April 29, 2010

Budak Penilaian Masyarakat, Budak Dogma, Budak Nafsu dan Kebebasan Manusia

Sepasang suami istri setengah baya kembali bercengkerama di depan laptop mereka. Di samping laptop ada 3 buah buku karya Bapak Anand Krishna terbitan Gramedia Pustaka Utama, “Mawar Mistik”, “Telaga Pencerahan” “Surat Cinta Bagi Anak Bangsa”. Mereka menggerak-gerakkan “cursor” laptop, membolak-balik blog dan kemudian saling berbalas pantun membaca puisi dari layar monitornya.

Sang Istri: Gusti, baru kusadari, kerangka pemikiranku, “mind”-ku ini dibuat orang lain bukan buatan diriku sendiri. Orang tua, pengajar di sekolah, lembaga agama, dan lain-lainnya memberikan standar tersendiri. Standar pembuat keputusan, mana yang benar, mana yang salah, dan yang harus diikuti. Aku dipolakan untuk mempercayai mereka sejak usiaku masih dini. Nyaris aku mempercayai. Secara repetitif intensif telah merasuk diri. Membentuk pikiran bawah sadar, kerangka pembenar diri.

Sang Suami: Ada yang memuji, aku senang sekali. Ada yang mencaci, aku sedih tak terperi. Ada yang lahir diminta gembira-ria. Ada yang meninggal diminta berduka-cita. Nyaris aku diprogram sempurna…. Naik pangkat harus berbahagia. Kehilangan jabatan harus kecewa. Aku menjadi budak dari kerangka pemikiran yang aku terima.

Sang Istri: Untuk mendapatkan pengakuan masyarakat aku menggadaikan jiwa. Untuk mempertahankan popularitas aku mengabaikan nurani. Terjadi konflik batin sudah hal yang biasa. Haruskah yang begini ini kualami sampai mati?

Sang Suami: Di luar jam tidur, enam belas jam sehari gerak-gerikku dipantau dengan ketat. Si pemantau adalah kerangka pemikiran, mind-ku yang tak pernah istirahat. Tidur, terasa amat melegakan, terlepas dari segala jerat. Tidak bisa tidur rasanya menjadi gila, karena stres berat.

Sang Istri: Lewat peningkatan kesadaran, aku mulai mempertanyakan. Apakah kerangka pemikiran itu menjadi Kebenaran? Aku diminta mencari kebahagiaan abadi, dengan mengejar setengah mati hal-hal duniawi. Hal-hal yang kutahu tidak abadi. Aku diminta,  dan kadang terasa agak memaksa, untuk mempercayai keyakinan mereka. Tidak mengikuti aku disimpulkan masuk neraka. Pihak yang berseberangan memastikan aku tidak selamat juga. Cap sesat bila aku berbeda. Dicap pihak yang lain tidak selamat bila aku tidak mengikuti pemahaman mereka.

Sang Suami: Hal-hal di luar tak bisa disalahkan. Selama ini ego berkuasa tanpa tandingan. Rasa dan nurani kelewat terabaikan. Susah senang, suka duka, gelisah tak terelakkan.

Sang Istri: Gusti, kuperbaiki pola berpikirku dengan pemahaman baru. Walau membuang pola lama bukan perjuangan sederhana. Tetapi aku percaya. Hidup berkesadaran sudah tiba gilirannya.

Sang Suami: Menjadi “sadar” itu tidak mudah, karena kita tidak pernah menyadari bahwa sebenarnya kita telah dibelenggu oleh pola pikiran akibat warisan genetik. Seseorang yang mempunyai warisan genetik dari orang tua, kakek-nenek bahkan beberapa generasi sebelumnya yang menganggap keyakinannya paling benar, dalam dirinya sudah terbentuk genetik yang menganggap keyakinan tersebut paling benar. Usaha mengubahnya tentu tidak mudah. Seseorang yang sejak balita, dimana perkembangan otaknya paling maksimal bahkan pada perkembangan awal sampai usia lulus sekolah dasarnya didikte bahwa keyakinannya paling benar, maka sudah terbentuk pola pikiran bawah sadar yang hampir stabil. Seorang profesor cerdas, seorang mahasiswa bersemangat, bisa tunduk dengan dogma lama karena synap saraf yang hampir permanen akibat warisan genetik dan indoktrinasi sejak balita.

Sang Isteri: Jadi profesor dan mahasiswa tersebut “tidak berani” keluar dari kurungan pola lama yang telah membelenggunya. Banyak orang pandai yang takut bersuara, karena statusnya sebagai pejabat, “public figure”, mereka nyaman dalam “comfort zone” mereka. Dan mereka takut pada suara keras “para pengawas dogma”.

Sang Suami: Bukan hanya elite bangsa, masyarakat awam pun tidak jauh berbeda. Perbudakan dilakukan atas nama agama oleh para pemuka agamanya. Manusia Indonesia telah menjadi penakut. Sedikit-sedikit mereka bingung, “Saya mau tanya sama pemuka agama saya dulu.” Jiwa mereka telah menjadi lemah. Mereka sudah tidak percaya diri. Kebingungan mereka itu, kelemahan jiwa dan ketakpercayaan diri itu, dimanfaatkan oleh mereka yang ingin menjajah. Kaum penjajah bukan hanya di bidang ekonomi saja, kaum penjajah budaya juga ada di mana-mana. Masyarakat dibuat tidak berdaya, supaya gampang diperbudak olehnya. Masyarakat diajari koor bersama, aku dengar aku taat, surga terbuka.

Sang Isteri: Benar suamiku, perbudakan atas nama agama, atas nama Tuhan, atas nama apa saja, semua itu merendahkan derajat dan martabat manusia. Janganlah kita mengharapkan kebebasan dan kemerdekaan dari kaum yang tidak pernah menolak perbudakan.

Sang Suami: Manusia mendambakan kebebasan, tetapi yang dikejarnya justru perbudakan. Keterikatan dan keinginan berlebihan sesungguhnya menjerat manusia, memperbudak dirinya, membelenggu jiwanya. Sungguh tragis bila ia tidak menyadarinya.

Sang Istri: Panca indra, pikiran dan tubuh adalah alat untuk berinteraksi dengan dunia. “Perbudakan” pada tubuh terjadi ketika kita memikirkan hanya makanan… “makanan” lewat mulut, lewat telinga, lewat hidung, lewat mata, lewat perabaan, lewat getaran-getaran pikiran. Melepaskan diri dari perbudakan pada tubuh tidak berarti melepaskan badan, tidak berarti meninggalkan badan. Melainkan mengangkat diri sebagai majikan.

Sang Suami: Jangan pula menganggap bahwa yang arogan, yang bisa menindas, yang marah-marah itu yang berjaya. Tidak, ia pun kalah juga. la sedang diperbudak oleh hawa nafsunya. la sedang dikendalikan oleh naluri hewaninya.

Sang Istri: Perbudakan yang berkepanjangan bisa membisukan nurani manusia. Manusia mulai terbiasa dengan keadaan yang menimpanya. la mulai berkompromi dengan keadaannya. la menganggap perbudakan itu sebagai kodratnya. Jangan mengira manusia masa kini sudah sepenuhnya bebas dari perbudakan, sudah merdeka. Manusia masih budak juga. la diperbudak oleh ideologi-ideologi maya. la diperbudak oleh dogma-dogma yang sudah usang, sudah tidak selaras dengan zamannya. Ia diperbudak oleh paham-paham dan kepercayaan-kepercayaan yang sudah kadaluwarsa. Tetapi ia tetap membisu jua. Sudah mati jiwanya. la ibarat bangkai yang kebetulan masih bernapas saja.

Sang Suami: Manusia masa lalu masih beruntung. la diperbudak oleh seorang raja atau seorang majikan. Relatif mudah membebaskan manusia dari perbudakan yang demikian. Kanjeng Nabi Musa berhasil melakukan. Keadaan manusia masa kini lebih parah, lebih buruk keadaannya. la diperbudak oleh suatu sistem yang membuat dia menjadi semacam mesin saja.

Sang Istri: Di Mesir pada zaman itu, Kanjeng Nabi Musa pasti heran melihat keadaan para budak. Mereka menderita, tetapi mereka diam, tidak berani bicara, tidak berani memberontak. Kenapa demikian? Karena hidup dalam perbudakan sudah biasa. Mereka tidak tahu, kebebasan itu apa. Harus ada seorang Nabi Musa, harus ada seseorang yang bebas dan memahami arti kebebasan untuk membuat mereka sadar akan perbudakan mereka.

Sang Suami: Benar istriku, tugas Kanjeng Nabi Musa memang berat sekali. la harus membangunkan mereka, membangkitkan mereka, menghidupkan kembali jiwa mereka yang sudah mati. la harus membuat mereka sadar akan arti kebebasan, nilai kemerdekaan sejati.

Sang Istri: Dulu orang-orang Israel yang sudah begitu lama diperbudak sudah tidak mengenal kasih dalam dirinya. Kini bangsa kita pun tak jauh beda, tidak ada budak belian memang, tetapi perbudakan pikiran masih ada.

Sang Suami: Mari merenung…. Kasih merupakan suatu energi yang bersifatkan ekspansif-menyebar, melebar. Apabila pikiran masih diperbudak, Kasih tidak akan pernah muncul ke luar. Kasih dan Kebebasan sebenarnya sinonim – satu adanya. Kebebasan adalah Kasih, Kasih adalah Kebebasan juga. Terima Kasih Guru, Guru selalu ada di hati kita.

Situs artikel terkait

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

April, 2010.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone