Di atas sebuah meja kecil terletak buku “The Gospel Of Obama”, karya Bapak Anand Krishna, terbitan Koperasi Global Anand Krishna Bekerjasama dengaYayasan Anand Ashram, tahun 2009. Di samping meja tersebut, nampak sepasang suami istri setengah baya yang sedang gundah, karena setiap memindah channel televisi selalu saja menemui kekerasan, keberingasan atau kejahatan.
Sang Isteri: Sejak kita masih remaja, kita sudah diberi pelajaran tentang 3 syarat terjadinya kejahatan. Syarat pertama: adanya kesempatan, syarat kedua: adanya kemampuan pelaku kejahatan, dan syarat ketiga: adanya kemauan atau niat dari pelaku kejahatan. Ketiga syarat tersebut mutlak diperlukan dalam sebuah tindak kejahatan. Hanya nampaknya, masyarakat kurang peduli terhadap ketiga faktor tersebut.
Sang Suami: Syarat pertama, seseorang dapat melakukan kejahatan karena mendapatkan kesempatan. Dari manakah kesempatan itu muncul? Dari keamanan yang lemah. Berbagai peraturan dibuat para penyelenggara negara, akan tetapi peraturan tersebut belum dilakukan secara konsekuen? Kita melihat beberapa aparat penegak hukum malah ikut bermain dalam penerapan pelaksanaannya. Berapa banyak sumber daya, dana, waktu, dan sumber daya manusia yang telah digunakan bagi pembuatan peraturan-peraturan yang selalu disempurnakan, tetapi tanpa penerapan yang efektif. Dan karena ketersediaan anggaran, masih saja berbagai peraturan baru dirancang. Perlu peningkatan “public awareness”, sehingga masyarakat merasa ikut terlibat dalam kegiatan bernegara.
Sang Isteri: Iya suamiku, saya ingin menyoroti tentang kemampuan melakukan kejahatan sebagai syarat kedua. Meskipun ada kesempatan namun bila tidak mempunyai kemampuan, maka tidak mungkin terjadi kejahatan. Tayangan adegan kekerasan, baik dalam bentuk pemberitaan kasus kriminalitas, Patroli, Buser, Sergap, dan Fakta maupun film, bahkan film kartun untuk anak-anak pun bisa membangkitkan potensi kehewanan dalam diri. Penjelasan yang rinci dari tindakan kejahatan menambah wawasan pikiran yang pada akhirnya menambah kemampuan calon pelaku kejahatan. Selanjutnya, juga fasilitas untuk melakukan kejahatan yang mudah diperoleh. Peledakan bom terjadi karena ada kemampuan merakit bom dengan daya ledak yang besar. Apalagi kalau ada sutradara teror yang sengaja memberi pelajaran bagaimana melakukan teror yang berhasil di masyarakat. Kembali masyarakat yang tahu “duduk manis” dan “diam” sehingga keadaan bertambah parah.
Sang Suami: Seorang teman Face Book dari Pakistan menuliskan pandangannya tentang kondisi kekerasan di Pakistan yang tak ada habis-habisnya….. Ambil seorang anak lelaki kecil dan penjarakan dia di madrasah terpencil. Jauhkan dia dari dunia dan halangi dia agar tidak berinteraksi dengan manusia. Doktrin dia dengan agama versi yang ekstrim dan ceritakan bahwa dia bukan milik dunia. Ajari dia tentang dunia indah yang menunggunya di surga, dan bahwa dalam rangka mencapai surga dia harus memusnahkan semua hal yang menghalanginya, termasuk tubuh miliknya…… Pada saat dia berusia enam belas, anak ini telah menjadi lebah jantan: pria yang bukan manusia. selain remaja segar, mereka punya robot di urat nadi masyarakat yang siap meledakkan diri atas pesanan khusus……. Berkembang pesat di Pakistan, ini adalah eksperimen menakutkan dalam pencucian otak dan setaraf apabila tidak lebih buruk daripada perbaikan keturunan versi Nazi Jerman. Mereka berbuat atas nama ilmu pengetahuan; dan di Pakistan, dilakukan atas nama Tuhan dan Agama. Dalam skala yang sangat besar, keberhasilan eksperimen yang luar biasa ini mempertahankan kemenangan secara alami……… “Beri saya anak lelaki usia tujuh tahun, dan saya akan memperlihatkan padamu manusia tersebut setelah dewasa,” ujar kaum Jesuit zaman dulu. Mungkin sangat sinis, kata-kata kaum Jesuit tersebut, akan tetapi, faktanya tidak ada orang yang lebih memahami kerentanan otak anak kecil selain para pendeta. Di satu pihak, kita menyaksikan kewaspadaan orang tua kala guru datang ke rumah mengajar kitab suci kepada anak-anak mereka; dan di pihak lain ada orang-orang tua dari masyarakat yang sama yang memberikan anaknya ke madrasah yang dikelola pengajar sebelum anaknya berusia tujuh tahun, bahkan sampai mencapai usia 14 atau 15 atau selamanya………. Anak-anak kami menghadapi ketakutan masa depan bukan karena Taliban, mereka sangat sedikit, tetapi karena gelombang agama ultra konservatif yang telah melanda negara ini. Madrasah-madrasah terpencil mungkin mengubah anak-anak lelaki menjadi lebah jantan. Tetapi kemudian ada ribuan madrasah di seluruh pedesaan Pakistan yang memproduksi lebah-lebah baru yang mungkin tidak semuanya menjadi pelaku bom bunuh diri tetapi tetap tidak selaras dengan kehidupan dunia. Anak-anak ini perlu diselamatkan. Demikian cerita teman saya, sejauh yang bisa saya terjemahkan…… Semoga putra-putri bangsa segera bangkit untuk memperbaiki kondisi saat ini.
Sang Istri: Mungkin sutradara kejahatan bukan hanya dalam bidang kejahatan teror, akan tetapi juga dalam bidang kejahatan lainnya. Sangat memprihatinkan. Seminggu yang lalu, saya bertemu salah seorang pengurus GNOTA, Gerakan Nasional Orang Tua Asuh. Mereka membutuhkan dukungan Rp. 230.000 per tahun bagi biaya pribadi pelajar SMP. Rp. 115.000 per tahun bagi biaya pelajar SD. Katakanlah biaya sekolah dipenuhi dari dana BOSS, sekolah gratis, akan tetapi masih banyak pelajar yang ke sekolah memakai sandal, belum mempunyai pakaian seragam dan tidak sanggup membeli paket bahan latihan pelajaran. Di Semarang bahkan ada guru-guru suatu sekolah dasar di tengah kota yang membelikan inventaris baju seragam, yang dipakai para pelajar tak mampu khusus waktu pelajaran dan dilepas lagi setelah selesai pelajaran. Banyak cerita bahwa beberapa orang tua dari pelajar tersebut menjual sepeda anaknya yang digunakan untuk ke sekolah. Melihat banyaknya uang milyaran bahkan trilyunan yang direkayasa dalam kasus korupsi, saya hanya bisa mengelus dada. Bukankah anak-anak yang memilih hidup berada di jalanan mudah menjadi bidikan para sutradara pembuat kejahatan? Diperlukan kepedulian putra-putri bangsa.
Sang Suami: Benar isteriku, syarat ketiga terjadinya kejahatan adalah adanya kemauan atau niat dari pelaku kejahatan. Niat inilah yang digarap oleh para sutradara kejahatan. Mereka memanipulasi otak terutama kepada anak-anak dari keluarga yang kurang bahagia.
Sang Isteri: Membangun sebuah rumah memerlukan waktu bertahun-tahun dengan memperbaiki dan memeliharanya setiap saat,bahkan sepuluh tahun pun cicilan pinjaman belum tentu selesai. Akan tetapi untuk merubuhkan rumah hanya dibutuhkan satu buldozer dalam waktu beberapa jam. Sudah waktunya kita membangun sebuah bangsa, dan aparat keamanan harus tegas terhadap mereka yang membahayakan disintegrasi bangsa. Dan semuanya dimulai dari niat yang kuat, skill yang memadai dan melaksanakannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Sang Suami: Saya perhatikan petikan dari buku The Gospel of Obama….. Setelah berkembang dari amoeba dan berjuang menjadi makhluk bersel satu, seperti yang diyakini para ilmuwan, kekerasan sudah menjadi tabiat kita. Kekerasan adalah insting hewaniah yang dimiliki seluruh anggota kerajaan hewan. Anti-kekerasan, dan kedamaian bukanlah hal alami bagi kita, belum. Ini adalah potensi tersembunyi manusia, yang harus dimunculkan ke permukaan. Keduanya ibarat biji yang bisa tumbuh menjadi pohon besar, tetapi kita harus merawatnya. Kita harus menyiraminya dengan cinta dan welas asih. Tidak selalu mudah untuk mempraktikan anti-kekerasan. Tetapi, inilah nilai ideal yang harus kita sadari. Tidak mudah juga memang, untuk mengingat peran kita agar selalu membawa perdamaian, kapan pun itu. Namun ini jangan menjadi alasan untuk melupakannya sama sekali.
Sang Isteri: Benar suamiku, dalam buku tersebut juga disampaikan bahwa kita harus menggunakan seluruh energi kita untuk menciptakan Masyarakat yang Tercerahkan, “Enlightment Society”. Dengan dilandasi oleh prinsip cinta, perdamaian, dan keselarasan, Love-Peace and-Harmony. Dan, kita harus menyadari impian ini, visi ini, melalui cara-cara anti-kekerasan. Kita tidak boleh membenarkan kekerasan untuk mencapai tujuan kita. “Warga dunia bisa hidup bersama dalam damai. Kita semua tahu inilah visi Tuhan. Sekarang, hal ini harus menjadi tugas kita di dunia. Semoga kedamaian Tuhan bersama kita semua.
Sang Suami: Ya, pasti. Kita bisa “hidup bersama dalam damai”. Rumusnya sederhana: Bebaskan dari nafsu keserakahan dan kendalikan keinginan. Kita jangan diperbudak oleh keinginan. Fokus pada faktor-faktor pemersatu yang mengikat kita semua sebagai satu keluarga besar. Jangan berfokus pada perbedaan. Yang penting, mari kita kembangkan cinta; mari kita tumbuhkan rasa welas asih antar sesama. Mari kita percaya akan persahabatan, bukan permusuhan…………..Apa pun sukumu, Engkau orang Indonesia. Apa pun agamamu, Engkau orang Indonesia. Terang atau gelap kulitmu, Engkau orang Indonesia. Mancung, pesek, sipit, belo, Engkau orang Indonesia. Aku cinta Kau………….
Situs artikel terkait
http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/
http://triwidodo.wordpress.com
http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo
April, 2010.