May 12, 2010

Renungan Tentang “Slametan”, Warisan Spiritual Leluhur Yang Perlu Dilestarikan

Sepasang suami istri sedang membicarakan buku “Mengungkap Misteri Air”, karya Bapak Anand Krishna dan kawan-kawan, terbitan One Earth Media, tahun 2006. Kemudian mereka menghubungkannya dengan tradisi leluhur yang masih dilakukan di tengah masyarakat.

Sang Istri: Doa ramai-ramai tanpa makan disebut doa bersama. Makan ramai-ramai tanpa doa disebut pesta, bancakan bahasa Jawanya. Uang negara pun dapat dipakai bancakan bersama. Karena tanpa berdoa dan lupa ada polisi, jaksa dan KPK. Syarat “slametan” lain pula, harus ada makanan yang dimakan ramai-ramai dan ada harus ada doa bersama pula. Ada doa dan ada makanan tapi tidak dimakan hanya diletakkan disebut sesajen, belum termasuk slametan juga. Slametan adalah tradisi peninggalan leluhur yang penuh makna.

Sang Suami: Para Leluhur kita merasa lebih mantap jika doanya tidak sekedar diucapkan di mulut saja. Disempurnakan dengan tumpeng, sebagai simbol kemanunggalan tekad bulatnya. Sejumlah orang duduk di atas tikar melingkar bersila. Di tengah lingkaran terletak nasi tumpeng lengkap dengan lauk pauknya. Seorang kyai tua membaca doa diamini oleh semuanya. Setelah selesai doa bersama, dilanjutkan dengan makan tumpeng bersama. Tetangga yang tak hadir diantar makanan juga…..Tidak ada perbedaan, yang ada rasa kekeluargaan, slametan, mempererat persaudaraan.

Sang Isteri: Mengenai posisi yang berdoa dalam bentuk lingkaran, tampah dan tumpengnya pun berbentuk lingkaran. Bulan, bumi dan juga mataahari beredar dengan pola lingkaran. Semua roda kendaraan berbentuk lingkaran. Demikian juga roda kehidupan.

Sang Suami: Air laut menguap menjadi awan. Berkumpul di atmosfir kena angin menjadi hujan. Air turun ke gunung, berkumpul ke sungai-sungai berkumpul di lautan. Siklus hidrologi berbentuk lingkaran…….. Biji mangga tumbuh menjadi lembaga. Berkembang semakin besar akhirnya menjadi pohon mangga. Berbunga dan akhirnya berbuah juga. Di dalam buah mangga ada bijinya. Nampaknya kecil namun  berpotensi menjadi mangga. Siklus kehidupan mangga berbentuk lingkaran juga.

Sang Istri: Benar suamiku. Seekor kupu-kupu bertelur untuk meneruskan jenisnya. Telurnya menetas menjadi ulat yang berkembang menjadi dewasa. Tiba saatnya bertapa menjadi kepompong tanpa makan minum dan tidak bergerak juga. Perubahan terjadi dalam dirinya. Bermetamorphosis menjadi kupu-kupu lengkap dengan sayapnya. Hinggap ke sana kemari mengambil sari bunga. Akhirnya bertelur lagi, demikian dan seterusnya. Pohon mangga, kupu-kupu dan manusia juga mengalami siklus kehidupan berbentuk lingkaran juga. Pengalaman selama hidup mempengaruhi genetik penerusnya. Sebuah siklus kehidupan dan evolusinya.

Sang Suami: Dr. Masaru Emoto menemukan, bahwa air mempunyai kesadaran. Kala air diberi doa, nyanyian atau vibrasi kasih, dia membentuk kristal hexagonal yang cantik dan menawan. Tumpeng beraneka warna mengandung air, dan membentuk kristal hexagonal juga kala doa dipanjatkan. Tubuh manusia pun mengandung 70% air yang membentuk kristal juga kala berdoa sewaktu slametan. Makan bersama penuh aura kasih dan kebersamaan. Tradisi yang mulia bagi yang punya pengetahuan.

Sang Isteri: Nasi tumpeng berbentuk kerucut, putih atau kuning warnanya. Alas daun pisang dan urapan dari berbagai daun hijau semuanya.  Diletakkan di ”tampah” bambu yang coklat kekuningan sebagai nampannya. Beberapa butir telur rebus terpotong kelihatan putih dan kuningnya. Warna merah dari cabai meningkatkan energi, membangkitkan semangat yang sedang berdoa.  Warna kuning, mengikis ketegangan dan  meningkatkan perasaan gembira. Warna hijau, melembutkan hati dan berkaitan dengan jantung dan sifat kasih di dada. Warna Coklat merupakan warna bumi tempat semua tanaman berada. Semuanya berasal dari bahan organik ramah dengan lingkungan manusia. Makanan bersifat satwik yang menenangkan jiwa, bukan bersifat tamas yang membuat malas dan bukan rajas yang membuat agresif pengkonsumsinya. Sungguh mulia tradisi nenek moyang kita.

Sang Suami: Doa dipanjatkan manifestasi rasa syukur terhadap Hyang Widhi, Gusti Yang Maha Kuasa. Menerima energi dengan telapak tangan terbuka. Suara “humming” dari getaran “emmmm” dari “ammmmmmm iinn” menenangkan pikiran, gejolak mereda. Setelah selesai kedua telapak tangan diusapkan ke wajah mengaktifkan pusat energi kebijakan di antara kedua mata.

Sang istri: Bentuk Tumpeng, bangunan Candi, seperti halnya bangunan Piramid juga bermaksud menggambarkan sebuah gunung di bumi. Gunung yang nampak agung mempunyai sifat yang stabil secara alami. Semakin naik ke atas gunung semakin luas pandangan ke bumi. Bermacam jenis pohon menjadi semakin kecil, tak nampak perbedaan lagi.  Hal tersebut menggambarkan semakin tinggi kesadaran seseorang, dia akan melihat secara general, umum dan tidak lagi terfokus pada detail yang rinci. Dia tidak melihat perbedaan lagi. Semakin tinggi kesadaran seseorang, pandangannya menjadi semakin holistik, tidak parsial lagi.

Sang Suami: Gunungan berbentuk simetris di sebelah kiri dan kanan serta di sekelilingnya. Semakin ke bawah antara kiri dan kanan semakin melebar jaraknya. Semakin ke atas sifat dualitas tersebut semakin kecil, sedikit beda. Dan pada akhirnya di puncaknya terlampauilah sifat dualitasnya. Esa, Tunggal Adanya.

Sang Isteri: Bentuk persembahan yang paling baik adalah makanan. Makhluk bisa lahir dan hidup karena makanan. Ovum dan sperma calon generasi baru adalah “liquid energy” terbentuk dari intisari makanan. Persembahan pakaian, harta atau lainnya memerlukan kewaspadaan. Apakah akan dimanfaatkan demi kebaikan atau keburukan. Tidak demikian dengan makanan, apalagi yang sudah mendapatkan vibrasi dari doa bersama yang telah dipanjatkan.

Sang Suami: Makna tumpeng dan makna gunung dijelaskan dalam makna sebuah candi. Terdapat tiga tingkatan dari Candi Borobudur yaitu: Kamadhatu di bawah, Rupadhatu di tengah dan Arupadhatu yang paling tinggi. Melambangkan tiga tingkat kesadaran  manusia, kesadaran bawah, kesadaran tengah dan kesadaran tinggi. Kamadhatu merupakan tingkat kesadaran yang masih dikuasai oleh kama atau nafsu, keinginan yang rendah, dengan insting hewani. Rupadhatu merupakan tingkat kesadaran yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk duniawi. Arupadhatu merupakan tingkat kesadaran para Buddha dan para Orang Suci. Kebebasan mutlak telah tercapai, bebas dari keinginan dan bebas dari ikatan bentuk dan rupa duniawi. Karena itu bagian Arupadhatu itu digambarkan polos, dan tidak berrelief lagi. Perjalanan kesadaran adalah perjalanan dari Kamadhatu menuju Arupadhatu, dari kesadaran hewani, lewat kesadaran manusiawi menuju kesadaran Ilahi.

Sang Isteri: Pada hakikatnya slametan memuat ajaran agar manusia meneladani alam dan bertindak selaras dengan alam semesta. Saya ingat SMS Wisdom Bapak Anand Krishna, Mereka yang tidak mengapresiasi budaya sendiri adalah orang-orang tanpa budaya. Olesan bedak tebal budaya asing tidak pernah mempercantik wajah kita. Kenalilah budaya sendiri untuk menemukan jati diri”. Karena itu, sadarlah saudaraku, sobatku. Kembalilah ke pangkuan Ibu Pertiwi. Belajarlah dari budaya asing, entah itu Barat, Cina, Arab, India atau apa saja, tetapi ketahuilah keagungan budaya sendiri. Kau yang sudah terlanjur percaya pada budaya asing dan melupakan budaya sendiri, ketahuilah bahwa budayamu jauh lebih tinggi daripada budaya asing yang kau dewakan.

Sang Suami: Saat sebelum makan, dianjurkan berdoa sepenuh jiwa, “Wahai Keberadaan, makanan ini dari-Mu, kekuatan mencerna makan ini juga dari-Mu, doa ini dilakukan tubuh yang juga dari-Mu. Slametan ini merupakan persembahan bagi-Mu. Terima Kasih Guru.

Situs artikel terkait

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Mei, 2010.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone