April 21, 2010

Semak Belukar Ego Keserakahan di Tengah Kekumuhan Bangsa

Sepasang istri setengah baya sedang berada di depan sebuah laptop, dan memperbincangkan Opini Kompas Rabu, 21 April 2010, “Bubarkan KPK!”, oleh Ahmad Syafii Maarif yang dapat dibaca secara on-line. Putusan kontroversial hakim praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta yang memenangkan Anggodo Widjojo telah membangkitkan rasa frustrasi masyarakat atas masa depan pemberantasan korupsi dan pemberantasan mafia peradilan.

Sang Suami: Isteriku, lihat Buya Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah sangat geram atas putusan kontroversial hakim praperadilan tersebut sehingga menulis: “Inilah sesungguhnya yang sangat diharapkan oleh warga negara busuk yang memang tidak rela melihat negeri ini menjadi baik sehingga para koruptor tetap bebas gentayangan untuk membobol pematang sawah Republik yang sudah bernapas Senin-Kamis ini”.

Sang Isteri: Iya suamiku, demi aturan teks legal formal hukum, rasa keadilan masyarakat dan “sabda” Presiden pun diabaikan. Masyarakat masih ingat bagaimana Anggodo bisa leluasa mengatur jalannya perkara yang sedang ditangani KPK. Rekaman perekayasaan perkara telah diperdengarkan dalam sidang Mahkamah Konstitusi. Rekaman percakapan itulah yang memberikan indikasi adanya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Presiden membentuk Tim Delapan untuk mencari fakta atas dugaan kriminalisasi tersebut. Presiden atas rekomendasi Tim Delapan berpendapat Polri dan Kejaksaan Agung tidak perlu membawa kasus Bibit dan Chandra ke pengadilan. Kejaksaan pun kemudian menerbitkan surat keputusan penghentian penuntutan. Tetapi sekarang kasus tersebut akan dibawa ke pengadilan. Ada apa? Masing-masing pejabat merasa pandangannya benar, mereka punya dasar pemikiran tersendiri, tetapi apakah mereka telah menggunakan nuraninya? Ego atau pikiran memang selalu serakah dalam mencari benarnya pandangan sendiri. Semakin banyak pandangan yang saling belit di negeri kita seakan semak belukar ego keserakahan yang menambah keruwetan di tengah kekumuhan bangsa. Hanya kesadaran yang dapat mengendalikan ego, yang dapat mengendalikan keserakahan.

Sang Suami: Seorang pemerhati politik pernah mengatakan elite bangsa kita ahli “mimikri”. Artinya insting hewani tersisa dari elite bangsa tersebut  masih memiliki sifat bunglon, yang mudah berubah. Mungkin karena dibombardir film sinetron yang repetitif intensif, sehingga banyak elite bangsa yang pandai bermain sandiwara. Buya Syafii Maarif juga menyampaikan keprihatinannya tentang kekerasan yang masih sering terjadi: “Untuk berapa lama lagi situasi menggelisahkan ini harus ditanggungkan oleh bahu bangsa yang mulai kropos ini, sementara laku kekerasan semakin marak di mana-mana? Tidak jarang, karena sebab sederhana saja, orang dengan mudah berkuah darah. Jika perlu berlindung di balik komat-kamit bacaan ayat-ayat suci agar borok laku tidak terlalu kentara”.

Sang Isteri: Dengan menggunakan cara pandang yang legal formal, tanpa mempertimbangkan rasa keadilan publik, tersangka korupsi mampu melepaskan diri dari jerat hukum. Padahal, hukum itu eksis bukan untuk diri hukum sendiri, tetapi untuk masyarakat. Karena itu, hukum tidak dapat dilakukan hanya dengan memahami pasal undang-undang, tetapi harus mampu menangkap rasa keadilan masyarakat. Upaya membubarkan KPK atau melemahkannya dalam jangka panjang sama dengan membiarkan negara ini bubar di tangan anak-anak bangsa yang mabok keserakahan.

Sang Suami: Masalah akhlak memang tidak ada hubungan dengan Penerapan Syariat, karena baru beberapa jam lalu saya buka berita di Nanggroe Aceh Darussalam, kondisi permafiaan di sana tidak jauh berbeda. Kordinator LSM MaTA, berkata, pentingnya masalah korupsi seorang Bupati dikawal oleh KPK mengingat masih banyak mafia hukum di Aceh. Dia mencontohkan banyak kasus korupsi yang melibatkan pejabat di Aceh, yang kini mengambang tidak ada kejelasan. Dan dia menyebutkan sederet kasus. Masalah akhlak juga tak ada kaitan dengan partai yang berlandaskan keagamaan, karena Anggota Dewan, Kepala Daerah, Pejabat Tinggi yang didukung partai-partai semacam terkena kasus juga. Yang Jelas tindakan yang membuat frustasi masyarakat tersebut mempunyai kaitan dengan akhlak rendah putra-putri bangsa. Budi pekerti yang halus sudah merupakan barang langka. Banyak anak bangsa yang tidak sadar akan jatidirinya.

Sang Isteri: Ada 3 syarat terjadinya kejahatan yaitu kemampuan, niat dan kesempatan. Kemampuan membuat rekayasa jelas dipunyai para pelaku karena kebanyakan mereka adalah para profesional di bidangnya. Niat untuk mendapatkan fulus dari kasus rekayasa juga dapat terpicu dari iklan kemewahan apartemen  luxury di jantung kota Jakarta atau di luar negeri, tour ke manca negara, mobil mewah dengan model cantik yang secara repetitif intensif muncul lewat media massa memicu hasrat kepemilikan. Pengawasan yang lemah dan penegakan hukum yang tebang-pilih memberikan kesempatan terjadinya perbuatan tersebut. Semua upaya yang telah dilakukan hanya merupakan pembuatan pagar di luar diri, sedangkan pembenahan di dalam diri, perbaikan akhlak dan pembinaan budi pekerti kurang mendapat perhatian. Bagaimana menumbuhkan kesadaran dalam diri sama sekali tidak tersentuh.

Sang Suami: Saya ingat tanda-tanda zaman dalam buku “Jangka Jayabaya, Saatnya Bertindak Tanpa Rasa Takut dan Meraih Kejayaan”, karya Bapak  Anand Krishna, terbitan Gramedia Pustaka Utama tahun 2005 yang antara lain berbunyi: 1. “Besuk yen wis ana kreta tanpa jaran”, kelak jika sudah ada kereta tanpa kuda, yang bermakna hidup tanpa kendali, hidup dikuasai oleh kesadaran rendah. 2. “Tanah Jawa kalungan wesi”, Pulau Jawa berkalung besi, yang bermakna masyarakat terbelenggu karena ulah sendiri, terlilit masalah karena keserakahan dan ketakmampuan untuk mengendalikan diri. 3. “Prahu mlaku ing dhuwur awang-awang”,  Perahu berlayar di angkasa yang bermakna segala sesuatu telah kehilangan ciri kodratinya. 4. “Kali ilang kedhunge”, sungai kehilangan lubuk yang bermakna air kehidupan sudah mengering, raga berkeliaran tanpa roh, penampilan lebih dipentingkan daripada isi; gengsi lebih diutamakan daripada jati diri. 5. “Pasar ilang kumandhang”, pasar kehilangan suara yang bermakna masyarakat yang seharusnya aktif kehilangan dinamikanya karena tak berani menyuarakan kebenaran, selalu takut dan tidak hidup sepenuhnya. “Iku tandha yen tekane jaman Jayabaya wis cedhak”, itulah pertanda zaman Jayabaya telah mendekat, yang bermakna tiba saatnya untuk melampaui rasa takut sebelum ia berhasil mematahkan semangat kita. Dan saat itu bukanlah di masa depan, atau nanti. Saat itu adalah saat ini. Lampaui rasa takut, dan raih kemenangan!

Sang Isteri: Benar suamiku, buku tersebut memberi semangat kepada para satria putra-putri bangsa. Di tengah Kalabendu, zaman morat-marit tak menentu, banyak orang memimpikan datangnya Kalamukti, zaman penuh kemuliaan dan ketenteraman sejati. Orang memimpikan Sosok Utama yang akan memimpin perubahan dan mengawali transisi: Herumukti. Konon tokoh ini bersenjatakan trisula – tombak tajam bermata tiga: kebenaran, keadilan, dan kejujuran. Buku tersebut mengambil jalur yang jarang ditempuh oleh penafsir Jangka Jayabaya. Alih-alih menantikan seorang tokoh hebat yang akan memimpin bangsa, dia melihat Jayabaya bicara mengenai kerinduan akan penemuan jatidiri setiap manusia Indonesia. Jangka jayabaya adalah ajakan untuk mentransformasi diri, mengalahkan ketakutan. Lebih dari sekedar ramalan, naskah kuno ini memaparkan tuntutan waktu supaya hidup dalam kekinian, dengan penuh semangat, dan berkarya tanpa rasa takut. Karena itu, tak perlu menantikan Herumukti, sebab dia itu adalah kita semua, putra-putri bangsa! Sambut kelahirannya dalam diri kita semua!

Sang Suami: Iya, Jayabaya, bukanlah ramalan yang dibuat di masa lalu tentang masa depan kita, melainkan “Tuntutan waktu supaya kita hidup dalam kekinian, hidup dengan penuh semangat, berkarya tanpa rasa takut” dan “kemenangan bagi para satria yang telah menaklukkan rasa takut”. Kemenangan bagi kita semua yang berjiwa satria! Masa lalu yang penuh kekacauan berlalu sudah. Entah “berapa” masa lalu seperti itu yang telah dilewati. Jiwa tak terpengaruhi oleh kekacauan itu. Jatidiri berada diatas segala kekacauan. Bangkitlah dalam kesadaran, bangkit untuk berkarya bagi Ibu Pertiwi dengan penuh semangat. Bangkitlah untuk mempersembahkan jiwa dan raga kepada-Nya. Kebenaran Selalu Jaya!

Situs artikel terkait

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

April, 2010.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone