February 28, 2010

Ngambekan, Dendaman Dan Mudah Sakit Hati, Waktunya Menoleh Ke Dalam Diri

Malam telah larut dan sepasang orang tua setengah baya belum tidur juga, mereka berbincang-bincang tentang sejarah bangsa.

Sang Istri: Ken Arok meminta Empu Gandring untuk membuat Keris Sakti yang sangat ampuh. Kemudian, agar Empu Gandring tidak dapat membuka rahasia maka dia dibunuhnya untuk menjaga kerahasiaan agar tertutup rapat. Empu Gandring memberikan kutukan yang selaras dengan hukum alam semesta, keris ini akan meminta tumbal tujuh nyawa. Keris ini adalah wujud dari pikiran yang penuh ambisi yang menghalalkan segala cara termasuk dengan darah pembuatnya. Ibarat buku “The Secret”, maka pikiran yang mempunyai bentuk yang luar biasa kuat ini akan menarik gelombang pikiran serupa. Dan pikiran kuat ini mampu mempengaruhi beberapa generasi sesudahnya. Apakah keris sakti ini seperti halnya mass media, dia bisa digunakan dan dia akan kembali meminta korban dirinya sendiri sesuai hukum alam aksi reaksi? Who knows?

Sang Suami: Genetik kita diwariskan dari leluhur secara turun temurun. Dalam DNA kita terdapat catatan pengalaman leluhur-leluhur kita zaman Sriwijaya, zaman Majapahit, genetik bawaan dari pembangun Candi Monumental Borobudur dan juga genetik pelaku kekerasan Ken Arok dan Arya Penangsang . Zaman dulu dan zaman sekarang ini adalah satu rangkaian yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam genetik seseorang terdapat catatan evolusi panjang kehidupannya sampai saat ini. Hal ini harus dipahami lebih dahulu.

Sang Isteri: Benar suamiku, melihat bonek dan kerusuhan dalam pertandingan sepakbola, perkelahian antar kampung dan antar kampus, bahkan komentar para wakil rakyat kita dalam menghadapi kasus besar, nampaknya warisan kekerasan masih mewarnai bangsa kita. Dalam DNA kita bukan hanya pengalaman leluhur masa lalu, insting kehewanian pun masih kita warisi. Bukankah tindakan sebagian besar bangsa kita berdasarkan naluri fight or flight? Pakaiannya boleh berdasi, akan tetapi dalam dirinya kerakusan hewan masih ada dalam diri.

Sang Suami: Menurut penelitian Mochtar Lubis, penyakit terbanyak orang Indonesia adalah sifat ngambekan, dendam, mudah sakit hati. Hal ini juga dipengaruhi oleh geografis Indonesia yang kurang menunjang. Iklim tropis membuat lembab, terlalu banyak kandungan air dalam tubuh, sehingga orang-orangnya mudah bergejolak. Hal inilah yang senantiasa harus kita sadari, selalu mawas diri agar tidak terhanyut. Beberapa orang yang mengatas namakan bekas murid dari seorang tokoh, menuntut pelecehan seksual yang dilakukan sang tokoh. Dari segi hukum belum tentu menang, tetapi dalam pembuatan opini masyarakat karena didukung media massa, mereka terus berusaha menjelek-jelekkan sang tokoh tersebut.

Sang Isteri: Benar! Dari sejarah kita bisa menarik kesimpulan, bahwa kekecewaan suatu kelompok atau organisasi massa membuat mereka menyempal, kemudian kekecewaan tersebut dipendam yang  tetap berpotensi meledak saat ada pemicu yang sesuai. Latihan pertama meditasi adalah katarsis, membuang trauma dan sifat kekerasan yang terpendam. Sehingga bila seseorang belum lembut dalam tindakannya, latihan katarsis nya belum berhasil. Masa orang-orang yang demikian mengaku pernah menjadi murid? Sedangkan latihan pertama saja belum lulus?

Sang Suami: Tanpa disadari, alam bawah sadar kita sudah terlanjur menyimpan sekian banyak memori yang kemudian menentukan sifat kita, watak kita, karakter kita. Seorang teman kita yang guru TK pernah menyampaikan bahwa sifat anak-anak usia dini pun berbeda-beda. Diajari pendidikan keyakinan sejak dini pun, bila  kekerasan dalam diri belum dilembutkan, setelah dewasa akan menjadi pengikut keyakinan yang ekstrim.

Sang Isteri: Seorang Ngambekan, Dendaman Dan Mudah Sakit Hati, sering menjadi Pendengki mudah menjadi kalap. Matanya tertutup, ia tidak bisa memilah lagi, tindakan mana yang tepat dan yang mana tidak tepat. la seperti seorang pengemudi yang mabuk yang dikuasai oleh “alkohol”, oleh “anggur”. la akan mencelakakan dirinya dan orang lain. Dalam perjalanan, jika bertemu dengan seorang pengemudi seperti itu, percuma menyadarkannya. Satu-satunya jalan adalah “menyingkir”, melindungi diri. Jangan sampai jadi korban ketololannya. Bukankah Dia adalah Yang Maha Melindungi?

Sang Suami: “Do not resist evil.” Janganlah melawan kejahatan! Karena, untuk melawan kejahatan biasanya kita akan ikut menjadi jahat. Masalah pun tidak terselesaikan. Tidak ada jalan lain, kecuali memohon perlindungan-Nya dan bertindak penuh kasih dan tetap tenang. Sabar, ikhlas, dan tenang adalah tiga kemuliaan utama. Sesungguhnya tiga kemuliaan ini adalah tri tunggal, tiga tapi satu. Satu yang memiliki tiga manifestasi. Sabar karena ikhlas. Tenang karena ikhlas. Sabar adalah “bahan baku” yang kita masukkan ke dalam mesin kehidupan kita. Keikhlasan adalah “proses” yang terjadi, “olah diri” yang diwarnai olehnya…. Kemudian, hasil akhirnya adalah ketenangan.

Sang Isteri: Benar suamiku, bertindak tegas tanpa melakukan kekerasan, non-violence action. Semoga masyarakat sadar, menjadi lebih cerdas, lebih kritis dan lebih tenang. Kita membutuhkan banyak orang yang tercerahkan dalam Kesadaran Kasih. Bila seorang penulis atau penyair tercerahkan, maka biarlah ia berbagi pengalaman lewat tulisannya, lewat syair-syairnya. Bila seorang pengusaha tercerahkan, biarlah ia menerjemahkan kasih dalam keseharian usahanya. Seperti itu pula dengan para birokrat, wakil rakyat, profesional dan lain sebagainya. Seorang pengusaha yang mengasihi tidak akan merugikan konsumennya hanya untuk memperkaya diri. Seorang birokrasi yang mengasihi akan melayani saudara-saudaranya setanah air. Begitu pula dengan para wakil rakyat, industrialis, para profesional di segala bidang, para guru dan mahasiswa. Kuncinya … adalah Kasih. Bila berpikir dengan Kasih, mind akan jernih.

Sang Suami: Kita harus mulai hidup berkesadaran. Pertama kita sadari dulu bahwa potensi genetik kekerasan masih berada dalam diri. Latihan olah batin dapat melembutkan diri. Semoga.

Situs artikel terkait

http://oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Februari 2010.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone