March 9, 2010

Melihat Anak-Anak Bangsa Tidak Peduli Rasa

Malam telah larut dan sepasang suami istri setengah baya masih bercengkerama, berbagi rasa.

Sang Isteri: Hidup sebagai anak remaja zaman sekarang tidak mudah. Saya melihat anak bungsu kita yang masih sekolah SBI, konon Sekolah Bertaraf Internasional nampak sangat sibuk. Hampir tak ada waktu tersisa untuk bermain kecuali download film dan lagu di depan lap top dan seminggu sekali main futsal. Mata pelajaran di sekolah begitu banyak, semua guru memberikan tugas yang serius, karena ingin memberikan yang terbaik. Dia pun masih harus mengambil les tambahan agar mata pelajaran utama tak tertinggal. Sepanjang hari kepada anak kita hanya dijejalkan pengetahuan untuk mengembangkan otak kiri. Perlu perjuangan berat untuk  membangkitkan “rasa”-nya.

Sang Suami: Saya ingat almarhum kakek saya yang penggemar berat Pujangga Sri Mangkunagara IV yang selalu menekankan bahwa pengetahuan tertinggi tidak bertujuan untuk  mencerdaskan otak kita. Pengetahuan Utama tidak untuk membuat kita cerdik atau cerdas, tetapi untuk mengembangkan “rasa” dalam diri kita. Rasa sinonim dengan batin…… Kembangkan rasa dulu. Jangan bersikeras untuk membuat putra-putri cerdas. Kecerdasan tanpa diimbangi oleh rasa akan membuat mereka manusia yang tidak utuh, manusia yang pincang jiwanya. Mereka akan membahayakan tatanan  kemasyarakatan kita. Dan ………………. mereka yang dididik tanpa mengembangkan rasa, rasanya saat ini  sudah menjadi elit bangsa. Mungkin saja pencapaian dalam bidang materi relatif sangat banyak, akan tetapi itu hanya berupa kenyamanan hidup, bukan kebahagiaan hidup.

Sang Isteri: Benar suamiku, saya hampir tidak mengenal anak-anak bangsa kita. Banyak yang tanpa  rasa “tepo sliro”, “Jangan melakukan kepada orang lain apa yang tidak senang dilakukan terhadapmu”. Seorang mantan murid sengaja mendiskreditkan nama seseorang yang tadinya menjadi guru idolanya. Dia tak punya tepo sliro. Seorang pengacara muda dengan lantang membela kliennya tanpa bukti hukum dengan dalih profesionalitas, padahal kala masa reformasi berjanji untuk menegakkan hukum sebagai penjaga bangsa. Dia tak punya tepo sliro, bagaimana bila orang tua kandungnya yang menjadi korban pendiskreditan namanya seperti yang dituduhkannya kepada seorang tokoh? Mass media mem-blow up berita asbun tanpa dasar etika keberimbangan, bagaimana seandainya sang insan mass media tersebut mengalami hal demikian? Lihat panggung sandiwara sebuah kasus besar melalui jendela mass media. Bacalah mass media dan kita selalu menemukan statement-statement tanpa peduli rasa, tanpa tepo sliro. Bukannya kami mengingatkan adanya hukum alam sebab akibat, siapa yang menanam pasti memetik, akan tetapi memang kita belum santun, masih kasar, rasa kita belum halus.

Sang Suami: Seorang yang saya hormati, di awal tahun menyampaikan bahwa tahun 2010 diawali hari Jum’at, dalam bahasa kakek saya, bahasa Jawi Kuno adalah hari Jum’at adalah hari “Sukro”. Guru Sukro atau Sukracharya adalah gurunya para “buto”, raksasa, mereka yang belum halus rasanya. Kita akan menghadapi suasana penuh keraksasaan di tahun ini. Dalam buku Wedhatama Bagi Orang Modern, Anand Krishna, Gramedia Pustaka, 1999 disampaikan bahwa raksasa adalah makhluk sejenis manusia. Rasa dan pikiran mereka sudah berkembang. Hanya mereka seperti  buto, seperti “makhluk yang tidak berbadan”, berarti seperti kayu gelondongan yang belum dipahat….. Sebenarnya, kita semua ini masih raksasa. Kita-kita ini adalah manusia yang belum menjalani proses finishing dan polishing. Belum terjadi penghalusan dalam diri kita. Kita memang sudah dilahirkan sebagai manusia, tetapi tanpa adanya proses penghalusan itu, jiwa kita, rasa kita, nurani atau intuisi kita, tidak akan berkembang.

Sang Isteri: Seorang bijak selalu berusaha untuk berdialog dengan hati, berkomunikasi lewat rasa. Seorang ilmuwan, seorang cendikiawan, seorang ahli matematika tidak akan melakukan hal itu, ia akan berkomunikasi lewat prosa, tidak lewat puisi. Sebaliknya, apabila seorang bijak sedang berkomunikasi, prosa dia pun akan mengandung puisi. Yang sedang bicara adalah hati dia. Yang sedang diajak bicara adalah hati kita. Demikian terjadilah hubungan dari hati ke hati. Apabila rasa berkembang, pikiran-pikiran yang kacau akan hilang dengan sendirinya. Penjernihan jiwa pun terjadi dengan sendirinya. Itulah sebabnya para bijak, para pujangga kita menyampaikan lewat tembang.

Sang Suami: Saya ingat pesan Guru saya bahwa dulu penyakit kita sederhana sekali : sakit perut, sakit kepala lalu menelan satu pil dan selesailah masalah kita. Sekarang kita sedang mengalami penyakit berat. Mekanisme tubuh kita sudah berantakan. Demikian pula masalah bangsa, masalah ekonomi, politik ditambah dengan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap sistem pemerintahan kita, belum lagi dirongrong oleh oknum-oknum yang ambisius dan ingin naik tahta. Dalam keadaan seperti ini, tugas seorang pemimpin sangat berat. Beban yang dia pikul pun sangat berat. Tetapi di situlah kebijakan dan kesadarannya teruji.

Sang Isteri: Mereka yang masih berada pada tingkat akidah agama, selalu membicarakan logika dan akal sehat dan ilmu pengetahuan. Mereka masih sepenuhnya menggunakan pikiran atau mind. Sebaliknya, mereka yang sudah menemukan esensi agama mereka yang sudah memasuki alam spiritual justru membicarakan pelepasan pikiran. Pada tahap itu, yang berkembang adalah “rasa”. Lewat “rasa” inilah, seorang nabi memperoleh wahyu. Lewat rasa ini pula, Yang Maha Kuasa bisa membimbing kita. Rasa mengembangkan nurani kita, mengembangkan intuisi dalam diri kita. Demikian kita terbebaskan oleh naluri hewani.

Sang Suami: Pada waktu kecil kakek saya suka bercerita kepada saya. Cerita mengembangkan rasa. Guru saya pernah mengingatkan bahwa perjalanan jiwa kita adalah dari sangkar pikiran, ke pekarangan rumah alam rasa dan alam bebas kesadaran murni. Antara pikiran dan kesadaran ada alam rasa. Cinta adalah alam rasa. Di bawah cinta kita terbelenggu dalam nafsu, di atas cinta kita terbebaskan dari segala macam belenggu memasuki kasih.

Sang Isteri: Kami ingin pendidikan mulai mencontoh pendidikan di Oneearth School di Bali yang mengajarkan pendidikan holistik, keutuhan sejak masih dini. Terima Kasih kepada teman-teman yang berjuang dalam pendidikan untuk mencerdasakan bangsa. Semoga Ibu Pertiwi memberkahi.

Situs artikel terkait

http://oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Maret 2010.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone