Melati,
Sosok jelita nan penuh dengan keindahan menemani hari-hariku, entah ajimat atau matra apa yang membuat perempuan yang berprofesi sebagai model ini jatuh hati kepada diriku, ku pikir puisi dan hatikulah yang membuat jelita ini membuka hatinya untuk berbagi manis asmara dengan diriku.
Ah, asmara.
Lembut manis rasa surgawi, membuat mabuk kepayang. Dunia terasa lenyap, yang ada hanya aku dan kekasih hati. Hanyut dan terlelap di dalam buaian asmara.
Ah, asmara.
Entah sudah keberapa kali engkau hanyutkan aku ke dalam sensasimu, nikmat kusesat hingga tiap jengkal nafas.
Melati, Sosok jelita nan Indah.
Ku kagumi setiap jengkal keindahan dirimu. Sering ku bertanya dalam hati darimana asal kejelitaan dan keindahan dirimu itu. Seiring waktu aku sudah tidak mampu lagi melukiskan kejelitaan dirimu ke dalam puisi, kata-kata sudah tidak dapat lagi mewakili perasaanku terdap dirimu. Cintaku membawa diriku ke pada diam. Di dalam diam aku mengagumimu, di dalam diam aku mencintaimu, dengan amat sangat.
Tak kuasa lagi lidahku berkata-kata, terkecuali, I Love You. Hanya itu. Hanya itu yang dapat akau katakan padamu Melati, hanya itu, I Love You.
Tetapi diamku menyiksamu, benakmu dipermainkan oleh pikirmu tentang diamku. Meski diamku adalah cintaku kepadamu, namun kau tidak dapat merasakannya. Karena kata dan puisiku lebih berarti untukmu, kata-kata jauh lebih bermakna, ketimbang getar cintaku di dalam diam.
Tetapi aku sudah tidak mampu berkata-kata, cintaku begitu dalam kepadamu wahai pujaan hatiku, sehingga setiap kata yang ingin ku ucapkan seperti menjadi hambar, terkecuali I Love You. Namun itu tidak lah cukup, dan benakmu mengatakan aku menarik diriku dari dirimu. Dan kecintaanku kepada diriku melebihi cintaku kepada dirimu, ah, Melati tangkaplah getar cintaku dalam diam.
Aku dapat merasakan kegelisahan dan kerisauan serta tanya benak Melati, namun aku tak bisa berkata-kata. Puisiku telah menjadi getar di dalam diam. Aku mengagumi bahkan amat mengagumi setiap gerak Melati, setiap lekuk tubuh melati, setiap ekpresi Melati. Buatku adalah keindahan yang tiada pernah dapat tergantikan, nyanyian indah yang hanya dapat aku nikmati dengan diam, di dalam diam.
Desah nafas Melati adalah sebuah aroma yang membuat saraf-sarafku tenang, hingga aku dapat terbang melayang bermain-main dengan kedamaian dalam ruang yangt ak pernah dapat aku jelaskan, oleh karenanya aku membisu.
**
Waktu berlalu merajut hari,
Cintaku terhadap melati kian dalam. Meski benak Melati meragukan akan hal itu, dan keraguannya itu kini meracuni hatinya dengan kegamanangan. Aku dapat merasakan hal itu, tetapi lidahku tak dapat berkata-kata terkecuali I Love You.
Kesibukanya sebagai model merengut dirinya dari hari-hariku, sehingga sangat sedikit waktu yang tersisa yang dapat aku nikmati bersama sang pujaan hati. Jika ada, aku memanfaatkannya untuk menikmati setiap gerak dan getar yang dapat aku tangkap dalam diam, meski sebenarnya Melati lebih senang menikmati kebersamaan dalam kata, tetap lidahku telah keluh, kata-kataku beku. Pesona keindahan dan kejelitaanmu membiusku, sehingga aku tenggelam di dalam waktu bersamamu, ah, tidakkah kau dapat merasakan hal itu Melati ?.
Siang itu aku naik ke puncak, dimana sering ku habiskan waktu bersama Melati menikmati malam panjang, bersetubuh dengan alam dalam getar cinta. Namun hari itu, nampaknya aku harus menyetubuhi malam sendirian, tak menjadi masalah, kesendirian selalu menmghiburku dengan caranya tersendiri, aku menikmati kesendirianku.
Langkah kaki ku terhenti pada satu sosok jelita yang ku kenali,
Ah, Melati. Melati sedang apa kau di sana, ku lihat tubuhnya dalam pelukan seseorang.
Melati sang pujaan hati sedang bermain asmara dengan entah siapa. Seperti ada panah yang melesat terbang dengan kecepatan tinggi dan menembus dadaku, kurasakan perih. Tubuhku terasa lunglai.
Sang Arjuna terluka,
Menatap sang pujaan hati bermain asmara dengan lelaki lain.
Luka mengangga,
Mata memerah,
Tertusuk panah penghianatan.
Tetapi aku menahan setiak gejolak amarah, aku menatap kenyataan pahit itu, berharap itu adalah mimpi, namun itu bukan mimpi. Itu adalah kenyataan yang harus aku hadapi.
Dalam amarah,
Dalam kesedian,
Langkah kaki membawah raga dengan hati yang terluka turun kembali, menuju sebuah telaga.
Mataku kian merah, airmata pun meleleh.
Ah, Cinta.
Cinta, seperti biasa kamu menembus hati dan membuatnya luka.
Benarkah ?
Tanya cintaku ke pada diriku,
Benarkah aku, cintamu, yang melukai dirimu ?.
Dalam keperdihan sebuah penghianatan, cintaku tetap sama, aku dapat merasakan. Cintaku tidak berubah, cintaku tetap sama. Lantas apa yang membuatku terluka ?.
Apa ?
Apa ?
Apa ?
Kepemilikan.
Aku ingin memiliki melati hanya untuk diriku, aku ingin menikmati kejelitaan dan keindahan Melati hanya untuk diriku. Dan ketika kepelihan itu terenggut dari diriku aku terluka. Aku kecewa.
Kupandang wajahku di balik pantulan air telaga nan jernih, ku lihat dengan jelas sosok wajahku. Tetapi itu bukan pancaran dari diriku sendiri, aku menangkap sesuatu yang lebih dalam lagi. Aku melihat yang ku kenal tetapi sekaligus yang taku ku kenali, “siapa Kau ?”.
“Siapa Kau?”
Tanya itu kebali kepada diriku,
“Siapa Kau ?”.
Dan sekali lagi, “Siapa Kau ?”,
Tanya itu kembali kepada diriku sendiri.
Aku menoleh ke dalam diriku sendiri, “Ah siapa aku ?”,
“Aku siapa ?”
“Hahahahahaha……. Aku Siapa?”
Dan untuk pertama kalinya aku mendapati jawaban darimana asal kejelitaan dan keindahan Melati. Untuk pertama kalinya aku tahu harus kemana mencari sumber kejeletiaan dan keindahan Melati.
Diriku sendirilah.
Dan kesanalah aku memalingkan wajahku.
Ada sebuah kebahagian diantara luka yang masih terasa perih.
Ah Melati, ku sebut namamu dalam hati dan ku haturkan beribu terimakasih. Semoga Tuhan memberkahi mu dengan kebahagian, sebagaimana hari itu aku diberkahi olehNya dengan kebahagian.
Kembali kutatap sosok bayang diriku sendiri di atas cermin telaga nan jernih, sambil bertanya
“Siapa aku ?”,
“Aku siapa ?”,
Dan diam.
*
==
Di Publikasikan di :