May 19, 2010

Renungan Tentang Kepolosan Anak dan Kontroversi Pendidikan Masyarakat

Pembicaraan sepasang suami istri tentang buku “The Gospel Of Michael Jackson”,karya Bapak Anand Krishna, nampak terhenti sejenak.  Mereka melihat layar televisi, dimana seorang anak kecil berusia sekitar 5 tahun, melepaskan pakaiannya di semak-semak. Sang anak kemudian terjun ke air mengikuti sang kakak. Sang kakak dan teman-temannya sedang bermain air di saluran irigasi sambil tertawa terbahak-bahak. Pemandangan indah tersebut membuat mereka terhenyak.

Sang Istri: Suamiku, lihatlah keceriaan wajah sang anak, tak ada satu kerut pun di dahinya, dia tertawa bahagia. Saya kira para pemirsa akan terpengaruh oleh keceriaannya. Bisakah kita polos seperti diri sang anak, demikian pertanyaannya……. Saya pernah mendengar sabda, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga. “Anak kecil” di sini mewakili “ketulusan”, “keluguan” dan “kepolosan” manusia. “Seperti anak  kecil” adalah “keadaan no-mind”- di mana ego sirna. Rasa angkuh dan arogansi pun tiada.

Sang Suami: Agar dapat meneladani kepolosan anak kecil, demikian anjuran Gusti Yesus kepada umat manusia. Meditasi Zen pun mengajak manusia kembali ke sumbernya.  Melihat segala sesuatu dengan pandangan jernih yang berarti menjadi polos, tulus dan sederhana. Tidak ada sesuatupun yang harus ditambahkan pada kepribadian manusia. Dia sudah cukup baik, lengkap dan sempurna, sebagaimana adanya……..  Jalalluddin Rumi pun berkata bahwa dia yang telah berserah-diri sepenuhnya kepada Kehendak Ilahi, ialah seorang Muslim sejati. Dialah yang disebut “Insannya Tuhan” oleh Rumi. la menjadi tulus, polos, lugu seperti seorang anak kecil yang menarik hati. Dan kepolosannya itu, keluguannya itu, ketulusan dan kesederhanaannya itu mengundang Rahmat Ilahi. la yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang melindungi “Insannya Tuhan” seperti Ibu Sejati……  Telah saya baca yang demikian, di buku “Telaga Pencerahan Di Tengah Gurun Kehidupan”, karya Bapak Anand Krishna, terbitan Gramedia Pustaka Utama, tahun 1999.

Sang Isteri: Betul suamiku, kepolosan anak kecil mengundang kebahagiaan semua orang yang melihatnya. Alangkah bahagianya apabila semua orang nampak ceria saat bertemu kita…..  Nampaknya itu bisa terjadi bila kita sanggup melepaskan pakaian, menelanjangi diri sendiri dan melemparkan atribut tambahan.  Tak ada yang dirisaukan, spontan, tak ada beban pikiran, dan penuh keceriaan……..Bukan telanjang seperti yang tersurat, tetapi makna yang tersirat padanya. Sanggupkah manusia melepaskan arogansi, keangkuhan, jabatan, kekayaan dan ketenarannya. Berdiri telanjang bulat di tengah dunia? Ego melarang manusia melepaskan atribut-atribut yang telah diberikan kepadanya. Sanggupkah manusia melepaskan conditioning yang melekat pada dirinya? Conditioning pertama telah melekat pada dirinya sebagai sifat bawaan yang merupakan obsesi-obsesi di kehidupan sebelumnya. Conditioning kedua menjadi melekat karena obsesi-obsesi manusia pada kehidupan saat ini yang tengah dijalaninya. Conditioning ketiga, aturan, dogma yang diberikan masyarakat kepada kita? Sanggupkah kita melepaskannya?…… Sebuah pertanyaan yang mudah dijawabnya dengan segera namun sulit dilakoni. Sebuah jihad sejati, untuk mereformasi pikiran sendiri, yang selama ini kita percayai.

Sang Suami: Istriku, dapat dimengerti mengapa sang legenda almarhum Michael Jackson dengan anak-anak kecil begitu perhatian. Keceriaan anak tersebut dapat dirasakan, dan memberinya kebahagiaan. Bagi mereka yang sering menggunakan perasaan, siapa yang tidak suka melihat anak kecil yang polos tidur tanpa beban?……. Tetapi sang legenda adalah salah satu korban yang parah dari sikap mass media. Selama bertahun-tahun, sang legenda menderita dalam penghinaan atas kasus “pelecehan seksual” terhadap anak-anak, yang tidak pernah terbukti kebenarannya! Bahkan sesaat setelah kematian sang legenda, anak yang dilecehkan tersebut mengaku bahwa ia hanya disuruh membuat keterangan palsu oleh orang tuanya .

Sang Isteri: Masyarakat dan mass media tidak dapat memahami hal yang berada di luar jangkauannya. Mereka telah terpola dengan pikiran bawah sadarnya. Bahwa hanya orang tuanya yang boleh dekat dengan anak-anaknya. Hal yang hampir sama terjadi pula kala seorang Guru begitu mengasihi para muridnya. Memeluk dan mengusap-usap sang murid baik pria dan wanita adalah bentuk kasihnya. Tetapi masyarakat tidak mengerti, karena telah pikirannya telah terpola. Pola  pikirannya membuat suatu syak wasangka. Tidak bisa memahami hal yang berbeda dari kebiasaannya, di mana hanya orang tua yang boleh mengelus putra-putrinya. Seorang psikolog dan seorang ahli hipnotis pun hanya tahu dari ilmu yang telah dipelajarinya. Mereka belum dapat memahami bahwa seseorang pun bisa sengaja menghipnotis dirinya, untuk menghilangkan kebiasaan buruknya. Membongkar pola pikiran lamanya demi kebahagiaannya.

Sang Suami: Mari kita kaji kehidupan “anak” dalam diri kita. Menurut uraian dalam buku “The Gospel Of Michael Jackson” sebagaimana yang dapat saya pahami isinya. Walaupun kita bertumbuh secara fisik, mental, intelektual dan emosional, sang anak di dalam diri kita masih tetap ada. Sang anak dalam diri masih tetap memiliki kepolosan dan keceriaannya. Sayangnya, sistem pendidikan dan norma-norma sosial kita tidak dapat memberikan apa yang dibutuhkan sang anak, yang telah terperangkap dalam tubuh orang dewasa……. Telah terpenuhi kebutuhan fisik, mental, intelektual dan emosional. Tetapi tidak untuk kebutuhan spiritual. Anak di dalam diri kita tetap saja kurang gizi dan tak berkembang normal.

Sang Istri: Atas nama spiritualitas, anak sering dicekoki dogma dan doktrin agama. Hadiah dan hukuman, surga dan neraka, Tuhan dan setan – semuanya ini matematika belaka. Makanan ini bagus buat pikiran, intelek dan emosi, tetapi tidak bagi sang jiwa. Sang anak di dalam diri, percikan spiritual di dalam diri tiap orang perlu berjalan terus melewati seluruh dualitas dan kemudian menyatu dengan sang sumber yang ada di dalam jiwa……. Diri kecil kita kangen, rindu menyatu dengan Diri yang Lebih Tinggi. Sang anak di dalam diri kita mencari kebahagiaan sejati……. Dia tidak peduli akan kenyamanan fisik dan kenikmatan sensual. Dia bosan dengan senam mental dan jargon intelektual. Kebutuhan sang bayi tak dapat lagi dipuaskan oleh ketertarikan emosional.

Sang Suami: Sang anak dalam diri kita, yang nampak juga dalam diri Michael Jackson, makin resah-gelisah rasanya. Tetapi masyarakat dan norma-norma sosial menentang kegelisahan yang demikian adanya. Sesungguhnya mereka malah tidak mau mengakui keberadaannya. Masyarakat dan sistem sosial bersama-sama memutuskan pendidikan macam apa yang bakal diberikan pada anak-anaknya. Keputusan mereka mencerminkan kebutuhan mereka, bukannya kebutuhan, kesenangan, ketidaksenangan, dan potensi sang anaknya. Hadiah dan penghargaan akan diberikan pada anak yang memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat  tidak mencintai mereka. Masyarakat  tidak membimbing mereka. Masyarakat  menuntut mereka! Masyarakat  ingin anak-anak hidup untuk orang dewasa, bukan untuk diri mereka. Orang tua ingin anak-anak mengikuti kepercayaannya. Orang tua mengebiri anak-anak mereka, Orang tua ingin anak-anak mereka memakai sepatu yang ukurannya sama dengannya. Orang tua mengkondisikan anak-anak mereka. Orang tua memaksakan ide dan pandangan-pandangannya kepada anak-anak mereka. Orang tua tidak membiarkan anak-anak mereka tumbuh berdasarkan apa yang mereka sendiri yakini. Anak-anak mereka tidak diperbolehkan hidup berdasarkan bimbingan dari hati nurani mereka sendiri. Anak-anak mereka tidak boleh menghidupi kehidupannya sendiri. Anak-anak mereka harus menjadi robot bagi orangtuanya. Orang tua membuat anak-anak mereka begitu tergantung kepadanya. Betapa kejamnya, bila dirasakan dan dihayati sepenuh jiwa.

Sang Istri: Untuk menyembunyikan rasa bersalah ini, orang tua menggunakan materi atau uangnya. Orang tua berbelanja dengan boros, membeli barang-barang yang tidak merupakan kebutuhan dan atas nama cinta memberikannya kepada anak-anak mereka. Orang tua memanjakan mereka. Orang tua  membungkusi rasa bersalahnya dengan kertas kado kebahagiaan materi yang tidak berarti bagi anak-anak mereka. Anak-anak membutuhkan kasih orang tua. Apa yang orang tua lakukan bukan cara mendidik yang utama. Orang tua hanya mengulangi perbuatan kakek-neneknya terhadapnya. Orang tua sebenarnya tidak pernah tumbuh dan sekarang orang tua menghalangi pertumbuhan anak-anaknya. Orang tua ingin anak-anak mereka menjadi fotokopinya. Orang tua berperan sebagai pengawas di rumah tahanan dan anak-anak mereka menjadi narapidana yang sedang menjalani hukuman. Sangat mengenaskan.

Sang Suami: Semoga para orang tua sadar akan kebutuhan kasih sayang bagi putra-putrinya. Bukan hanya dicukupi kebutuhan materinya semata. Biarkan mereka berkembang sesuai potensi yang dianugerahkan kepada mereka. Terima Kasih Guru, Jaya Guru Dewa….

Situs artikel terkait

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Mei, 2010.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone