September 25, 2010

Memaknai Kembali Nasehat RMP Sosro Kartono, Renungan Keenam “Trimah Mawi Pasrah”

Sepasang suami istri membicarakan renungan keenam dari Nasehat Raden Mas Panji Sosro Kartono. Sebagai referensi, mereka menggunakan buku-buku Bapak Anand Krishna. Mereka berharap buku referensi bukan sekadar text book, tetapi work book. Bila memperlakukannya sebagai buku teks saja, maka kita tidak akan memperoleh apa-apa, paling banter, ya beberapa kisah baru. Tetapi jika diperlakukan sebagai workbook, buku bisa menjadi teman hidup. Work book berarti “buku kerja” – kerja nyata yang harus dipraktekkan dalam hidup sehari-hari. Harus “dikerjakan”; bukan sekadar dibaca.

Sang Istri: Renungan keenam……… “Trimah mawi pasrah. Suwung pamrih, tebih ajrih. Langgeng tan ana susah, tan ana seneng. Anteng mantheng sugeng jeneng“…….  “Menerima dengan pasrah. Tanpa pamrih, jauh dari rasa takut. Abadi tiada duka, tiada suka. Tenang memusat menyebut Nama”

Sang Suami: Nampak bahwa “Eyang” Sosro Kartono memberi nasehat tentang beberapa ciri-ciri seorang pengabdi, seorang “bhakta” yaitu, menerima tantangan hidup; bekerja tanpa pamrih dan tanpa rasa takut; tidak terpengaruh keadaan suka dan duka; dan berada dalam keadaan “one pointedness”, memfokuskan diri dengan pikiran yang tak bercabang. Dalam buku “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan” disampaikan….. Bagaimana ciri-ciri seorang Bhakta? Bagaimana mengenalinya? Gampang…… Bhagavad Gita menjelaskan bahwa dalam keadaan suka maupun duka – ia tetap sama. Ketenangannya kebahagiaannya, keceriaannya – tidak terganggu. Ia bebas dari rasa takut. la tidak akan menutup-nutupi Kebenaran. la akan mengungkapkannya demi Kebenaran itu sendiri. la menerima setiap tantangan hidup….. la bersikap “nrimo” – nrimo yang dinamis, tidak pasif, tidak statis. Pun tidak pesimis. Menerima, bukan karena merasa tidak berdaya; ikhlas, bukan karena memang dia tidak dapat berbuat sesuatu, tetapi karena ia memahami kinerja alam. Ia menerima kehendak Ilahi sebagaimana Isa menerimanya diatas kayu salib. Ia berserah diri pada Kehendak Ilahi, sebagaimana Muhammad memaknai Islam sebagai penyerahan diri pada-Nya……. “Jadilah seorang Bhakta,” demikian ajakan Sri Krishna kepada Arjuna, di tengah medan perang Kurukshetra. Tentunya, ia tidak bermaksud Arjuna meninggalkan medan perang dan melayani fakir-miskin di kolong jembatan. Atau, berjapa, berzikir pada Hyang Maha Kuasa, ber-keertan, menyanyikan lagu-lagu pujian. Tidak. Krishna mengharapkan Arjuna tetap berada di Kurukshetra, dan mewujudkan Bhaktinya dengan mengangkat senjata demi Kebenaran, demi Keadilan……..

Sang Istri: Nrimo bukan berarti malas, bahkan nrimo berarti seseorang percaya diri dan percaya pada Tuhan. Dalam buku “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan” disampaikan……. Banyak yang berprasangka bahwa sikap “nrimo” membuat orang menjadi malas. Sama sekali tidak. Sikap itu justru menyuntiki manusia dengan semangat, dengan energi. Terimalah setiap tantangan, dan hadapilah! Seorang Bhakta selalu penuh semangat. Badan boleh dalam keadaan sakit dan tidak berdaya – jiwanya tak pernah berhenti berkarya. la akan tetap membakar semangat setiap orang yang mendekatinya…….. Dalam buku “Masnawi Buku Kesatu, Bersama Jalaludin Rumi Menggapai Langit Biru Tak Berbingkai” disampaikan……. Jika sudah cukup percaya diri, anda tidak akan pernah mengejar sesuatu. Tuhan pun tidak akan anda kejar, karena percaya diri berarti percaya Tuhan. Ia yang mengenali dirinya, mengenali Tuhannya – pepatah dalam bahasa Arab yang sering dikutip oleh Hazrat Ali. Berserah diri, pasrah, nrimo – semuanya timbul dari percaya diri. Tanpa percaya diri anda tidak bisa berserah diri. “Apa” yang akan anda serahkan?…..

Sang Suami: “Eyang” Sosro Kartono memahami bahwa alam bekerja tanpa pamrih. Dalam buku “Mawar Mistik, Ulasan Injil Maria Magdalena” disampaikan……. Belajarlah dari alam. Dari bumi yang selalu memberi walau dieksploitasi, diinjak-injak dan perutnya dikoyak-koyak. Ada langit yang selalu mengayomi, menyirami bumi ketika gersang. Ada udara, angin, sehingga kita dapat bernapas. Belajarlah dari alam. Ada api atau energi yang membantu kita dalam setiap pekerjaan. Ada ruang luas di mana bumi kita berputar tanpa henti. Pernahkah mereka menuntut sesuatu darimu? Mereka memberi tanpa pamrih, tanpa mengharapkan sesuatu dari kita. Itulah pelajaran utama yang dapat dipetik dari alam: memberi tanpa mengharapkan imbalan, memberi tanpa pamrih……. Dalam buku “Mengikuti Irama Kehidupan Tao Teh Ching Bagi Orang Modern” disampaikan……. Ia yang bijak akan mengalir seperti air. Tempat yang terpencil dan sukar dicapai pun dapat dicapai oleh air. Air memberikan kehidupan kepada segala sesuatu dalam alam ini, namun tidak mengharapkan sesuatu. Yang keras, yang kukuh, sangat terbatas gerakannya. Kekukuhannya, kekerasannya sendiri menjadi penghalang utama bagi gerak-geriknya. Namun yang cair, yang seperti air, dapat mengalir ke mana saja. Hidup kita juga hendaknya mengalir seperti air. Sambil menyirami hati yang kering, membasahi jiwa yang gerah, hendaknya kita mengalir terus, tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Bekerja tanpa pamrih…….

Sang Istri: Benar suamiku, bekerja keras tanpa pamrih. Dalam buku “Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan” disampaikan……. Ingatlah pesan Sri Krishna kepada Arjuna, “Janganlah engkau membiarkan dirimu melemah di tengah medan perang ini. Angkatlah senjatamu untuk menegakkan Kebenaran dan Keadilan. Janganlah memikirkan hasil akhir, janganlah berpikir tentang untung-rugi. Berkaryalah sesuai dengan tugas serta kewajibanmu dalam hidup ini!” Seorang Bhakta adalah seorang Pejuang Tulen. la tidak pernah berhenti berjuang. Kendati demikian, ia pun tidak bertindak secara gegabah. la waspada, tidak was-was. la tidak menuntut sesuatu dari hidup ini, dari dunia ini. la berada di tengah kita untuk memberi. la tidak mengharapkan imbalan dari apa yang dilakukannya. la berkarya tanpa pamrih. Keberhasilan dan kegagalan diterimanya sebagai berkah……..

Sang Suami:Tebih ajrih”, “jauh dari rasa takut”. Dalam buku “Life Workbook, Melangkah dalam Pencerahan” disampaikan ada tiga hal utama dalam spiritual: pertama abhaya, fearless, tidak takut. Kedua ahimsa do not act violently, jangan menggunakan kekerasan. Ketiga asanga, be detached, jangan terikat pada sesuatu……… Rasa takut menciptakan kekerasan. Sering seorang meditator pun menjadi penakut, karena ia tidak menyalurkan energi yang diperolehnya dari meditasi untuk mengatasi rasa takut. Energi itu malah memperkuat rasa takutnya. Pada dasarnya setiap orang, bahkan setiap makhluk, memiliki rasa takut. Tidak satu pun makhluk bebas dari rasa yang paling mendasar itu. Seorang meditator mesti menggunakan seluruh energinya untuk mengatasi rasa takut. Jika tidak, dan energi itu bersarang di dalam diri dan memperkuat rasa takut, ia menjadi penakut yang luar biasa, melebihi seorang non meditator. Karena itu, para guru selalu menciptakan program-program penyaluran, di mana para meditator ditantang untuk menjadi pemberani; untuk maju ke garis paling depan. Sayang, banyak yang tidak memahami hal ini, dan memisahkan latihan meditasi dari kehidupan meditative, sehingga energi meditasi yang semestinya membebaskan mereka malah membebani mereka……..

Sang Istri: Dalam keadaan meditatif, kita terbebas dari rasa suka dan duka. Dalam buku “Neo Psychic Awareness” disampaikan…….. Bila sudah memasuki Alam Meditasi, kita akan berada di atas alam pikiran dan perasaan. Rasa jenuh atau rasa apa pun tidak akan muncul lagi, atau tidak terasakan lagi. Meditasi membebaskan diri kita dari dualitas, dari segala macam dualitas. Bebas dari segala macam dualitas. Tidak ada lagi duka, namun suka pun tidak ada, karena keberadaan suka akan menghadirkan pula duka dalam hidup kita. Ada mawar, ada duri. Ada positif, ada negatif. Rasa jenuh muncul karena keberadaan kita antara dua kutub positif dan negatif, suka dan duka. Bagaimana melepaskan yang satu tanpa melepaskan yang lain inilah dilema kita selama ini. Kita harus belajar untuk “mengangkat” kesadaran kita dari alam dualitas. ……..

Sang Suami: Dalam buku ““Vedaanta, Harapan Bagi Masa Depan” disampaikan…….. Bhagavad Gita menjelaskan bahwa seorang Bhakta, seorang Pengabdi atau Pecinta Allah selalu sama dalam keadaan suka maupun duka. Keseimbangan dirinya tak tergoyahkan oleh pengalaman-pengalaman hidup. Ilmu apa yang dikuasai oleh seorang Bhakta sehingga ia tidak terombang-ambing oleh gelombang suka dan duka? Temyata, ilmu matematika yang sangat sederhana. Seluruh kesadaran seorang Bhakta terpusatkan kepada la yang dicintainya. Kesadaran dia tidak bercabang. la telah mencapai keadaan Onepointedness – Ekagrataa. One, Eka – Satu…. la sudah melampaui dualitas. la telah menyatu dengan Hyang dicintainya. la telah menyatu dengan Cinta itu sendiri. Pecinta, Hyang dicintai, dan Cinta – tiga-tiganya telah melebur dan menjadi satu…….

Sang Istri:Anteng mantheng sugeng jeneng“, “Tenang memusat menyebut Nama”…… Onepointedness. Dalam buku “Youth Challenges And Empowerment” disampaikan…… One”pointed”ness jauh lebih berfokus daripada fokus. Maka, penulis menambahkan “dengan pikiran yang tak bercabang”. Fokus pada suatu titik tidak menghilangkan segala sesuatu di sekitar titik itu. Persis seperti saat mengambil foto. Kita boleh berfokus pada suatu objek, namun apa yang ada di sekitarnya tetap ada. One “pointed “ness menghilangkan, melenyapkan segala sesuatu sekitar titik fokus. Seluruh kesadaran kita, pikiran kita, terpusatkan pada titik itu. Ini bukan konsentrasi. Konsentrasi adalah urusah pikiran saja. Dan, pikiran tidak pernah stabil, selalu naik turun, tidak bisa berada lama di suatu tempat atau pada suatu titik. Lagi pula, konsentrasi mesti selalu diupayakan. Sementara itu, one “pointed “ness bisa terjadi tanpa upaya, asal ada niat, hasrat, dan keinginan yang kuat “terhadap” titik yang dituju. Ketika titik yang dituju di”niat”kan sebagai satu-satunya kiblat dan kita mencintai kiblat itu, maka one “pointed “ness terjadi dengan sendirinya tanpa perlu diupayakan. Apa yang terjadi saat “jatuh” cinta? Walau berskala kecil, saat itu pun terjadi one “pointed “ness. Setiap saat kau mengingat pacarmu, kekasihmu. Kau tidak perlu mengingatkan diri untuk mengingatnya. Ingatan itu muncul sendiri, wajah kekasih terbayang sendiri…….

Sang Suami: Dalam buku tersebut juga disampaikan….. One “pointed “ness adalah latihan mental dan emosional untuk memperkuat syaraf dan nyalimu. Latihan ini juga membutuhkan tenaga yang luar biasa, tenaga ribuan kuda, yang hanya dimiliki oleh kaum muda. Maka, tentukan kiblatmu, cintailah kiblatmu. Arahkan seluruh kesadaranmu dan tunjukkan seluruh energimu untuk mencapainya. Bila kau tidak mempraktikkan one “pointed “ness ketika masih memiliki kekuatan yang luar biasa dan energi yang berlimpah, maka setelah berusia 40-an nanti kau tak dapat mempraktikkannya lagi. Saat untuk melatih diri adalah, sekarang!…….

Sang Istri: Dalam buku “Five Steps To Awareness, 40 Kebiasaan Orang Yang Tercerahkan” disampaikan…… Mengabdilah selalu pada Yang Mahamemiliki. Mengabdi kepada siapa? Berbakti kepada siapa? Kepada mereka yang mengaku mahatahu dan mahamemiliki? Kepada mereka yang telah menyadarkan hak kita untuk berpikir dan berperasaan? Kepada mereka yang ingin menguasai kita? Kepada mereka yang ingin menguasai kita? Tentunya tidak. Mengabdilah kepada Ia Yang Maha Memiliki. Kepada ia yang adalah Pemilik Tunggal Alam Semesta. Kepada Dia yang disebut Hyang Widhi oleh orang Hindu, Adi Budha oleh orang Buddhis, Bapa di  Surga oleh orang Kristen, dan Allah oleh orang muslim. Dia pula Tao Yang Tak Terungkap, dan Kami Yang Tak Terjelaskan namun dapat “dijalani”, dilakoni dalam keseharian hidup. Dialah Satnaam para pemuja Sikh, Sang Nama Agung Yang Berada di Atas Semua Nama. Janganlah engkau goyah dari imanmu itu, dari pengabdianmu itu. Dari Iman pada Pengabdian itu sendiri! ………

Terima Kasih Guru. Jaya Guru Deva!

Situs artikel terkait

http://www.oneearthmedia.net/ind/

http://triwidodo.wordpress.com

http://id-id.facebook.com/triwidodo.djokorahardjo

September 2010

Share on FacebookTweet about this on TwitterShare on Google+Email this to someone