March 25, 2010

Renungan: Mengubah Pola Pikir Bagi Persatuan Bangsa

Sudah dua malam berturut-turut sepasang suami istri membicarakan beberapa mutiara dari buku “Menemukan Jati Diri, I Ching Bagi Orang Modern”, karya Bapak Anand Krishna terbitan Gramedia tahun 2002. Kemudian pada siang harinya mereka selalu mendiskusikannya dengan beberapa sahabat mereka. Dan kini adalah pembicaraan mereka di malam ketiga.

Sang Isteri: Dalam Jangka Jayabaya ditulis adanya “zaman jaran makan sambel”, kuda yang doyan sambal. Kuda sebetulnya tidak doyan sambal. Tapi, pada zaman tersebut ada kuda yang menjadi doyan sambal. Saat ini beberapa anak bangsa mudah ngamuk, gampang lepas kendali, sulit diatur, dan merasa benar sendiri. Saya yakin bahwa kita sebenarnya bukanlah bangsa yang suka “sambal kekerasan”. Akan tetapi melihat berita tentang penangkapan para teroris dan berita-berita kekerasan lainnya, rupanya ada beberapa anak bangsa yang suka melakukan tindak kekerasan terhadap saudara sebangsa dan setanah airnya.

Sang Suami: Dalam Jangka Jayabaya disebutkan pula akan munculnya para satria “agegaman tombak budi, tombak kawruh”, agegaman berarti memakai senjata, kemudian budi atau kawruh adalah pengetahuan tentang kesadaran. Putra-putri Ibu Pertiwi yang dengan penuh kesadaran berupaya mencerdaskan bangsanya……… Para pencetak pelaku kekerasan paham tentang subconscious mind. Mereka telah membentuk pola pikiran bawah sadar para pelaku tindak kekerasan dan para teroris. Semakin muda mereka dibentuk, semakin kuat pola tersebut mencengkeram diri mereka. Para pelaku kekerasan tidak sadar bahwa panggilan suci mereka adalah panggilan ‘mindset’ yang sengaja dibentuk oleh para pencetak pelaku kekerasan. Para pelaku merasa berjalan menapaki jalan suci, padahal mereka korban pembentukan mind-set, mereka menjadi budak dari pikiran bawah sadar yang telah terbentuk sejak kecil.

Sang Isteri: Terorisme lahir dari kekerasan, dan kekerasan adalah ciri khas kesadaran rendah, kesadaran hewani, kesadaran lymbic. Terorisme atau kekerasan adalah sifat hewani yang tersisa di dalam diri manusia. Bila tidak diolah dan diubah menjadi kasih dan kelembutan, sia-sialah wujud manusia pemberian semesta kepada kita. Kita lahir dengan potensi sebagai manusia, tetapi kita tak pernah menjadi manusia bila potensi tersebut tidak dikembangkan. Mereka yang baru menyadari kekasaran diri tidak dapat menghargai kelembutan. Hanya mereka yang telah menemukan kelembutan diri akan menghargai nyanyian, tarian, kesenian, menghargai kebudayaan.

Sang Suami: Karena manipulasi pikiran, ada sebagian dari masyarakat kita yang merasa memperoleh mandat dari Yang Maha Kuasa untuk merusak apa saja yang mereka tidak suka. Merusak atas nama, kepercayaan, dogma, doktrin, dan peraturan-peraturan menurut pemahaman mereka. Dan “majority yang silent”, membuat negara kita semakin parah. Janganlah kita melakukan kekerasan, tetapi jangan pula membiarkan kekerasan terjadi pada diri kita. Itu bukan “Non Violence”, itu bukan “Ahimsa”. Menolak kekerasan berarti menolak segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan yang ditujukan kepada kita.

Sang Isteri: Pelajaran agama yang mengkotak-kotakkan manusia Indonesia seyogyanya diganti dengan pendidikan budi-pekerti. Sekedar toleransi saja tidaklah cukup. Pembagian manusia Indonesia berdasarkan kepercayaan dan keimanan – seyogyanya dihentikan. Nilai-nilai luhur yang ada dalam setiap agama, harus dipelajari. Perang antaragama yang pernah ataupun sedang terjadi di negeri orang yang tidak mencerminkan budaya bangsa – tidak perlu diimpor ke negara ini. Demi kezaliman yang terjadi di Palestina, di Kashmir, di Afghanistan, di Irak atau di manapun juga ….. ada yang rela menyengsarakan saudara-saudaranya yang sebangsa dan setanahair? Ada yang salah dengan rasa kebangsaan mereka. Lebih dekat dengan warga dan negara asing ketimbang dengan saudara, bangsa dan negaranya sendiri.

Sang Isteri: Melihat selintas tentang sejarah dunia, Di Amerika masalah konflik intern mereka pada awalnya adalah masalah ras dan sudah terselesaikan dengan baik. Sedang di beberapa negara Afrika masalah ras tersebut ada yang belum terselesaikan. Di Timur Tengah masalah konflik intern mereka sejak dahulu adalah masalah agama. Sedang di Nusantara baik masalah ras maupun agama sejak dulu sudah tidak menjadi masalah. Masalah perebutan kekuasaan mungkin masih ada dalam rekam jejak sejarah. Akan tetapi sistem pemerintahan masa kini sudah baik, keributan hanya terjadi di perwakilan rakyat lewat adu argumentasi. Tidak bijak membawa permasalahan agama ke Nusantara.

Sang Suami: Bangsa ini membutuhkan perubahan drastis dalam hal berpikir, sebuah revolusi pemikiran. Masalah bangsa kita bukanlah masalah agama, akan tetapi masalah conditioning, masalah programming. Kita diprogram untuk mempercayai hal-hal tertentu. Kita membutuhkan revolusi untuk mengubah pola pikir yang sudah terlanjur dogmatis. Dibutuhkan revolusi kasih untuk mengubah pola pikir yang sudah terlanjur dilumuri oleh arogansi dan rasa benci.

Sang Isteri: Kepercayaan mestinya berkembang sesuai dengan kesadaran kita. Jika terjadi peningkatan kesadaran, maka kualitas kepercayaan pun meningkat. Masyarakat harus dicerdaskan dan itu adalah tugas kita-kita semua warga negara Indonesia.

Sang Suami: Semoga masyarakat kita dapat memaknai agama dan memaknai Tuhan dengan definisi yang cocok dengan persatuan bangsa. Semoga para pemuka agama mempunyai kesepakatan bahwa “agama adalah jalan menuju Tuhan”, agama adalah jalan dan Tuhan adalah tujuan. Okelah setiap pengikut suatu jalan menunjukkan kelebihan kualitas jalannya. Akan tetapi tujuannya adalah Tuhan. Kemudian adalah mustahil bahwa Tuhan itu banyak. Sehingga walau disebut dengan berbagai nama pada hakikatnya Dia adalah satu. Tidak ada Tuhan yang lain selain Dia. Selanjutnya berkarya, bernegara, berbangsa pun dipersembahkan bagi Dia. Menurut kami itulah jalan yang benar, jalan mereka yang memperoleh kebahagiaan, bukan jalannyamereka yang tidak selaras dengan-Nya dan bukan jalan mereka yang tersesat.

Sang Isteri: Semoga bangsa kita mampu memaknai agama sebagai jalan dan Tuhan sebagai tujuan. Banyak jalan satu tujuan, jalan berbeda tetapi menuju satu. Jalan menuju Tuhan. Satu bumi, satu langit, satu umat manusia. Dengan demikian kita tidak mudah terprovokasi mereka yang suka memecah belah bangsa. Semoga…..

Situs artikel terkait

http://oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Maret 2010.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone