May 16, 2010

Undangan Pesta Sang Raja di Tengah Kesibukan Dunia

Sepasang suami istri sedang merenung lama. Di depan mereka terletak dua buah buku karya Bapak Anand Krishna, “Masnawi Buku Kedua, Bersama Jalaluddin Rumi Memasuki Pintu Gerbang Kebenaran” dan “Isa sang Masiha”. Setelah hening beberapa lama, terdengar mereka kembali berbicara.

Sang Istri: Seorang Raja mempersiapkan jamuan pesta. Para pelayannya diminta mengantarkan undangannya. Bukan hanya undangan, kereta penjemputan disiapkannya pula. Orang pertama menolak undangannya. Sampaikan penyesalanku  tak dapat memenuhi undangan karena ada urusan bisnis pada saat yang sama. Orang kedua lebih tegas bicaranya. Aku baru saja beli rumah berharga. Waktu untuk ke pesta aku tak punya. Orang ketiga berdalih juga. Aku punya urusan keluarga. Setelah selesai urusanku aku akan menghadapnya. Demikian seterusnya semuanya beralasan masih ada urusan yang tak dapat ditunda. Agar nanti diundang lagi setelah mereka menyelesaikan urusan pribadinya.

Sang Suami: Guru menjelaskan dalam bukunya. Kita menolak undangan Allah yang disampaikan lewat Gusti Yesus, lewat Kanjeng Nabi Muhammad, lewat Yang Mulia Siddharta, lewat Sri Krishna, lewat Pendeta Lao Tze dan para suci lainnya. Karena memiliki kesibukan lain, kita menolaknya. Kesibukan duniawi yang tidak akan pernah terselesaikan sampai ajal tiba. Setiap kali, seorang Master selalu berusaha untuk mencari mereka yang dianggapnya layak dan cukup matang jiwanya. Akan tetapi justru mereka ini menolak undangan-Nya. Lalu tidak ada jalan lain kecuali mengundang setiap orang di jalanan yang ditemuinya. Di antara mereka, mungkin ada satu-dua orang yang matang, yang layak untuk sesuatu yang lebih berharga. Mari mengadakan introspeksi bagaimanakah kita?

Sang Istri: Kita asyik mengurus dunia. Keserakahan pada dunia menyebabkan menolak undangan-Nya. Kita masih takut kelaparan dan terlunta-lunta. Padahal Sang Raja mengundang makan di rumah-Nya.

Sang Suami: Awalnya adalah kebiasaan repetitif intensif yang terbawa dari masa ke masa. Kebisaan repetitif intensif tersebut yang membuat kita seakan buta. Pertanyaannya, bisakah kita melepaskan semua kebiasaan repetitif intensif yang mendarah daging begitu lama? Bisakah kita mengenali pelayan-Nya? Bisakah kita  memenuhi undangannya dan menerima apa pun menu yang disediakan-Nya? Menghadiri Pesta berarti tidak memikirkan “soal dapur” kita. Bukanlah Dia telah mengundang untuk makan di Rumah-Nya? Menghadiri Pesta-Nya berarti tidak mengurusi “menu makanan”-nya. Untuk apa mengurusi “menu makanan”, bukankah Dia telah mengurus semuanya? Akan tetapi beberapa orang menanyakan menunya. Lidahnya telah terbiasa dengan suatu selera. Repetitif intensiflah penyebabnya, sehingga hanya bisa makan yang sesuai dengan selera kebiasaannya.

Sang Istri: Sementara ini kita masih ber-“kesadaran-restoran”. Masih membedakan antara “Mie Cina” dan “Mie Jawa”, buah “Pisang” dan buah “Kurma”. Tidak mau itu, yang ini saja. Dengan “kesadaran-restoran” seperti itu, kita tidak bisa menghadiri Pesta-Nya. Di Pesta, kemauan Dia haruslah menjadi kemauan kita. Apa pun yang dia suguhkan kita terima.

Sang Suami: Begitulah, ada yang menanggapi juga. Kalau begitu, saya pilih ber-“kesadaran-restoran” saja. Saya bisa memilih menunya. Di Pesta-Nya tidak ada pilihan, demikian katanya. Mereka yang masih ber-“kesadaran-restoran” akan menolak undangan pesta-Nya. Untuk apa? “Entah di sana ada makanan kesukaan atau tidak, lebih baik makan di restoran saja. Tidak ada yang bisa mendesak untuk melampaui “kesadaran-restoran” dan berpesta bersama Dia. Para nabi, para mesias, para avatar dan para buddha hanya bisa merayu saja. Restoran yang telah didatangi itu tidak ada apa-apanya. Di Pesta Dia semuanya berkelimpahan adanya. Daftar makanan di restoran yang pernah didatangi itu masih belum apa-apa.

Sang isteri: Ada yang tidak percaya. Ada yang minta buktinya. Coba, perlihatkan daftar makanan Pesta Dia. Aku mau periksa dulu, apa sudah lengkap menunya. Sudah diundang untuk menghadiri pesta, bukannya berterima kasih, malah mau melihat daftar menu makanannya. Para rasul pun bingung, tetapi karena kasih mereka, maka “turunlah” Al-Qur’an, Alkitab, Dhammapada, dan Veda.

Sang Suami: Selama ini kita tidak menyadari. Dia ada di Timur, di Barat di mana-mana, dalam segala sesuatu sifat Ilahi selalu meliputi. Hanya ada satu tempat yang dia bisa menolak keberadaan Ilahi. Di pikiran, di ego manusia yang merasa paling benar sendiri. Di pikiran yang melupakan suara hati nurani…. Kebiasaan-kebiasaan buruk dalam diri kita bagaikan semak berduri. Sekali tertanam, akan tumbuh pesat sekali. Satu kebiasaan akan mengundang kebiasaan lain seperti magnet, besi semberani. Sering kali, Si Penanam pun terluka oleh karenanya, tetapi tetap tidak dia sadari.

Sang Istri: Benar istriku, seseorang masih mempertahankan “semak berduri kebiasaan-kebiasaan buruk” di dalam dirinya. Karena tidak sadar,  tidak dapat merasakan penderitaan orang lain juga. Mungkin, tahu pun tidak kalau banyak orang ikut menderita. Disebabkan oleh kebiasaan-kebiasaan buruknya.

Sang Suami: Bebaskan diri dari kebiasaan-kebiasaan buruk selagi masih bertenaga, masih muda. Semakin tua, semakin sulit membebaskan diri dari kebiasaan, karena semakin kurang tenaga. Untuk membebaskan diri dari satu kebiasaan dibutuhkan tenaga yang luar biasa. Dibutuhkan nyali yang terbuat dari baja. Hanya para pemberani yang berani berlaga.

Sang Istri: Benar suamiku, repetitif intensif telah mempengaruhi jiwa. Untuk mengubah akan banyak yang mengolok-olok, banyak yang mencerca. Bahkan dicap sesat juga……. Bagaimanapun, bila tekad sudah menjadi bulat, pengetahuan kesadaran selalu teringat, dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari  penuh semangat. Semoga tercapai tujuan dengan selamat……

Situs artikel terkait

http://www.anandkrishna.org/oneearthmedia/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

Mei, 2010.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone