May 1, 2010

Ke-“tidakbersandar”-an, Pesan Bermakna Para Leluhur Bangsa

Malam sudah larut, tetapi sepasang suami istri setengah baya masih berdiskusi tentang warisan para leluhur yang sering dilupakan maknanya oleh generasi penerus bangsa.

Sang Istri: Suamiku, manusia zaman ini pada mengejar pengetahuan, kekayaan dan kekuasaan. Orang yang pintar dapat mempengaruhi mereka yang kaya dan yang berkuasa untuk mendukungnya. Orang yang kaya dapat membayar mereka yang pintar dan yang berkuasa untuk menuruti keinginannya.  Orang yang berkuasa dapat memaksa mereka yang pintar dan yang kaya untuk membantunya. Menjadi pintar, kaya dan kuasa adalah dambaan manusia. Dan itu sering diwujudkan dalam bagaimana caranya mendapatkan “kursi” dan mempertahankannya dengan segala cara. Saat berbaring, duduk, berdiri dan berjalan yang dipikirkannya hanya kursi atau tiga sarana tadi. Bahkan demi kursi atau tiga sarana tersebut, Yang Maha Kuasa pun ditangisi, dipuasa Senin-Kamisi, ditahajudti, bahkan satu dua ada yang mengumrohi. Orang Pinter pun didatangi, Yang Sepuh di-“suwun-pengestoni”. Setiap disebut kursi atau tiga sarana tadi bergetarlah hati. Ada pertanyaan mendasar, yang banyak dipikirkan apakah Gusti ataukah kursi atau tiga sarana tadi? Demi Gusti, demi bangsa atau demi ego pribadi? Apakah itu bukan pemuja berhala obsesi? Apakah itu tidak men-dua-kan Gusti? Gusti pun seakan alat untuk memenuhi obsesi diri.

Sang Suami: Benar isteriku, banyak yang lupa, ketiga tujuan tersebut sebetulnya hanyalah “sarana”. Tujuannya adalah “bahagia”. Manusia mati-matian mengejar sarana dan melupakan tujuan hidupnya. Ketiga sarana tersebut adalah urusan di luar, sedangkan kebahagiaan adalah urusan di dalam dirinya. Para leluhur telah memberi nasehat bermakna lewat wujud kursi singgasana seorang raja. “Dhampar kencana”,  adalah tempat duduk raja yang diwujudkan tanpa sandaran untuk tangannya dan tanpa sandaran juga untuk punggungnya. Makna simboliknya adalah bahwa seorang raja, seorang kalifah, bahkan seorang manusia yang memimpin diri pribadinya, agar tidak bersandar kepada siapa pun kecuali terhadap Kebenaran, terhadap Yang Maha Benar, terhadap Yang Maha Kuasa.

Sang Istri: Para elite bangsa zaman sekarang nyaman duduk memakai “sandaran”. Sandaran yang kuat,  tegak tetapi empuk nian. Pemimpin yang bersandar pada kelompok “yes men” yang hanya bisa membeo sang pemimpin, bila sang pemimpin terlena ketiduran menikmati kenyamanan sandaran, maka dia dapat terjungkal akibatnya. Pemimpin yang bersandar pada sandaran yang kaku dan keras rasanya tak nyaman, tidak akan bertahan lama dalam menduduki kursinya….. Kita telah menjadi bagian dari sistem, di mana para pembuat sistem adalah politisi, petinggi, pakar, dan mereka yang menganggap diri mereka super melebihi yang lainnya. Mereka takut kehilangan kursi kedudukannya. Mereka sangat takut terhadap para pembaharu, karena para pembaharu adalah akan memperbaiki kondisi yang ada, yang dapat mengakhiri sistem buatan mereka.

Sang Suami: Dunia selalu berubah, tetapi mereka yang lemah, berisik, mengacaukan keseimbangan dunia dengan bersandar pada dogma kadaluarsa. Mereka belum paham dunia ini selalu berubah sepanjang masa. Berbahagialah mereka yang berusaha memaknai kata-kata lama dengan makna yang sesuai perkembangan zamannya. Kebenaran tetaplah kebenaran, yang universal pun tetap berlaku sepanjang zaman, tetapi assesorisnya harus berubah sesuai perkembangan dunia. Adat tradisi lokalnya tidak dianggap pedoman yang berlaku bagi semua. Berbahagialah mereka yang tidak memaksa agar manusia hidup dengan assesoris lama dan tradisi lokalnya…… Sayangnya sekelompok orang hanya membutuhkan orang-orang yang patuh dengan dalih kepercayaannya. Ditakut-takuti neraka diiming-imingi surga. Ada kalanya kepatuhan itu diperoleh secara paksa. Ada kalanya kepatuhan itu dibelinya. Ada kalanya kepatuhan itu mereka jadikan bagian dari sistem pendidikan, supaya  seorang anak sudah tidak kritis lagi sejak usia dininya, yang akan terbawa sampai dewasa.

Sang Istri: Dalam buku “Bersama Kahlil Gibran Menyelami ABC Kehidupan”, karya Bapak Anand Krishna disebutkan tiga tahapan utama. Yang pertama Sadar, kedua Bebas dan Hidup adalah yang ketiga. Manusia harus mulai dari kesadaran. Sadar dulu, baru memproklamasikan kemerdekaan. Kemerdekaan atau kebebasan tanpa kesadaran tidak akan lama bertahan. Kemudian kita baru hidup, baru bisa merayakan kehidupan.

Sang Suami: Pertama “sadar”. Leluhur kita mengatakan alam ini sebagai “jagad gumelar”, alam yang terkembang, makrokosmos. Dan manusia sebagai “jagad gumulung”, alam yang terlipat, alam kecil, mikrokosmos. Dalam buku “5 Steps to Awareness, 40 Kebiasaan Orang yang Tercerahkan”, karya Bapak Anand Krishna, untuk memahami alam semesta kita perlu memahami diri, perlu sadar diri kita itu siapa.  Tanah liat di seluruh dunia berada di luar batas pandangan. Namun, segumpal tanah liat bisa berada dalam jangkauan. Dengan mengetahui sifat segumpal tanah dalam genggaman, dapat mengetahui sifat tanah liat secara keseluruhan. Dengan mempelajari sifat benda-benda yang berada dalam genggaman, dapat mempelajari sifat Yang Tak Terjangkaukan.

Sang Istri: Benar suamiku, tanah liat itu digunakan untuk membuat berbagai macam peralatan. Bahkan patung dan juga mainan. Bentuk peralatan dan benda-benda itu memang beda, tetapi intinya satu dan sama. Nama dan sebutan yang kita berikan pada setiap benda berbeda. Namun perbedaan itu pun tidak mempengaruhi inti setiap benda. Walau berbeda bentuk, wujud atau rupa, maupun nama dan sebutannya, bahan dasarnya masih tetap tanah liat yang sama. Sadar bahwa jatidiri semua makhluk adalah sama. Pikiranlah yang membedakan dengan melihat bentuk, wujud dan nama.

Sang Suami: Kedua “bebas”. Kebebasan merupakan kebutuhan dasar manusia. Setiap manusia, setiap mahluk hidup mendambakan kebebasan. “Mendambakan”, karena sesungguhnya ia tidak bebas beneran. Kebebasan yang  tidak bermakna, yang sangat terbatas, belum bebas sepenuhnya. Begitu banyak ranjau yang dipasang oleh masyarakat kita. Begitu banyak rambu-rambu yang harus anda perhatikan – ini tidak boleh, itu tidak boleh – sehingga tidak pernah hidup sepenuhnya. Manusia harus membebaskan diri dari ketidakwarasan yang tengah merajalela dan menguasai pikiran manusia. Harus memproklamasikan kemerdekaan dari keterikatan-keterikatan yang mengerdilkan jiwa.

Sang Istri: Setelah sadar dan bebas baru kita bisa hidup penuh makna. Intinya memang tanah liat, tetapi peran sebagai genting harus dapat mengayomi kehidupan bangsa. Peran sebagai batu bata harus menegakkan rumah bangsa. Bagi para leluhur, dunia ini bagaikan panggung sandiwara. Ada sutradara, ada penulis cerita dan ada para pemeran pula. Dengan sadar kita saksikan, apa pun yang sedang kita alami dan rasakan, semuanya berasal dari “pikiran” Sang “Pangeran”. Sang “Gusti” yang ada di balik layar kehidupan. Tanpa Dia, sandiwara pun tak akan ada, Dialah Yang Maha Menentukan, kapan layar diangkat, kapan diturunkan. Seorang pemain juga sadar betul, bahwa kepribadiannya tidak akan terpengaruh oleh peran yang ia mainkan. Karena berperan sebagai raja, sebagai patih atau ponggawa, tidak berarti ia menjadi raja, patih atau ponggawa betulan. Ini adalah peran saat di atas panggung sandiwara kehidupan.

Sang Suami: Ketiga “kehidupan”. Sebagai pemimpin skenario perannya adalah sebagai pemelihara alam yaitu “Mangasah mingising budhi; Mamasuh malaning bhumi; Mamayu hayuning bhawana”. Mengasah tajamnya budi, membasuh lukanya bumi atau menyehatkan bumi yang sakit, dan memperindah alam semesta. Sakitnya bumi ini, terjadi karena manusia tidak mengasah budinya, dan telah melukai bumi dalam memenuhi keserakahannya. Pengasahan akal budi ini pada umumnya dilakukan dengan bersekolah, kursus, berguru, membaca buku, menyerap berbagai informasi, mengamati dan sebagainya, termasuk diskusi saling mengingatkan di Face Book dengan sahabat-sahabat tercinta.

Sang Istri: Pemimpin harus sadar perannya hanyalah sebagai seorang fasilitator yang bertugas untuk mengantar pada kejayaan negara dan bangsa. Ia tidak menjadi pemimpin karena haus nama, atau karena ingin mengisi kantongnya. Menjadi fasilitator adalah melayani orang lain agar dapat melakukan peran dengan sebaik-baiknya. Hanya fasilitasi, bukan untuk menaikkan egonya. Dia tidak terikat dengan perannya. Selalu ingat Gusti-lah yang memberikan tugasnya, memberikan perannya.

Sang Suami: Para Guru, para Master bahkan memberi contoh bagaimana mereka sengaja memilih penderitaan tanpa sandaran. Gusti Yesus sudah paham dalam zaman kemunafikan dan perekayasaan, pada masanya dia dapat dihukum dengan hukuman yang paling memalukan. Dia memberi contoh, bagaimana rasanya mengalami rekayasa. Bagaimana memikul kayu salib yang akan dipakai untuk menyalibnya dengan punggungnya. Setelah beberapa masa, baru masyarakat sadar akan pentingnya keadilan, pentingnya kesadaran dan berkembanglah apa yang Beliau ajarkan….

Situs artikel terkait

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Mei, 2010.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone