September 22, 2010

Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono Renungan Keempat, Murid Dan Guru Pribadi

Sepasang suami istri setengah baya sedang membicarakan nasehat RMP Sosro Kartono. Agar dapat lebih menjiwai mereka memanggil beliu dengan sebutan “Eyang” Sosro Kartono. Mereka telah sampai pada renungan keempat dan mereka menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna sebagai referensi mereka….

Sang Istri: Renungan keempat  dari “Eyang” Sosro Kartono…….. “Murid, gurune pribadi. Guru, muride pribadi. Pamulangane, sengsarane sesami. Ganjarane, ayu lan arume sesami.”……… “Seorang murid adalah guru bagi diri pribadi. Seorang Guru adalah murid dari diri pribadi. Tempat belajarnya adalah penderitaan sesama. Hasilnya adalah keindahan dan keharuman sesama.”……

Sang Suami: Seseorang (murid) yang sedang belajar, pengetahuannya menjadi (guru) pemandu bagi  tindakan pribadinya. Seseorang (guru) yang sedang memandu sedang belajar (menjadi murid) dari diri pribadinya. Dalam diri seseorang terdapat sifat murid dan sifat guru. Intinya adalah seseorang perlu belajar untuk meningkatkan kesadaran, dari kesadaran diri yang dipandu oleh seorang yang sedang belajar menuju kesadaran diri yang memandu seseorang yang sedang mengajar. Yang belajar dan yang mengajar sesungguhnya adalah satu hanya berbeda tingkat kesadarannya. Dalam buku “Seni Memberdaya Diri 1, Meditasi Untuk Manajemen Stres dan Neo Zen Reiki” disampaikan ada beberapa tingkatan kesadaran……… Manusia mempunyai lapisan-lapisan kesadaran yang dibawa sebagai bekal sejak kelahiran. Akan tetapi tidak semua berhasil mengarungi atau keluar masuk lapisan kesadaran tersebut. Keluar masuk lapisan kesadaran dari dalam manusia adalah pengalaman yang tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan membutuhkan latihan. Lapisan-lapisan kesadaran dalam diri manusia terdiri dari: Lapisan kesadaran jasmani, energi, pikiran, intelejensia dan spiritual. Banyak orang yang berhasil menempuh perjalanan menembus lapisan-lapisan kesadaran tersebut. Tetapi tidak sedikit pula yang merasa atau mengira sudah menempuhnya, padahal belum. Lapisan-lapisan tersebut mempunyai ciri dan kualitas energi yang mempengaruhi kejiwaan manusia. Terlebih dahulu perlu disadari bahwa lapisan  kesadaran itu ada didalam diri manusia. Keberadaannya tidak merupakan pemilahan yang tajam, namun keutuhannya adalah potensi manusia. Untuk mencapai puncak pemekaran potensi diri manusia, perlu ditempuh perjalanan ke dalam diri, menembus lapisan kesadaran tersebut. Perjalanan tersebut hanya bisa ditempuh melalui meditasi……….

Sang Istri: Lapisan kesadaran pikiran berbeda dengan lapisan kesadaran intelegensia. Dalam buku “Hidup Sehat Dan Seimbang Cara Sufi” disampaikan……. Ada pembedaan antara “intelijen” dan “intelektual”. Seorang “intelijen” menjadi demikian karena membuka diri terhadap semesta. la belajar dari alam. la belajar dari setiap peristiwa, setiap kejadian dalam hidupnya. la belajar dari pengalaman pribadi. Pengetahuan dia sepenuhnya berdasarkan pengalaman bahkan melampaui pengalaman pribadi. la memperolehnya lewat mekanisme alam yang mulai bekerja, apabila ia menjadi lebih peka, lebih reseptif terhadap alam itu sendiri. Itu yang disebut intuisi, ilham.

Sang Suami: Kesadaran kita mengalami pasang surut dan kita sering melupakan identitas “Aku” sejati yang kekal abadi. Dalam buku “Bhagavad Gita Bagi Orang Modern, Menyelami Misteri Kehidupan” disampaikan…… Kadang kita mengidentitaskan diri kita dengan badan, kadang dengan pikiran, kadang dengan emosi. Kadang kita terlibat dengan benda-benda duniawi yang tidak permanen. Kadang kita bersuka ria, kadang tenggelam dalam duka yang tak terhingga. Kita melupakan identitas diri kita yang sebenarnya. Kita lupa akan “Aku” yang sejati, yang tak pernah musnah, yang kekal dan abadi…….

Sang Istri: Alam yang serba terbatas ini hanyalah proyeksi dari “Sang Aku”, proyeksi dari Ia yang meliputi Segalanya. Oleh karena itu Guru yang berada di dalam diri dan Guru yang ada di luar diri adalah proyeksi “Aku” yang berkenan memandu kita. Dalam buku “Maranatha, Bersama Anthony de Mello Mabuk Anggur Kehadiran Tuhan” disampaikan…….. “Aku”-nya Yesus di sini adalah “Aku”-nya Krishna dalam Bhagavad Gita. “Aku”-nya Yesus di sini adalah “Aku”-nya Muhammad, ketika ia menyatakan dirinya Arab tanpa huruf “ain” – atau Rabb. “Aku”-nya Yesus di sini adalah “Aku”-mu dan “Aku”-ku. Jangan membatasi “Aku”-nya Yesus sebagai “aku”nya anak Yusuf dan Miriyam”. Jika anda mengartikannya demikian, sampai kapan pun anda tidak akan pernah bisa memahami Yesus. Jika anda menyempitkan arti kata “Aku” dalam ayat-ayat ini, anda akan berhenti pada tahap berhallo-hallo dengan Tuhan. Ada gerakan – tetapi anda tidak berjalan. Ada suara – tetapi hanya sekadar ocehan. Tidak berarti apa pun. Anda menjadi berisik sendiri………

Sang Suami: Guru di luar diri mengajari kita untuk menemukan Guru di dalam diri. Dalam buku “Isa Hidup dan Ajaran Sang Masiha” disampaikan……. Entah untuk keberapa kalinya, Yesus sedang meyakinkan para muridnya. “Tidak ada yang perlu dicari. Yang kau cari itu ada dalam dirimu. Cahaya yang menerangi alam semesta ini, juga menerangi dirimu. Yang ada di luar, juga ada dalam dirimu. Kalau belum terlihat, ya karena kau belum pernah menoleh ke dalam. Selama ini, kau sibuk melihat ke luar. Sekarang alihkan pandanganmu. Lihatlah ke dalam diri, dan kau akan menemukan Sumber Cahaya itu dalam dirimu sendiri.”………

Sang Istri: Guru di luar diri pun mewakili “Dia Yang Maha Pengasih”. Dalam buku “Narada Bhakti Sutra, Menggapai Cinta Tak Bersyarat dan Tak Terbatas” disampaikan……. Seorang Guru duduk di tengah. Para siswa duduk melingkar, menghadapinya. Apa arti pola duduk seperti itu? Sang murshid harus menjadi centrepoint hidup kita. Titik tengah kehidupan kita. Dan jangan lupa, yang menjadi centrepoint bukanlah wujud dia. Tetapi apa yang “diwakilinya”. Dan setiap guru, setiap murshid mewakili hanya satu Lembaga – Lembaga Non-Lembaga…. Kasih. Dengan semangat permainan, berupayalah untuk mencapai titik tengah di dalam diri sendiri. Untuk menemukan kasih di dalam diri sendiri. Guru di luar diri hanya mewakili Murshid di dalam diri setiap murid…….

Sang Suami: Karena Guru adalah perwujudan “Dia Yang Maha Pengasih” dalam memandu peningkatan kesadaran, maka murid yang mempunyai keinginan tunggal untuk mencapai “Kasih” menganggap Guru sebagai wujud kesadaran. Dalam buku “Mawar Mistik, Ulasan Injil Maria Magdalena” disampaikan….. Bagi Maria, kesadaran identik dengan Guru. Bagi dia, pencerahan identik dengan Yesus yang dicintainya. Di balik kejadian itu ia tidak melihat andil dirinya sama sekali. Ia tidak merasa melakukan sesuatu yang luar biasa untuk memperoleh pencerahan itu. Apa yang terjadi atas dirinya semata-mata karena “berkah”, karena rahmat, karena anugerah Sang Guru! Kelak, Nanak pun mengatakan hal yang sama. Bertahun-tahun setelah kejadian: Ik Omkaar, Sadguru Prasaad – Hyang Tunggal Itu kutemui berkat rahmat Guruku!……… Inilah satu-satunya cara untuk menafikan ego. Tidak ada cara lain. Kehadiran seorang Guru dalam hidup kita semata-mata untuk membantu kita tidak menjadi egois. Guru bagaikan katalisator, “perantara yang ada dan tidak ada”. Ia bagaikan  awan yang “menyebabkan” keteduhan untuk sejenak dan berlalu. Awan “tidak memberi” keteduhan, ia “tidak membuat” teduh: ia “menyebabkan” terjadinya teduh. Itulah Guru…….

Sang Istri: “Eyang” Sosro Kartono memahami tentang penderitaan yang dialami oleh setiap manusia. Penderitaan adalah tempat belajar tentang kesadaran. Duka disebabkan oleh keinginan. Kita “merasa” kekurangan, maka timbul “keinginan” untuk mengisi kekurangan itu, dan kita “tidak dapat” mengisinya. Kita “kecewa”, “marah” dan “menderita”. Keinginan berada di balik penderitaan. Bila kita telusuri lebih lanjut, keinginan itu sendiri berasal dari mind, dari pikiran… dan, sesungguhnya ia tak akan menyebabkan penderitaan, bila emosi kita tidak ikut terlibat. Nah mental-emotional factor inilah yang menyebabkan keinginan dan memperkuatnya sedemikian rupa sehingga dapat menyebabkan penderitaan. Dalam buku “Tantra Yoga” disampaikan secara detail penderitaan…….. Dalam tantra, kita mengenal istilah klesha, yang berarti “kegelisahan”, “penderitaan”. Apa saja yang membuat manusia gelisah, menderita klesha. Dan menurut Tantra, ada lima penyebab klesha, yaitu:  Pertama, Avidya atau ketidaktahuan. Kita tidak tahu bahwa api bisa membakar. Lalu memasukkan tangan ke dalam api. Maka tangan kita terbakar, luka. Dan kita pun menderita, gelisah……. Kedua, Asmita atau ego, keangkuhan. Kita menganggap diri sudah hebat, sempurna. Selalu benar. Kemudian ada yang menegur, “Jangan sombonglah. Lihat tuh kesempurnaan ada di mana-mana. Bukan kamu saja yang hebat. Kebenaran pun bukan monopoli seseorang.” Ego kita terusik. Kita tidak bisa menerima kenyataan dan oleh karena itu, kita gelisah, menderita……. Ketiga, Raga atau keterikatan. Sudah terlalu sering kita membicarakan keterikatan. Keterikatan pada apa saja, siapa saja hanya menghasilkan kegelisahan, penderitaan……. Keempat, Dvesha. Yang satu ini agak sulit diterjemahkan. Dvesha berarti non affirmation. Tidak mengiyakan Keberadaan. Kebalikan sikap nrimo. Dvesha berati tidak mengalir bersama kehidupan. Menentang arus kehidupan. Menentang keberadaan. Dvesha berasal dari suku kata “Dvi” dwi, dualitas. Salah satu kamus Sanskerta-Inggris menerjemahkan dvesha sebagai “kebencian”. Bisa. Kendati bukan sekedar kebencian. Kebencian muncul dari penolakan. Kita tidak menyukai sesuatu, maka kita membencinya. Ada alasan untuk tidak menyukai. Dan alasan itu disebabkan oleh double vision, oleh mata batin yang “sakit”, sehingga “satu” tampak “dua”.  Ada yang kehilangan pasangan, pacar, dan dia tidak bisa menerima kenyataan. Maka dia gelisah, menderita. Sikap menentang, menolak dan tidak menerima itulah Dvesha…… Kelima, Abhinivesha, clinging to body consciusness……. Berpegang teguh pada kesadaran fisik yang bersifat sementara membuat kita menderita…..

Sang Suami: “Ganjarane, ayu lan arume sesami”…… Hasilnya adalah keindahan dan keharuman sesama. “Eyang” Sosro Kartono memahami tugas manusia di dunia yaitu, “Mangasah mingising budhi; Mamasuh malaning bhumi; Mamayu hayuning bhawana”. Mengasah tajamnya budi, membasuh lukanya bumi atau menyehatkan bumi yang sakit, dan memperindah alam semesta. Sakitnya bumi ini, terjadi karena manusia tidak mengasah budinya, dan telah melukai bumi dalam memenuhi keserakahannya. Sebagai murid belajar pada Guru adalah mengasah budi. Setelah ajaran Guru membawa kesadaran diri, maka tugas murid yang telah sadar adalah menyehatkan bumi yang sedang sakit, yang sedang menderita dan memperindah alam semesta. Hasilnya adalah keindahan dan keharuman sesama……..

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

September, 2010.

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone