April 11, 2010

Menjadi Tamu Dunia Di Negeri Penuh Rekayasa

Malam sudah larut dan sepasang suami istri masih bercengkerama di beranda. Di depan mereka ada dua buah buku karya Bapak Anand Krishna. “Tetap Waras di Jaman Edan, Visi Ronggowarsito Bagi Orang Modern”, dan “Ah Mereguk Keindahan Tak Terkatakan Pragyaa-Paaramitaa Hridaya Sutra Bagi Orang Modern”, keduanya diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama.

Sang Istri: Para pujangga piawai dalam mengungkapkan apa yang terjadi pada zamannya dan menawarkan solusi yang bijaksana. Suamiku, bagaimana mensikapi ungkapan para leluhur yang telah merakyat seperti “Urip mung mampir ngombe”, Hidup hanya sesaat yang seakan hanya untuk minum beberapa tegukan untuk kemudian melanjutkan perjalanannya. Bukankah bangsa kita dalam keadaan carut marut seperti ini juga dikarenakan ketidakpedulian sebagian masyarakat yang hanya bisa mengeluh tanpa berkontribusi memperbaiki keadaan negerinya?

Sang Suami: Sebagian masyarakat hanya memahami ungkapan sepotong-sepotong saja. Para leluhur juga mempunyai ungkapan “Sopo sing nandur winih bakal panen wohing penggawe”, Siapa yang menanam benih akan memetik buah tindakannya. Itu adalah ajaran untuk bertanggung jawab atas segala hal yang telah kita lakukan sebelumnya. Apa pun yang kita terima adalah akibat dari tindakan masa lalu kita.

Sang Isteri: Benar juga suamiku, kita harus pandai memahami secara keseluruhan. Bukankah Sayidina Umar sang panglima perang pun sangat “Jawa”, karena beliau berkata bahwa “Pada hakikatnya setiap orang di dunia ini adalah seorang tamu dan uang yang dimilikinya adalah pinjaman”. Seorang tamu pastilah cepat atau lambat akan pergi, dan pinjaman harus dikembalikan. Sayidina Umar pun berbicara tentang hukum aksi reaksi, hukum sebab akibat, yang pinjam akan mengembalikan.

Sang Suami: Saya ingat pada buku “Ah, Hridaya Sutra” yang mengambil contoh Sang Sariputra, murid Sang Buddha Gautama…… Tinggal di Hotel Bumi ini, jadilah seorang tamu seperti Sariputra. Sadar sepenuhnya dan bertindak sesuai dengan kesadarannya, dia tidak perlu dibelenggu dengan rantai peraturan dan hukum hotel yang ditamuinya. Seorang tamu seperti Sariputra akan dipercayai penuh oleh manajemen hotel yang diinapinya. Mereka yakin bahwa ia tidak akan mencuri handuk dalam kamar mandinya.  Tidak akan mencuri asbak dari ruangan tamunya. Tidak akan merusak penutup klosetnya. Ia dipercayai akan menjaga kebutuhan dan keindahan kamar yang disewanya.

Sang Isteri: Iya suamiku, mereka yang sadar tidak akan merusak bumi, tidak merusak lingkungan hidup, tidak merugikan masyarakat, tidak merekayasa tayangan, tidak menjadi makelar kasus pada profesinya…… Akan tetapi bagaimana seandainya tamu tersebut mampir di Hotel Bumi yang  berwujud negara penuh rekayasa. Raksasa masih jelas wujudnya, akan tetapi rekayasa? Mafia? Wajah bak satria tetapi berkelakuan raksasa. Kepala negara pun menyebut tentang pemberantasan “Mafia”. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang dibentuk Kepala Negara menengarai di berbagai bidang terjadi “Mafia”. Disebutkan ada sembilan “big fish” yaitu mafia peradilan, mafia korupsi, mafia pajak dan bea cukai, mafia kehutanan, mafia tambang dan energi, mafia tanah, mafia perbankan dan pasar modal, mafia perikanan, mafia narkoba…….. kalau ada “big fish”, bagaimana “medium” dan “small fish”-nya. Pasti sudah menyebar ke mana-mana……… Mafia Asli sendiri mungkin geleng-geleng kepala melihat ilmunya berkembang luar biasa. Apakah “seorang tamu yang sadar” cukup “tidak ikut terlibat” dan segera melanjutkan perjalanannya?

Sang Suami: Jujur saya tidak tahu persisnya. Tetapi leluhur kita menekankan dunia ini adalah sebuah panggung dan ada dalang, ada sutradaranya. Setiap orang diberi dharma, peran di atas panggung dunia yang harus dimainkannya. Sang pemain harus selalu ingat pada Sang Sutradara, untuk memahami peran apa yang harus dilakukannya. Agar selalu ingat pada Sang Sutradara, sang pemain harus berkawan, berada dalam kelompok, sangha yang selalu mengingat Sang Sutradara. Seorang pemain yang sadar akan melakukan peran yang dibebankan Ilahi kepadanya secara sebaik-baiknya.

Sang Isteri: Seseorang yang melakukan peran penyebar kebaikan, mengingatkan teman-teman atau murid-muridnya akan Kebenaran. Kemudian beliau mendapatkan ketidakadilan di negeri penuh rekayasa ala mafia di mana dia tengah melakukan sebuah peran.  Peran yang diberikan Ilahi kepadanya yang harus dia mainkan.

Sang Suami: Pengetahuan kita baru sebatas hukum sebab-akibat dan hukum evolusi. Kita belum tahu peraturan bagi “mereka” yang sudah melampauinya. Hukum diapers yang berlaku bagi para bayi yang masih suka ngompol, sudah tidak berlaku lagi bagi seorang anak yang 3-4 tahun usianya. Demikian pula dengan dharma. Dharma seorang bayi lain dengan dharma orang dewasa. Dharma “Para Suci” lain pula. Hukum alam berlaku selama kita masih berada dalam dunia. Dan dharma atau hukum alam memang bersifat sementara. Ada peraturan baru, dan peraturan lama pun ditinggalkannya. Ada yang kurang baik, maka diperbaikinya. Ada yang dikurangi, ada juga yang ditambahnya. Selama kita masih “terikat” dengan alam, mau tak mau kita harus tunduk pada hukumnya. “Para Suci” telah melampaui mind, telah melampaui dualitas, hukum mereka lain pula.

Sang Isteri: Itulah perlunya seorang Pemandu Spiritual bagi kita. Apakah kita berani mengatakan Sang Buddha Gautama meninggal karena racun yang diakibatkan oleh hukum sebab-akibat masa lalunya? Apakah kita berani mengatakan Gusti Yesus disalib dan sebelumnya diperintah mengangkat salibnya sendiri karena karma? Tidak suamiku, kita tidak berani karena kita tidak paham dengannya. Dharma mereka lain dengan dharma kita, hukum bagi mereka tidak sama dengan hukum bagi kita. Masyarakat menganggap Syeh Siti Jenar dan Al Halaq dibunuh karena kesalahan mereka, apakah demikian bagi Gusti Yang Maha Kuasa? Wallahu alam bisawab, Gusti yang mengetahuinya.

Sang Suami: Benar isteriku, kita masih terkurung dalam lapisan-lapisan pikiran kita. Lapisan pola pikiran pertama kita warisi dari kelahiran sebelumnya. Obsesi-obsesi dari masa lalu, keinginan-keinginan yang tidak tercapai dalam masa kelahiran sebelumnya, yang melekat sebagai sifat bawaan kita……. Lapisan pola pikiran kedua terbentuk dalam kelahiran kini. Keinginan-keinginan dan obsesi-obsesi dalam kehidupan saat ini. Lapisan pola pikiran ketiga kita peroleh dari masyarakat, hukum negara, dogma agama, kode etik yang semuanya ikut membentuk lapisan yang ketiga ini. Lapisan-lapisan tersebut bagaikan kurungan diri. Kita belum hidup bebas sejati.

Sang Istri: Bukankah dalam Kitab Srimad Bhagavatam dikisahkan bahwa Penjaga Istana Vaikunta Jaya dan Wijaya, harus lahir sebagai Hiranyaksa dan Hiranyaksipu, kemudian lahir lagi sebagai Rahwana dan Kumbakarna dan terakhir lahir sebagai Sisupala dan Dantavakra? Kita melihat mereka sebagai tokoh-tokoh yang jahat padahal mereka sedang memainkan peran Ilahi yang diamanatkan kepada mereka. Dan mereka menjalankan peran sebaik-baiknya.

Sang Suami: Berikut ini adalah penjelasan yang saya ingat dari buku “Ah, Hridaya Sutra”. “Hukum Alam” bersifat ganda ada dan tidak ada. Persis seperti pertunjukan film. Sebagai “pertunjukan” ada, nyata. Tetapi, keber-“ada”-annya, ke-“nyata”-annya hanya “sebatas” pertunjukan film saja. Peran jelek tidak ikut menjelekkan kepribadiannya. Peran bagus tidak ikut memperbaiki kepribadiannya pula. Dan kita semua sedang berperan di atas film dunia. Tidak ada peran yang jelek dan peran yang baik sesungguhnya.

Sang Isteri: Benar suamiku, seorang pemain film, pemain sinetron, pemain teater tahu persis bahwa tidak ada peran yang jelek, yang “kotor” dan tidak ada peran yang baik, yang “bersih” adanya. Peran adalah peran, tergantung bagaimana dimainkannya. “Seorang pemain yang sadar”, memahami bahwa kepribadiannya tidak akan terpengaruh oleh peran yang dimainkannya………….. Jati diri kita adalah suci, murni dan tidak terpengaruh apa pun juga.

Sang Suami: Hukum Sebab-Akibat hanya berlaku bagi jenis kehidupan yang memiliki mind. Karena yang menciptakan dualitas antara baik dan buruk, antara panas dan dingin adalah mind. Pengalaman-pengalaman spiritual para santa, santo, wali, pujangga, yogi membuktikan bahwa manusia bisa hidup “tanpa mind”……… Dan, bahkan lebih baik kualitasnya! Penggunaan mind bisa diminimalkan, cukup untuk mengatur anggaran belanja dan sebagainya. Untuk hal-hal yang masih membutuhkan perhitungan dan matematika…… Hingga pada suatu ketika, mind tidak dibutuhkan sama sekali. Bila mind sering-sering mengalami “kematian”, entah lewat “tidur pulas” atau lewat meditasi, lama-lama ia akan “beneran” mati. Semoga…………………..

Situs artikel terkait

http://oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

April 2010.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone