagang yang buta huruf. Siapa lagi? Seorang Yesus, seorang Isa – anak tukang kayu! Siddhartha harus meninggalkan istana, melepaskan segala macam atribut luaran, untuk menerimanya. Krishna adalah seorang gembala sapi. Merekalah para penerima wahyu. Mereka ini meniti jalan ke dalam diri. Mereka menemukannya dalam diri sendiri. *1 Surah Terakhir halaman 124

Perbedaan yang terlihat antara Al-Qur’an dan Veda, antara Dhammapada dan Zend Avesta, antara Taurat dan Guru Granth, disebabkan oleh “alat penerima”. Apalagi dalam hal ini, setiap “alat penerima” adalah manusia dengan berbagai budaya yang berbeda! “Alat penerima” wahyu di Timur Tengah berbeda sedikit dari “alat penerima” di India. Begitu pula dengan “alat penerima” di Cina, tentu saja berbeda dari “alat-alat penerima” yang lain. Setiap “alat penerima” dipengaruhi oleh budaya setempat. Nabi Muhammad dipengaruhi oleh budaya Arab. Buddha dipengaruhi oleh budaya India. Lao Tze dipengaruhi oleh budaya Cina. Musa dipengaruhi oleh budaya Mesir. *1 Surah Terakhir halaman 124

Getaran-Getaran Ilahi atau “wahyu” yang diterima oleh masing-masing “alat penerima” oleh masing-masing nabi, avatar, mesias, dan buddha – diterjemahkan dalam bahasa setempat. Juga dikaitkan dengan kondisi setempat, dengan kejadian-kejadian kontemporer. Itu sebabnya, setiap kitab suci apakah itu Al-Qur’an, Veda, Dhammapada, Injil, Zend Avesta, Taurat, Zabur, Guru Granth selain mengandung ajaran-ajaran yang bersifat universal, juga mengandung ayat-ayat yang bersifat sangat kontekstual. *1 Surah Terakhir halaman 124

Pada hakikatnya sumber ajaran para suci adalah satu dan sama, cara penyampaiannya berbeda karena situasi dan kondisinya berbeda. Dan, Bhinneka Tunggal Ika dapat mewadahi semuanya.

Terima Kasih Guru, semoga kesadaran Guru menyebar dan membangkitkan kesadaran putra-putri Ibu Pertiwi. Semoga Bhinneka Tunggal Ika menjiwai seluruh tindakan putra-putri bangsa. Salam Indonesia!

*1 Surah Terakhir      Surah-Surah Terakhir Al Qur’an Bagi Orang Modern, Anand Krishna, Gramedia Pustaka Utama, 2000.

*2 The Gospel of MJ    The Gospel Of Michael Jackson, Anand Krishna, Anand Krishna Global Co-Operation bekerja sama dengan Yayasan Anand Ashram, 2009.

*3 Sutasoma           Sandi Sutasoma menemukan Kepingan Jiwa Mpu Tantular, PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2007.

*4 Paramhansa        Otobiografi Paramhansa Yogananda, Meniti Kehidupan bersama para Yogi, Fakir dan Mistik, Anand Krishna, PT Gramedia Pustaka Utama 2002

*5 Otak pemimpin kita             Otak Para Pemimpin Kita Dialog Carut Marutnya Keadaan Bangsa, Anand Krishna dkk, One Earth Media, 2005.

Informasi buku silahkan menghubungi

http://booksindonesia.com/id/

Situs artikel terkait

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Januari 2010.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone