Seorang sahabat lama ku bertanya mengapa aku tidak lagi membuat puisi tentang cinta, tidak lagi menuliskan syair-syair tentang cinta. Aku jawab dengan jujur bahwasanya “Aku belum bisa mencintai”.
Apa yang aku sebut puisi tentang cinta, kalimat bujuk rayu yang aku rangkaikan menjadi syair-syair adalah bukan cinta, hanya merupakan terjemahan dari reaksi kimiawi yang terjadi di dalam diriku karena terpicu oleh keindahan wanita.
Menurutku cinta adalah bahasa diam, cinta adalah sebuah persembahan. Persembahan dari hati untuk hati. Seperti seorang ibu yang sedang memandikan bayinya, tidak hanya kegiatan phisik, melainkan hatinya berbicara di dalam setiap gerak aktifitas memandikan bayinya. Cinta ibu itu hanya dapat dirasakan oleh sibayi. Dan itu tidak bisa di sampaikan oleh kata-kata, karena cinta adalah bahasa hati dan hanya dapat di implementasikan lewat prilaku, bukan lewat puisi, bukan lewat syair. Mengatakan cinta berulang-ulang, atau menuliskan cinta berulang-ulang hanyalah merupakan aktifitas memanipulasi pikiran, sementara cinta sama sekali tidak tersentuh.
Menurutku merangkai kata dan menghasilkan sebuah puisi tentang cinta adalah mudah, namun menerterjemahkan cinta ke dalam prilaku keseharian itu yang sulit. Siapapun dapat merangkai kata dan menyulapnya menjadi puisi tentang cinta, namun apakah sama merangkai kata tentang cinta dengan melakoni cinta itu sendiri ?.
Di Publikasikan di :