May 17, 2010

Renungan Air Selokan Tentang Jatidiri

Sepasang suami istri sedang berbincang-bincang tentang air, mereka membayangkan seandainya saja air seperti halnya manusia yang mempunyai pikiran dan rasa. Sebagai acuan mereka menggunakan buku “Ah Mereguk Keindahan Tak Terkatakan, Pragyaa-Paaramitaa Hridaya Sutra Bagi Orang Modern”, karya Bapak Anand Krishna.

Sang istri: Pada suatu hari, sebuah truk bermuatan puluhan galon Air Kemasan berhenti parkir di sebelah selokan kotor di pinggir jalan. Salah satu galon Air Kemasan “say hello” pada Air Selokan. Saudaraku Air Comberan, mengapa tinggal di tempat kumuh ini masih krasan?………. Lihatlah sampah busuk yang mengelilingimu. Pengemudi Truk inipun parkir di sini hanya untuk menguras air seni sambil menutup hidung agar tidak mencium bau busukmu. Kalau tidak terpaksa, dia tidak akan parkir di dekatmu. Sadarlah saudaraku, hanya cacing, nyamuk dan lalat yang senang menemanimu. ……… Saudaraku, bicara tentangku, memang dari sananya aku mendapatkan anugerah kenyamanan. Aku lahir di mata air yang jernih, lalu diproses pabrik canggih dan ke dalam galon yang bersih aku dimasukkan. Aku begitu terkenal, di televisi menemani artis cantik seksi bernyanyi sudah menjadi kebiasaan. Fotoku juga dipajang sebagai baliho di jalan-jalan protokol dengan penuh kemegahan. Dibawa box, ke mal-mal besar aku diantarkan. Di supermarket aku dipajang pada ruangan yang sejuk, bersih dan nyaman. Suatu saat, aku akan dinaikkan kereta dorong digabung dengan banyak belanjaan. Aku dinaikkan sedan mewah masuk perumahan. Kemudian aku dibawa ke ruang makan. Sesekali artis cantik minum diriku lewat mulutnya yang menawan. Kau belum merasakannya kawan, enak juga jadi air gedongan……

Sang Suami: Air Selokan menjawab, Baik Saudaraku, aku menerima tugas yang diamanahkan kepadaku dan kujalankan sebaik-baiknya. Bau busuk atau harum hanyalah sementara. Aku sedang menjalankan peranku membawa sampah untuk membersihkan selokan. Memang kali ini aku sedang kecapaian. Aku menunggu rombonganku datang ketika hujan tiba untuk bersama mereka menggotong sampah dari selokan…….. Percakapan terhenti karena pengemudi mulai menjalankan mobilnya dan terjadi keheningan di benak Air Selokan…….. Gusti aku menerima keadaanku apa adanya, aku selalu bersyukur dapat menjadi berkah bagi mereka yang terpinggirkan. Seminggu kemudian, hujan deras tiba, air hujan memenuhi selokan-selokan,  dan terangkutlah air selokan masuk ke dalam sungai dan terus mengalir ke lautan. Air selokan sudah berada di samudera luas, mendapatkan pencerahan dari Sang Surya, segenap kotoran yang melekat pada dirinya ditanggalkan. Terjadilah transformasi berubah bentuk menjadi uap air yang jernih, yang melayang di ketinggian. Dari angkasa, dia membayangkan saudaranya Si Air Kemasan. Dia masih bergelimang kemewahan untuk pada akhirnya masuk ke tubuh sang artis dan di toilet dikeluarkan. Disiram air masuk septic tank untuk merayap ke dalam tanah dengan pelan-pelan……. Pada suatu saat, dia akan sampai juga ke samudera dan menguap ke angkasa. Hanya masalah waktu saja. Kemudian turun ke bumi juga. Demikian siklus kehidupan air yang sederhana.

Sang Istri: Benar suamiku, untuk apa membanggakan diri, bersikap angkuh pada saudara sendiri. Kemewahan dunia tidak abadi………. Si Air galon merasa di-“berkah”-i, namun setelah pensiun dari tempat nyaman akan ke tempat “tak berkah” juga. Setelah itu mungkin dia merasa kena “musibah”, setelah sadar sebentar merayap pelan di tanah akhirnya keluar ke sungai pula. Masuk instalasi PAM penjernih, merasa di-“suci”-kan dan masuk pipa leiding ke rumah tangga bahagia. Bagaimana pun akhirnya sampai ke samudera. Naik ke angkasa dan akhirnya kembali ke bumi juga. Air keruh menjadi jernih, lalu air jernih menjadi keruh kembali. Lalu jernih kembali, lalu keruh kembali. Sederhana sekali! Mengapa menjadi keruh Si Air Galon merasa menderita, mengapa menjadi jernih dia menjadi bangga. Si Air masih berpikir parsial, sepotong-sepotong, belum holistik cara berpikirnya. Dan seorang yang sadar akan tertawa wekwkwkwkkkkkkkkk……… Ah, demikianlah kebenaran itu adanya. Es Dhammo Sanantano, kata sang Buddha…… Ya, sudah tidak usah dipikirkan lagi. Kesadaran baru ini melegakan diri. Tidak ada beban lagi. Tetapi lain praktek lain teori. Sudahlah….. sebuah permainan Ilahi.

Sang Suami: Lain keadaan, Dharmanya pun ada perbedaan. Dharma segalon air kemasan tidak sama dengan dharma air selokan. Lain pula dengan dharma air irigasi di persawahan. Lain pula dengan dharma air kran di tempat cucian. Air Selokan yang sudah bertransformasi menjadi uap air di angkasa merenung: Untuk apa pamer kedudukan atau kesucianan……. Aku mempunyai rasa kasih, apa pun tugasku, apa pun amanah yang diberikan kepadaku akan kulaksanakan dengan penuh kasih.

Sang istri: Seandainya segala macam air mengenali jatidirinya. Air bersifat tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa. Air merupakan suatu pelarut yang penting, yang memiliki kemampuan untuk melarutkan banyak zat kimia lainnya…… Dari sudut pandang biologi, air memiliki sifat-sifat yang penting untuk adanya kehidupan. Air dapat memunculkan reaksi yang dapat membuat senyawa organik untuk melakukan replikasi, pengembang-biakan. Terhadap air, semua makhluk hidup memiliki ketergantungan. Air merupakan zat pelarut yang penting untuk makhluk hidup dan adalah bagian penting dalam proses metabolisme kehidupan. Air juga dibutuhkan dalam fotosintesis dan respirasi, pernapasan. Sebagai pelarut air digunakan sehari-hari untuk mencuci, tubuh manusia, pakaian, lantai, mobil, makanan, dan hewan. Selain itu, limbah rumah tangga juga dibawa oleh air melalui saluran pembuangan.

Sang Suami: Demikian juga istriku, manusia perlu mengenali jatidirinya. Untuk itu dia tidak hanya berpikir holistik, tetapi perlu bertanya. Aku ini siapa? Meniti ke dalam diri, esensinya. Tidak perlu angkuh, membanggakan kelebihan harta dan kedudukan atau pun kesuciannya. Pada dasarnya semua manusia suci semua. Jati diri semua makhluk satu adanya. Karena menuruti pikiran yang penuh keinginanlah maka dia melupakan jatidirinya.

Sang Istri: Hidup seseorang menjadi bermakna, karena dia memberikan makna kepadanya. Bagi mereka yang tidak memberikan makna, hidup ini ibarat lembaran kertas yang kosong belaka. Pada umumnya, ada dua kelompok besar manusia. Kelompok mereka yang memberi makna dan kelompok mereka yang tidak memberi makna. Lucunya, kedua kelompok ini masih gelisah, masih cemas, masih khawatir saja. Yang memberi makna gelisah, karena makna yang ia berikan bermuatan keinginan-keinginan dan obsesi-obsesi yang belum dicapainya. Yang tidak memberi makna juga gelisah, karena terasa hambar tawar hidupnya. Sama sekali tak ada bumbunya. Kemudian, orang hanya berpindahan kelompok, sebagaimana biasanya. Kadang di kutub sini, kadang di kutub sana. Demikian dijelaskan di buku “Ah Hridaya Sutra”.

Sang Suami: “Masih mengejar” Kerajaan Allah berarti belum bisa melihat Kerajaan-Nya di mana-mana, masih belum meyakini kehadiran-Nya di mana-mana. Jelas, masih berada pada lapisan lahiriah, belum memasuki lapisan batiniah pula. Yang sudah bisa merasakan kehadiran-Nya di mana-mana, yang sudah bisa melihat Kerajaan-Nya di mana-mana, akan berhenti mencari, akan berhenti mengejarnya. Bukan hanya Allah dan Kerajaan-Nya yang tidak ia kejar, apa pun juga tidak lagi dikejarnya. Tidak ada yang perlu dikejar lagi, karena apa yang sedang ia cari, ternyata ada di mana-mana. Demikian, ia memasuki lapisan batiniah. Mereka yang sudah berhenti mencari ini berada dalam kelompok ketiga. Kelompok para Avalokita, para Buddha, para Mesias, para Nabi, para Avatar. Kelompok yang “luar biasa”. Demikian diuraikan di buku “Ah, Hridaya Sutra”. Kita perlu introspeksi kita sendiri bagaimana? Dan menuju ke mana?

Sang Istri: Dengan kisah berbeda, Lao Tze 2.500 tahun lalu berkata. 3 diantara 10 manusia hanya mementingkan lahiriyahnya. 3 diantara 10 lainnya hanya mementingkan batiniyahnya. 3 di antara 10 melewati hidup tanpa kesadaran, cuek saja. Hanya 1 manusia tersisa sadar menerima yang lahiriah dan yang batiniyah serta melewati kehidupan tanpa rasa takut dalam menjalaninya.

Sang Suami: Mari kita berdoa pada Guru yang selalu memandu kita semua. Bukan hanya dengan buku-buku, tulisan dan ucapannya. Guru memberikan contoh dengan kehidupannya yang nyata. Kita sering terkecoh dibuatnya. Bukan hanya yang tersurat, yang tersiratpun merupakan pelajaran yang sangat berharga. Bukan hanya yang bahagia, yang nampak derita pun penuh makna. Beliau lakukan untuk kita semua. Sebagai pelajaran kepada para muridnya. Hanya pikiran kita yang masih terbelenggu pola lama saja. Katarsis kita belum membersihkan cara berpikir lama. Terima Kasih Guru, Jaya Guru Deva.

Situs artikel terkait

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Mei, 2010.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone