April 15, 2010

Pelembutan Jiwa Manusia Kala Perilaku Kekerasan Masih Mengancam Bangsa

Sepasang suami istri sedang bercengkerama di ruang keluarga. Di atas meja nampak buku “Seni Memberdaya Diri 2, Meditasi untuk Peningkatan Kesadaran, karya Bapak Anand Krishna, terbitan PT Gramedia Pustaka Utama,tahun  2002. Mereka sedang memperhatikan tayangan televisi tentang bentrokan antara aparat dan warga di Priok. Dua orang petugas Satpol PP tewas dan sekitar 130 orang mengalami luka-luka. Tampak di tayangan seseorang dikeroyok sekelompok orang beramai-ramai tanpa ada pengendalian diri lagi. Rasa kemanusiaan para pelaku kekerasan seakan-akan sudah lenyap, aura insting hewani meliputi mereka.

Sang Isteri: Kita semua tahu bahwa kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah. Kita semua menyadari bahwa cinta kasih adalah satu-satunya solusi. Tetapi kita tidak berani berubah. Karena kita hidup di tengah-tengah kekerasan. Mulai dari rumah tangga hingga jalanan, antar mahasiswa, antar kampung, antar bonek suporter sepak bola, kekerasan ada di mana-mana. Suka tidak suka, setuju tidak setuju, kekerasan tetap dapat memasuki rumah kita lewat televisi dan tayangan internet. Bahkan bagi anak-anak, film kartun yang mempertontonkan adegan kekerasan, dan kini tayangan lawak pun mengetengahkan adegan kekerasan, walau kita tahu bahan yang digunakan untuk memukul bukan bahan yang berbahaya. Kita tidak sadar pengaruh tayangan televisi terhadap pikiran manusia.

Sang Suami: Anak-anak dan remaja suka meniru, apalagi kalau idolanya melakukan hal tersebut di layar televisi. Masuk akal terdapat kaitan antara tayangan kekerasan di televisi dan peningkatan perilaku agresif pada pemirsanya. Data statistik di Amerika Serikat menunjukkan bahwa anak-anak menonton televisi sampai 28 jam setiap minggunya. Akibatnya, saat mereka berusia remaja, sekitar 18 tahun, mereka telah menyaksikan sekitar 16.000 adegan pembunuhan dan 200.000 tindakan kekerasan. Menurut penelitian, anak-anak dari keluarga yang kurang sejahtera, sangat rawan terhadap pengaruh yang ditimbulkan oleh siaran buruk televisi….. Bukan hanya itu,  ketika ada pemotongan korban hewan, anak-anak kecil yang masih dibawah umur pun boleh mengerumuni. Pendidikan macam apa yang sedang kita berikan kepada anak-cucu kita? Mereka akan menjadi keras, kasar, alot karena sejak kecil sudah terbiasa melihat adegan-adegan kekerasan.

Sang Istri: Masyarakat belum sepenuhnya sadar bahwa setiap kekerasan sebetulnya terjadi karena dipicu oleh sebuah kekuatan dalam diri manusia itu sendiri, yakni kekuatan psikologi di dalam diri, yang mengobarkan semangat untuk “fight” – menyerang dan merusak atau “flight” – menghindari, kabur.

Sang Suami: Dalam buku Genom, Kisah Species Manusia oleh Matt Ridley terbitan Gramedia 2005, disebutkan bahwa Genom Manusia – seperangkat lengkap gen manusia – hadir dalam paket berisi dua puluh tiga pasangan kromosom yang terpisah-pisah. Genom manusia adalah semacam otobiografi yang tertulis dengan sendirinya – berupa sebuah catatan, dalam bahasa genetis, tentang semua nasib yang pernah dialaminya dan temuan-temuan yang telah diraihnya, yang kemudian menjadi simpul-simpul sejarah species  kita serta nenek moyangnya sejak pertama kehidupan di jagad raya. Genom telah menjadi semacam otobiografi untuk species kita yang merekam kejadian-kejadian penting sesuai dengan keadaan sebenarnya. Kalau genom dibayangkan sebagai buku, maka buku ini berisi 23 Bab, tiap Bab berisi beberapa ribu Gen. Buku ini berisi 1 Milyar kata, atau kira-kira 5.000 buku dengan tebal 400-an halaman. Dan setiap orang mempunyai sebuah buku unik tersendiri.

Sang Istri: Bukankah dalam buku DNA kita terdapat catatan pengalaman leluhur-leluhur kita zaman Sriwijaya, zaman Majapahit, genetik bawaan dari pembangun Candi Monumental Borobudur. Pencipta berbagai tarian penuh kelembutan serta ukiran dan kain batik yang merupakan perwujudan kelembutan jiwa para leluhur?

Sang Suami: Benar potensi kelembutan tersebut ada dalam DNA kita, akan tetapi dalam perjalanan sejarahnya dalam diri kita juga mewarisi genetik pelaku kekerasan. Genetik warisan dari Dewata Cengkar, Ken Arok, Arya Penangsang, pelaku-pelaku kekerasan-kekerasan lainnya ada dalam diri kita. Dalam genetik kita ada darah pedagang yang pelit, ada genetik Timur Tengah yang sampai kini belum dapat menyelesaikan genetik bermusuhan dengan keturunan Kanjeng Nabi Musa. Konon kita pun mempunyai darah Mongoloid, yang karena ketakutan dari kekejaman Jengish Khan mereka lari ke Nusantara. Alam bawah sadar atau subconscious adalah beban yang kita warisi sejak lahir. Dalam tradisi Kristen, mereka menamakannya “Dosa Asal” dan ini ada kaitan dengan DNA warisan para pendahulu.

Sang Isteri: Penjelasan tentang proses pembentukan DNA ini, dengan sendirinya membeberkan kenyataan bahwa sikap masyarakat yang sering terlibat dalam kerusuhan dan kekerasan, dapat dicari akarnya pada generasi terdahulu. Dalam 70 tahun terakhir sejarah perjalanan bangsa, telah terjadi beberapa peristiwa kekerasan. Perang kemerdekaan tahun 1945, kemudian pendudukan tentara sekutu, selanjutnya perang menumpas pemberontakan dalam negeri. Kita masih ingat peristiwa tahun 1965 dan peristiwa reformasi 1998. Proses-proses  inilah yang membuat alam bawah sadar kolektif masyarakat menjadi amat dekat dengan kekerasan.

Sang Isteri: Bukankah menurut ilmu saraf modern, proses pembentukan alam bawah sadar manusia, sebetulnya, bukan semata-mata kesalahan para generasi terdahulu. Karena kita sendiri pun punya “kehendak bebas” untuk menciptakan conditioning kekerasan dalam alam bawah sadar. Hal ini dapat terjadi dengan cara memberi “perhatian” pada kekerasan secara berulang-ulang. Ekstremnya dapat dilihat dari praktek “brainswash” atau manipulasi otak. Setelah terkondisi, lama-kelamaan, sikap “reaktif” akan muncul setiap kali ada momentum yang memungkinkan munculnya kekerasan. Tayangan kekerasan pada televisi pun mempunyai dampak yang kurang lebih sama dengan hal tersebut. Namun, sikap “reaktif” ini akan menjadi lebih dahsyat manakala secara genetik kita telah mewarisi potensi sifat ini dari para orang tua.

Sang Suami: Ada yang sengaja memperpanjang pengkondisian yang diterimanya dari generasi terdahulu. Praktek berpolitik, beragama, bermasyarakat dan berkeluarga kebanyakan dari kita, sangat menyuburkan pengkondisian kekerasan dalam alam bawah sadar. Misalnya fanatisme buta dalam beragama yang didoktrinkan secara turun-temurun. Ketika pada seorang anak diajarkan bahwa orang beragama selain yang dianutnya adalah “kafir”. Si anak kemudian akan mengasosiasikannya  bahwa mereka yang beragama lain itu tak pantas mendapat keadilan atau bahkan “darahnya halal”. Lebih celaka lagi, bila fanatisme semacam ini dimanfaatkan secara politik untuk meraih dukungan massa.

Sang Isteri: Setelah sekian lama terkungkung rezim represif, salah satu ciri masyarakat adalah memiliki kebutuhan akan kekuasaan yang tinggi. Urusan gengsi dan status, bisa dengan mudah memicu amarah mereka. Situasi psikologi sosial masyarakat memang sangat rentan terpicu situasi konfliktual. Apalagi, kemudian kondisi yang “bagai api dalam sekam” ini dipertegas oleh situasi ketidakpercayaan pada hukum, kehilangan  “social trust” dalam masyarakat.

Sang Suami: Kalau kita dapat memperpanjang pengkondisian kekerasan, sebaliknya mesti ada pula metode pelembutan jiwa. Kekerasan adalah ciri khas kesadaran rendah, kesadaran hewani, kesadaran lymbic. Kekerasan adalah sifat hewani yang tersisa di dalam diri manusia. Bila tidak diolah dan diubah menjadi kasih dan kelembutan, sia-sialah wujud manusia pemberian semesta kepada kita. Kita mengkhianati kepercayaan-Nya, bila setelah memperoleh busana manusia pun masih tetap berkesadaran sama seperti hewan pelaku kekerasan. Kita lahir dengan potensi sebagai manusia, tetapi kita tak pernah menjadi manusia bila potensi tersebut tidak dikembangkan.

Sang Isteri: “Katharsis” yang digunakan dalam latihan meditasi akan membersihkan diri kita dari pikiran-pikiran yang terpendam. Ketidakpuasan, kekecewaan, kekhawatiran, rasa benci, takut, cemas, gelisah, amarah-semua itu merupakan sampah dalam diri yang harus dikeluarkan.

Sang Suami: Benar isteriku, kelemahan sekaligus kekuatan manusia adalah pikirannya, mind-nya. Mind manusia merupakan alat perekam yang super canggih. Sesuatu yang terekam pada pita mind tidak gampang dihapus. Selanjutnya rekaman itu adalah menentukan kualitas hidup kita. Apabila yang terekam adalah, “Aku lahir dalam ketidakadilan, aku berada di dunia yang penuh kekerasan”, maka ketidakadilan dan kekerasan akan mewarnai hidupnya. Apabila yang terekam adalah, “Aku lahir dalam kasih, aku mati dalam kasih”, maka kasihlah yang mewarnai hidupnya. Kita bisa memilih. Pilihan di tangan  kita sepenuhnya.

Sang Isteri: Kita perlu melakukan perenungan, meditasi. Ia yang mengakui kelemahan yang ada dalam dirinya, telah mengambil langkah awal menuju transformasi diri. Dan tanpa langkah awal itu, tidak seorang pun yang dapat membantu kita. Lihatlah dalam diri kita. Pada saat yang sama, berhati-hatilah dengan pergaulan, dengan persahabatan dan kemitraan kita. Transformasi diri berarti mengubah diri. Transformasi diri menuntut perubahan total. Transformasi diri berarti peningkatan kesadaran. Naluri hewani harus dibuang jauh-jauh.

Sang Suami: Ribuan tahun yang lalu, para resi, para begawan seperti Shiva, Patanjali, Gorakhnath dan Matsyendranath menemukan bahwa terjadinya peningkatan kesadaran dalam diri manusia, menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan anatomis yang nyata. Khususnya pada jaringan saraf dan otak. Mereka adalah orang-orang yang sangat jenius. Mereka menggunakan “reverse theory”. Apabila peningkatan kesadaran menyebabkan perubahan anatomis, maka perubahan anatomis seharusnya dapat meningkatkan kesadaran. Dan kesimpulan mereka benar. Sangat scientific. Selanjutnya mereka menciptakan latihan-latihan yang dapat memperkuat jaringan syaraf dan menghasilkan perubahan anatomis pada otak. Maka lahirlah sistem yoga, dengan latihan-latihan fisik, pernapasan, pedoman perilaku dan anjuran-anjuran untuk diet.

Sang Isteri: Untuk itu perlu latihan melepaskan diri dari supremasi mind, sehingga kesadaran bangkit. Cara pertama adalah dengan mengalihkan kesadaran pada napas. Pada zamannya, cara ini memang merupakan cara yang paling efektif, akan tetapi sekarang tingkat kegelisahan manusia begitu tinggi, sehingga cara ini hanya menjadi efektif, apabila terlebih dahulu kegelisahan dalam dirinya dimuntahkan ke luar lebih dahulu. Cara kedua adalah dengan melelahkan mind. Cara ini tidak begitu efektif. Hasilnya bersifat temporer. Cara kedua ini banyak digunakan di Indonesia, dan terakhir dipopulerkan oleh Maharishi Mahesh Yogi lewat apa yang disebut “Transcendental Meditation”. Dalam metode ini seseorang diharapkan mengulangi satu-dua kata atau satu kalimat singkat, terus-menerus. Pada dasarnya pengulangan kata tersebut melelahkan mind, sampai ia “ketiduran”. Kemudian Anda merasa lega, ringan.

Sang Suami: Cara ketiga adalah dengan menghabiskan mind. Cara ini merupakan Metode Milenia Mendatang. Cara ini akan menjadi semakin populer. Pada dasarnya, manusia masa kini kelebihan energi. Pekerjaan fisik telah berkurang banyak. Energi yang berlebihan ini semakin mengaktifkan mind. Mind menjadi hiperaktif, sampai menyebabkan restlessness, kegelisahan. Kendati demikian, membendung arus energi yang berlebihan hampir mustahil. Untuk itu seluruh sistem harus diubah. Kita harus melakukan lebih banyak pekerjaan manual. Makanan harus lebih sederhana. Arus informasi yang masuk harus dikurangi, karena informasi juga merupakan makanan bagi mind. Informasi juga memberi energi tambahan kepada mind. Semuanya itu tidak mungkin! Kita tidak dapat membendung kemajuan sains dan teknologi. Mau tidak mau, kita akan tepengaruhi olehnya. Satu-satunya jalan adalah secara rutin, setiap hari, kita membuang energi yang berlebihan, yang tidak berguna, yang berpotensi menggelisahkan. Program Seni Memberdaya Diri 2, Terapi Ceria, tertawa dan menyanyi bersama masyarakat bertujuan mengalahkan supremasi mind dan melembutkan jiwa.

Sang Isteri: Dengan mengalahkan supremasi mind, kita selalu hidup dalam keadaan sadar, tidak terkondisi oleh pola lama mind, maka potensi kekerasan dapat terkendali dengan baik dan  kelembutan jiwa terjadi. Semoga……

Situs artikel terkait

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

April, 2010.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone